Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mengkritik konsep pasar tenaga kerja yang fleksibel yang diusung dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sebab UU ini memberikan kemudahan bagi perusahaan dalam merekrut dan melepas tenaga kerja mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Sekilas konsep yang ditawarkan ini adalah konsep yang indah," kata peneliti IDEAS Askar Muhammad dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis, 8 Oktober 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Askar, konsep ini terlihat dalam deregulasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan alih daya (outsourcing) dalam Omnibus Law. "Ini memberikan konfirmasi bahwa tujuan UU ini adalah untuk menurunkan biaya perekrutan dan pemutusan hubungan kerja (PHK)," kata dia.
Akan tetapi, Askar menyebut konsep fleksibilitas seperti ini hanya diterapkan di negara-negara yang memiliki SDM yang sudah baik. Contohnya seperti Singapura, Denmark, Jerman, dan negara skandinavia lainnya.
Sebaliknya konsep ini tidak cocok diterapkan di Indonesia yang masih didominasi tenaga kerja tidak terampil (low skilled workers). Jika diterapkan di tengah kondisi pasar yang belum siap, maka diprediksi akan lahir ketimpangan antar tenaga kerja terampil (high-skilled workers) dan tidak terampil.
Sebab, kata Askar, pasar tenaga kerja fleksibel akan lebih menguntungkan high-skilled workers dengan keterampilan yang dimiliknya. Sebaliknya low-skilled workers dipastikan akan lebih kesulitan mendapatkan pekerja baru bila terkena PHK.
Dalam Omnibus Law, dua ketentuan ini memang berubah. Contohnya yaitu pekerja berstatus PKWT. Dalam aturan baru, pemerintah tidak mengatur secara rinci batas waktu pembaruan tenaga kontrak. Ketentuan mengenai detail jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja akan diatur dengan beleid turunan melalui peraturan pemerintah.
Sedangkan pada UU Ketenagakerjaan perjanjian waktu kerja tertentu ditetapkan maksimal dua tahun dengan pembaruan kontrak paling banyak satu kali. Selain itu, Omnibus Law juga memangkas aturan masa tenggang pembaruan tenaga kontrak.
Di hari yang sama, akun twitter resmi Kementerian Ketenagakerjaan juga mulai menyebarkan informasi soal Omnibus Law ini. Dalam hal PKWT, kementerian tidak menyinggung soal batas waktu pemberuan tenaga kontrak ini.
Hanya disebutkan empat poin saja yaitu PKWT hanya untuk pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu (tidak tetap). Lalu, PKWT memberikan perlindungan untuk kelangsungan bekerja dan perlindungan hak pekerja sampai pekerjaa selesai.
Kemudian, PKWT berakhir, pekerja berhak mendapatkan uang kompensasi, sesuai dengan masa kerja mereka. Ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Terakhir, syarat PKWT disebut tetap mengacu pada UU Ketenagakerjaan. "Dengan penyesuaian terhadap perkembangan kebutuhan dunia kerja," tulis pihak Kemenaker.