Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

PLTS Terhambat, Industri Sebut Karena Syarat Komponen Lokal 40 Persen

Aturan tingkat komponen dalam negeri atau TKDN 40 persen dinilai menghambat tumbuhnya industri pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

1 Juni 2021 | 14.09 WIB

Direktur Institute for Essential Service Reform, Fabby Tumiwa (kemeja kotak-kotak biru), Ketua Dewan Pakar Asosiasi Surya Energi Indonesia (AESI), Nur Pamudji (kemeja putih) dan Ketua Umum AESI, Andhika Prastawa (kemeja hitam) saat mengelar diskusi mengenai pemanfaatan energi surya di Indonesia, Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 1 Juli 2018. TEMPO/Dias Prasongko
Perbesar
Direktur Institute for Essential Service Reform, Fabby Tumiwa (kemeja kotak-kotak biru), Ketua Dewan Pakar Asosiasi Surya Energi Indonesia (AESI), Nur Pamudji (kemeja putih) dan Ketua Umum AESI, Andhika Prastawa (kemeja hitam) saat mengelar diskusi mengenai pemanfaatan energi surya di Indonesia, Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 1 Juli 2018. TEMPO/Dias Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia atau AESI Fabby Tumiwa menilai aturan tingkat komponen dalam negeri atau TKDN 40 persen menghambat tumbuhnya industri pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Musababnya, saat ini komponen yang dibutuhkan untuk pembangunan PLTS, seperti modul surya, belum seluruhnya bisa diperoleh di dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sebagian besar, sekitar 80 persen kebutuhan untuk modul surya kita ini impor,” ujar Fabby saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 1 Juni 2021.

Menurut Fabby, salah satu komponen yang saat ini belum diproduksi di Indonesia adalah kaca berjenis low iron untuk bahan modul surya. Bahan baku pembuat kaca ini masih diimpor dari Cina dan India yang lebih dulu mengembangkan PLTS.  

Ia mengatakan asosiasinya telah berbicara dengan Kementerian Perindustrian untuk merelaksasi aturan ihwal TKDN bagi industri yang ekosistemnya belum tumbuh. Ketentuan TKDN 40 persen, menurut Fabby, bisa terpenuhi setelah terbangun pasar dan pelaku industri tenaga surya terbentuk.

Fabby lalu mencontohkan India yang sempat menghadapi masalah serupa. Pada 2008, India masih kesulitan mendatangkan komponen atau bahan baku PLTS. Pemerintah setempat pun memungkinkan  proyek-proyek PLTS setempat mendatangkan komponen dari luar negeri.

“Setelah demand besar, pemerintah baru memberikan ketentuan untuk semua proyek,” ujar Fabby.

Pemerintah mengejar target bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen hingga 2025. Target bauran ini didorong salah satunya melalui pembangunan PLTS atap untuk kebutuhan rumah tangga.

Fabby menjelaskan, dilihat dari potensi pasarnya, saat ini kapasitas energi bisa didorong mencapai 1-1,5 gigawatt per tahun untuk PLTS atap. Seandainya dihitung dengan PLTS yang dikembangkan PLN, ia memprediksi potensi kapasitas energi surya sampai 2025 bisa menyentuh 10 gigawatt per tahun.

“Setelah pasar terbentuk, kami yakin industri untuk komponen, seperti modul surya bisa tumbuh di Indonesia dan akan dikerjakan UMKM, seperti pembuatan frame. Jadi, industri PLTS juga akan meningkat 3-5 tahun,” ujarnya.

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus