Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Klaten - Peternak mandiri ayam pedaging mengeluhkan kesulitan mendapatkan Day Old Chicken (DOC) atau bibit ayam sejak Januari lalu. Hal ini yang belakangan mengakibatkan lonjakan harga ayam di pasaran, bahkan melampaui level harga selama masa libur Lebaran yang lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peternak ayam potong asal Desa Brangkal, Kecamatan Karanganom, Rustam Aji Kodrat Wibowo, misalnya, mengaku butuh waktu tunggu selama 1-1,5 bulan untuk mendapatkan DOC yang dibeli. "Ini kandang saya gak isi semua," ujarnya, di Balai Desa Brangkal, Kecamatan Karanganom, Kamis, 26 Juli 2018.
Oleh karena itu, Rustam menyebutkan kenaikan harga ayam ras tak berarti membuat peternak diuntungkan. Ia berharap pemerintah menghitung ulang kebutuhan ayam nasional.
Distribusi DOC, menurut Rustam, juga harus diperketat. “Kalau langka seperti ini biasanya DOC asal Ungaran dan Surabaya banyak dikirim ke Jawa Barat. Akibatnya, Jawa Tengah kosong,” tutur Rustam.
Keluhan senada juga dirasakan oleh pengepul ayam potong, Sarono, warga Desa Jungkare, Kecamatan Karanganom. Kelangkaan DOC mengakibatkan kelangkaan daging ayam di tingkat petani.
Pria berusia 55 tahun ini mengaku harus membeli ayam dari luar Klaten seperti Gunung Kidul, Bantul, dan Magelang. “Kelangkaan daging ayam ini sebetulnya sejak menjelang Lebaran sudah terasa. Sekarang ini hanya imbas dari kelangkaan DOC sebelumnya. Kalau pekan ini DOC enggak ada, harga ayam tinggi diprediksi sampai September,” ujar Sarono.
Sementara itu, Direktur Pengawasan Kemitraan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Dedy Sani Ardi, mengatakan pihaknya tengah menghimpun data terkait pemicu kenaikan harga ayam belakangan ini. KPPU juga akan menelisik apakah kasus kelangkaan DOC dan kenaikan harga daging ayam dan telur didesain peternak besar.
Dedy menilai indikasi mengarah ke praktik monopoli terlihat mengingat proporsi peternak terintegrasi dengan petani plasma atau mandiri sebesar 90 banding 10. Dahulu, proporsi itu berjumlah 80 persen untuk peternak mandiri dan 20 persen peternak terintegrasi.
Lebih jauh Dedy menyatakan adanya potensi praktik monopoli karena proporsinya yang tidak seimbang bisa jadi salah satu faktor yang membuat lonjakan harga ayam. "Jika terbukti bisa dikenai sanksi administrasi denda maksimal Rp 25 miliar. Kejadian ini mirip dengan yang terjadi pada awal 2016 dengan praktik kartel daging ayam,” ucapnya.