Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Para petani dari Desa Simalinglar dan Sei Mencirim, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, menagih janji Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang ingin menuntaskan konflik dan mengembalikan hak atas tanah para petaniyang digusur PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Janji tersebut tidak pernah dijalankan hingga petani terkatung-katung selama dua tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Sudah banyak rapat dan korespondensi surat dilakukan para pihak untuk menindaklanjuti konflik agraria tersebut. Pendek kata, penyelesaian menguap tanpa kepastian konkret bagi rakyat,” ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika lewat keterangan tertulis pada Jumat, 14 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dewi bercerita, petani dari dua desa di Deli Serdang sudah dua kali bertemu dengan Jokowi dan kementerian yang berwenang. Dua tahun lalu, 179 petani dari kedua desa melakukan aksi jalan kaki dari Deli Serdang, Sumatera Utara, ke Jakarta.
Aksi jalan kaki tersebut berlangsung selama 40 hari dengan tekad bulat menemui Presiden Jokowi. Sebab, ladang dan perumahan mereka telah digusur oleh PTPN II, termasuk tanah dan rumah yang telah bersertipikat (SHM), dengan pengawalan polisi dan tentara.
“Sementara itu semua instansi di daerah dari gubernur hingga jajaran terbawah tidak mampu memberi penyelesaian,” kata Dewi.
Setelah berjalan kaki dan sampai di Jakarta, para petani ini bertahan lebih dari sebulan di Ibu Kota. Selain aksi tersebut, petani menemui berbagai pihak sampai akhirnya berjumpa dengan Jokowi. “(Petani) Dijanjikan konflik agraria Simalingkar dan Sei Mencirim akan segera dituntaskan (oleh Jokowi).”
Jokowi, Dewi berujar, memerintahkan Kepala Kantor Staf Kepresidenan dan Menteri ATR/BPN untuk segera menyelesaikan konflik dan mengembalikan hak atas tanah para petani. Pasca-pertemuan itu, Menteri BUMN, PTPN II, dan Gubernur Sumatera Utara turun tangan.
Kemudian terbentuklah Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria Sei Mencirim dan Simalingkar yang melibatkan semua pihak. Menurut laporan KSP, hasil nalisis tim telah dilaporkan kepada Jokowi.
Adapun hasilnya, pertama mengalokasikan lahan untuk perumahan seluas 150 meter persegi per keluarga kepada 716 KK di Desa Simalingkar dan 692 KK di Desa Sei Mencirim. Kedua, mengalokasikan lahan pertanian seluas 2.500 meter persegi per keluarga kepada 716 KK di Desa Simalingkar dan 692 KK di Desa Sei Mencirim.
Ketiga, menata ulang tanah sebanyak 52 bidang rumah dan tanah bersertipikat hak milik (SHM). Keempat, sebagai bagian dari pemulihan hak atas tanah yang telah digusur, pemerintah membangunkan rumah masyarakat beserta fasilitas umum dan sosial bagi subyek prioritas. Kelima, setiap kementerian/lembga menjalankan hasil kesepakatan bersama dengan jelas dan tuntas.
“Perlu diingat kesepakatan luasan alokasi tanah di atas sudah turun jauh dari tuntutan dan hak masyarakat yang sebenarnya harus diterima. Apalagi ada pula SHM warga beserta rumah dan pekarangannya yang harus dipulihkan akibat peristiwa penggusuran tahun 2020,” tutur Dewi.
Namun, Dewi melanjutkan, selama dua tahun bergulir, banyak pihak dari kelementerian/lembaga mengklaim kasus ini telah diselesaikan. Bahkan, dia berujar, kasus ini dimanfaatkan sebagai cerita sukses penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria. “Padahal tanah belum kembali ke tangan petani,” ucap Dewi.
Dewi melanjutkan, dalam kunjungan Jokowi ke Pasar Petisah di Kota Medan, para petani sempat kembali mendatangi presiden akibat janji itu tidak terealisasi. Sekali lagi, Jokowi pun memanggil Gubernur Sumatera Utara ke Istana. Sejumlah rapat kembali digelar. “Namun, realisasi penyelesaian tidak kunjung dilaksanakan oleh gubernur, Kementerian BUMN, KSP dan ATR/BPN,” kata Dewi.
Dewi menilai kejadian ini sangat miris. Tiga pertemuan Jokowi dengan petani dan rapat tingkat menteri tidak menghasilkan penyelesaian. “Lebih miris, puluhan rapat-rapat tindak lanjut itu tidak melibatkan petani Simalingkar-Sei Mencirim dan organisasi masyarakat sipil, hanya surat antar kementerian/ lembaga saja yang diterbitkan,” ujar dia.
Pada 10 Oktober 2022, perwakilan petani Desa Sei Mencirim dan Simalingkar kembali melapor ke Sekretariat Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Mereka bertekad tidak akan kembali melapor ke Jokowi sebelum ada eksekusi lahan/
Kemudian, pada 11 Oktober, perwakilan dari Sekretariat Tani Mencirim Bersatu dan Serikat Tani Simalingkar Bersatu bertemu dengan Wakil Menteri ATR/BPN di kantor Kementerian untuk kembali menagih dan mendorong penyelesaian. “Menindaklanjuti pertemuan, kabarnya Menteri ATR/BPN telah bertemu Menteri BUMN untuk mendorong percepatan penyelesaian,” kata Dewi.
KPA, Dewi melanjutkan, melihat belum ada iktikad penuh dari kabinet Jokowi untuk menuntaskan konflik agraria secara tepat, cepat. dan efektif. Pendekatan prosedural normatif juga dinilai menghambat reforma agraria di PTPN yang selama ini tetap jadi acuan, minus terobosan, ego sektoral, dan saling lempar tanggung jawab.
“Kami melihat kecenderungan menguapkan kembali keputusan yang telah diambil pemerintah kepada masyarakat,” tutur Dewi.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.