Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sovereign Wealth Fund milik pemerintah akan bernama Lembaga Pengelola Investasi, dan merupakan salah satu produk kunci undang-undang omnibus tentang Cipta Kerja.
Meski menggunakan uang negara, ruang gerak lembaga ini dibebaskan selayaknya perusahaan swasta. Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan pun tak bisa melakukan audit atas kinerjanya
Dengan modal awal Rp 75 triliun, lembaga pengelola investasi ini diyakini mampu menarik fulus pemodal global hingga tiga kali lipat dari modal itu.
SELARIK pesan dari Australia masuk ke telepon seluler Ekoputro Adijayanto, awal pekan lalu. Tak membuang waktu, Kepala Eksekutif Pembiayaan Investasi Non-Anggaran Pemerintah (PINA) itu membalasnya dengan cepat. “Dari AustralianSuper, baru tahu soal LPI,” kata Eko singkat ketika ditemui di kantor Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta, Rabu, 21 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AustralianSuper adalah lembaga dana pensiun dari Negeri Kanguru yang menampung fulus simpanan 2,1 juta buruh Australia dengan nilai aset mencapai US$ 171,5 miliar atau Rp 2.516 triliun (kurs Rp 14.600) pada 2019. Hampir separuh aset investasi mereka berada di luar Australia. “Dia ini target lama saya,” ucap Eko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun LPI adalah singkatan dari lembaga pengelola investasi alias sovereign wealth fund yang akan segera diluncurkan pemerintah Indonesia. Dasar hukum pembentukan lembaga ini baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat lewat omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober lalu.
Sebelum konsep LPI bergulir, Eko sebenarnya telah berulang kali menawarkan sejumlah proyek PINA kepada AustralianSuper. Tapi belum ada yang deal. Pada awal Maret lalu, ketika pemerintah menggulirkan rencana pendirian LPI, Eko kembali menghubungi calon investor itu. Dia bahkan mengajak delegasi AustralianSuper menemui sejumlah pejabat Kementerian Badan Usaha Milik Negara untuk mendapat paparan jelas tentang rencana itu. “Memang baru ngobrol awal, terpotong karena pandemi, tapi kami tetap berhubungan,” ujar Eko.
•••
BERGULIR sejak pertengahan 2019, rencana pendirian lembaga pengelola investasi baru digeber kencang pada awal 2020. Dalam pertemuan tahunan industri jasa keuangan di Jakarta, 16 Januari lalu, Presiden Joko Widodo pertama kali menyinggung rencananya membuat aturan sovereign wealth fund (SWF) dalam undang-undang sapu jagat tentang penciptaan lapangan kerja. Tak banyak yang mengulas pernyataan Jokowi ketika itu.
Sebelum itu, cetak biru SWF untuk Indonesia disodorkan pemerintah Uni Emirat Arab. Selain menawarkan konsep, ADIA atau Abu Dhabi Investment Authority—lembaga pengelola dana investasi dari Uni Emirat Arab—berjanji menyetorkan modal awal sebesar US$ 20 miliar.
Tak berselang lama seusai pertemuan tahunan industri jasa keuangan, Chief Executive Officer US International Development Finance Corporation (IDFC) Adam Boehler menemui Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta. IDFC, lembaga pembiayaan asal Amerika Serikat dengan kapasitas pinjaman sampai US$ 60 miliar, berjanji menyediakan pendanaan buat SWF Indonesia. Belakangan, komitmen serupa datang dari SoftBank, lembaga pembiayaan milik miliuner Jepang, Masayoshi Son.
Selepas serangkaian komitmen itu, rencana pembentukan sovereign wealth fund Indonesia bergulir cepat. Kementerian Badan Usaha Milik Negara diminta mengawal perumusan format lembaga ini. Kementerian kemudian menunjuk Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo sebagai koordinator tim perumus.
Dia dibantu empat orang sebagai tim inti di lingkaran terdekatnya. Dua orang berasal dari dalam Kementerian BUMN, yakni Robertus Bilitea, Direktur Utama Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, dan Adityo Kusumo, mantan bankir Bank Mandiri yang ditarik menjadi anggota staf ahli Kartika di Kementerian BUMN.
Dua orang lain berasal dari luar Kementerian BUMN. Mereka adalah Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto serta Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata. Hario Seto kabarnya diutus langsung oleh Menteri Luhut Binsar Pandjaitan.
•••
SEGERA setelah omnibus law disahkan, Ekoputro Adijayanto mengaku mendapat banyak pertanyaan dari calon investor mengenai konsep lembaga pengelola investasi Indonesia. Pesan dari koleganya di AustralianSuper awal pekan lalu hanya salah satunya.
Setelah menjelaskan panjang-lebar kelebihan skema lembaga ini, Eko biasanya menyodorkan daftar proyek infrastruktur di Kementerian BUMN yang rencananya didanai melalui lembaga pengelola investasi. Menurut Eko, sudah ada calon investor yang tertarik. “Mereka berjanji mau bicara dengan komite investasinya untuk menindaklanjuti daftar proyek potensial itu,” kata Eko.
Sejak PINA masih di bawah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional hingga kini berubah wujud menjadi pemain swasta, baru kali ini Eko merasa pekerjaannya menjajakan proyek pemerintah kepada pengelola dana investasi global jauh lebih mudah. Pemodal besar dari lembaga dana pensiun sampai sovereign wealth fund dengan kelolaan dana di atas US$ 20 miliar atau Rp 293,7 triliun memang dikenal suka mencari aman. Mereka memilih berinvestasi pada proyek yang dijamin pemerintah. “Dari dulu pada tanya, pemerintah ikut berinvestasi atau enggak di proyek ini?”
Menurut Eko, perusahaan pengelola dana jumbo semacam itu cenderung masuk ke aset jadi alias brownfield. Bila harus masuk ke proyek baru alias greenfield, mereka mensyaratkan rekan investasinya harus terasosiasi dengan pemerintah langsung, bukan sekadar badan usaha milik negara. “Di situ saya sering merasa susah,” tutur Eko. Opsi itu dulu memang tak ada karena Indonesia tak punya sovereign wealth fund sendiri. Kini situasi berubah. “Saya sekarang tinggal menyapa terus mereka,” ucap Eko ketika ditanyai apa langkah dia selanjutnya untuk menggaet para investor.
•••
SETELAH rancangan lembaga pengelola investasi versi pemerintah rampung, pada 21-22 September lalu tim perumus dari Kementerian BUMN diundang mewakili pemerintah untuk memaparkan konsep mereka di hadapan panitia kerja Undang-Undang Cipta Kerja di Dewan Perwakilan Rakyat. Tim mengutus Robertus Bilitea dan Adityo Kusumo datang ke rapat itu.
Seusai pemaparan di DPR, perdebatan alot tak terhindarkan. Pasalnya, anggota DPR menilai pembentukan sovereign wealth fund merupakan usul yang sama sekali baru dalam omnibus law. Berbeda dengan pasal-pasal lain, usul ini tidak mengubah atau menambahkan pasal dalam undang-undang lama. Efektivitasnya dalam menarik investasi juga diperdebatkan.
Untuk meyakinkan para wakil rakyat, Adityo lalu menjelaskan dua model sovereign wealth fund yang berkembang di dunia. Model pertama adalah skema lembaga pengelola investasi di negara maju dengan surplus neraca perdagangan, seperti di Norwegia, Uni Emirat Arab, Cina, dan Kuwait. Model kedua adalah lembaga pengelola investasi yang dimodali pemerintah dan ketika berinvestasi harus bekerja sama dengan lembaga sovereign wealth fund lain. Adityo menegaskan bahwa pemerintah jelas tidak punya surplus devisa sehingga tak memiliki pilihan selain mengambil model kedua.
Sebelum memaparkan hasil kerja mereka di DPR, kata Adityo, tim perumus mempelajari puluhan model sovereign wealth fund. Selain mempelajari model Abu Dhabi Investment Authority, tim menengok model Kuwait Investment Authority, juga AustralianSuper—yang notabene lembaga pengelola dana pensiun privat.
Disimpulkan bahwa lembaga pengelola investasi ini harus bisa bergerak fleksibel merespons dinamika pasar. Lembaga itu mirip perusahaan swasta, tapi milik negara. Karena itulah tim perumus mengusulkan status sui generis untuk lembaga pengelola investasi ini. Dengan status tersebut, kerugian lembaga ini tak bisa dikategorikan sebagai kerugian negara dan pengurusnya bukan penyelenggara negara.
Pemberian status khusus ini memicu polemik panjang di Senayan. Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Badikenita Sitepu, mengaku tak paham dengan skema itu. “Kalau asetnya milik negara terus dia bergerak secara swasta, ini kan agak aneh,” ujarnya.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas akhirnya menghentikan perdebatan dengan menegaskan bahwa DPR dan pemerintah sudah bersepakat mengenai pengaturan sui generis itu. “Hartanya dipisahkan dari kekayaan negara sehingga tidak tunduk lagi pada pakem keuangan negara,” ucap politikus Partai Gerakan Indonesia Raya ini.
•••
DI sela kesibukan tim perumus menyusun bentuk dan skema lembaga pengelola investasi, Ekoputro Adijayanto terus mendatangkan calon investor ke Kementerian BUMN untuk berdiskusi dengan mereka. Delegasi dari AustralianSuper salah satu utusan yang dibawa Eko kepada para koleganya di tim perumus. Eko juga membawa beberapa investor lain dengan dana kelolaan US$ 19 miliar ke atas. “Yang kecil begini banyak juga yang kredibel,” ujarnya.
Beberapa investor lain memilih langsung menemui Kartika Wirjoatmodjo, tanpa melalui Eko. Salah satunya Caisse de dépôt et placement du Québec (CDPQ), investor institusional swasta yang mengelola program pensiun dan asuransi publik di Quebec, Kanada. CDPQ menemui Kartika di Singapura pada November tahun lalu.
Dengan aset sampai US$ 333 miliar atau Rp 4.878 triliun itu, CDPQ rupanya ingin menyusul performa Canada Pension Plan Investment Board (CPPIB), lembaga investasi pengelola dana pensiun milik Kerajaan Kanada dengan kelolaan US$ 434,4 miliar atau Rp 6.363 triliun. CPPIB memang lebih dulu berinvestasi di Indonesia.
Lembaga investasi itu membeli 45 persen porsi saham UEM Group Berhad, perusahaan jalan tol milik Khazanah Nasional di PT Lintas Marga Sedaya, pemegang konsesi jalan tol Cikopo-Palimanan, pada November tahun lalu. Sedangkan CDPQ masuk lewat Ivanhoe Cambridge, yang berfokus di sektor perumahan. Kedua lembaga pengelola investasi dari Kanada itu kini patungan membeli empat kompleks pergudangan LOGOS, perusahaan properti asal Australia, di Indonesia.
•••
SETELAH Undang-Undang Cipta Kerja disahkan, para penggawa pemerintah kini berjibaku menyelesaikan peraturan pemerintah untuk pendirian lembaga pengelola investasi ini. Presiden Jokowi memberi mereka waktu satu bulan saja.
Tanpa menunggu aturan itu rampung, Kementerian BUMN sudah bergerak maju. Dalam pertemuan dengan para investor pekan lalu, Kementerian menawarkan sejumlah proyek strategis nasional yang akan didanai via lembaga pengelola investasi. Ada sedikitnya lima aset potensial dengan total nilai proyek US$ 3 miliar. Di antaranya jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi milik Waskita Toll Road, juga jalan tol layang Jakarta-Cikampek milik Jasa Marga.
Kekhawatiran bukannya tak ada. Sejumlah ekonom sudah mengingatkan bahwa kewenangan khusus LPI sebagai lembaga negara yang dikelola secara komersial bisa membuka celah korupsi. Sebab, meski mengatur triliunan rupiah kekayaan negara, LPI tak bisa diaudit Badan Pemeriksa Keuangan dan tak dapat dipidana jika mengalami kerugian.
Politikus dari koalisi pemerintah sendiri mengakui ada risiko besar di balik skema tersebut. “Kalau dikelola dengan baik, ini bisa seperti Khazanah Nasional,” kata Andreas Eddy Susetyo, anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang ikut menyusun Undang-Undang Cipta Kerja, pada Rabu, 21 Oktober lalu. Khazanah adalah lembaga investasi Malaysia yang mengelola kelebihan devisa negara itu.
“Tapi, sebaliknya, kalau dikelola buruk, ini bisa berakhir seperti 1MDB,” tutur Andreas lagi. Kita tahu, korupsi ugal-ugalan lembaga pengelola investasi di Malaysia itu sampai menjatuhkan kursi sang Perdana Menteri.
KHAIRUL ANAM, AISHA SAIDRA, RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo