Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Putar Otak Menjinakkan Dolar

Rupiah masih tertekan dalam dua pekan terakhir. Pemerintah, bank sentral, pengusaha, dan Otoritas Jasa Keuangan keroyokan menentukan siasat.

25 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA jam Nanang Hendarsah meriung bersama perwakilan empat puluh perusahaan terbesar nasional. Di dalam ruang Candra, lantai 6 gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis pekan lalu, Nanang menjelaskan kebijakan baru bank sentral tentang penurunan rate dan minimal transaksi swap fasilitas lindung nilai (hedging). "Kami undang 40 perusahaan dulu," kata Nanang, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Jumat pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bank Indonesia awalnya berencana mengundang 90 perusahaan yang memiliki volume ekspor dan impor terbesar. Belakangan, Bank Indonesia menganggap jumlah itu kebanyakan. "Sisanya nanti saja di tahap kedua," ucap Nanang. Sejumlah perusahaan yang hadir pada Kamis pekan lalu di antaranya Pertamina, PLN, Astra International, dan Garuda Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bank Indonesia tampak bergegas merespons gejolak moneter sepanjang dua pekan terakhir. Dua hari sebelum mengumpulkan 40 perusahaan, 20 bank lebih dulu dikumpulkan. BI mengumpulkan perbankan karena korporasi kerap melakukan lindung nilai lewat perantara perbankan. "Ini untuk hedging dengan tenor 3, 6, 9, dan 12 bulan," ujar Nanang.

Sejak Selasa pekan lalu, Bank Indonesia mengubah ketentuan transaksi minimum foreign exchange swap lindung nilai dari US$ 10 juta menjadi US$ 2 juta. BI juga menurunkan rate transaksi tersebut. Bank sentral berharap kebijakan ini mampu menarik lebih banyak korporasi melakukan hedging agar terlindung dari fluktuasi pelemahan rupiah, yang pada Jumat pekan lalu mencapai 14.655 per dolar Amerika Serikat.

Penurunan nilai transaksi minimal swap hedging adalah kebijakan moneter lain dari bank sentral. Sebelumnya, pada pertengahan Agustus, Bank Indonesia menaik­kan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis point menjadi 5,5 persen. Suku bunga deposit facility dan lending facility juga dinaikkan 25 basis point menjadi 4,75 persen dan 6,25 persen. BI mengambil kebijakan menaikkan suku bunga untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik dan mengendalikan defisit transaksi berjalan pada batas aman­yang pada kuartal kedua 2018 telah menyentuh 3 persen terhadap produk domestik bruto.

BI menerapkan kebijakan itu setelah The Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat, menaikkan suku bunga acuan pada Juni lalu sebesar 1,75-2 persen. Ini kenaikan kedua sepanjang tahun ini. Kenaikan ini yang memicu arus pulang modal asing yang terbenam di Indonesia. Kondisi itu merembet ke pelemahan rupiah, yang terjadi sejak Juni. Pada 21 Juni, rupiah terkulai di kisaran 14.090 per dolar. Sejak itu, nilai tukar rupiah belum menguat kembali.

Sejak Juni, pemerintah dan bank sentral menempuh aneka upaya untuk menahan laju pelemahan rupiah. Pada 26 Juli, misalnya, Presiden Joko Widodo mengundang para pengusaha top berbasis ekspor ke Istana Bogor. Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk Garibaldi "Boy" Thohir termasuk salah satu undangan. Menurut Boy, yang ditemui Tempo pada awal Agustus lalu, pemerintah meminta masukan pengusaha agar ekspor meningkat. "Kami kasih masukan, mumpung harga batu bara bagus, ekspor bisa ditingkatkan," ujarnya.

Empat hari kemudian, atau Selasa, 31 Juli 2018, Presiden kembali membahas hal yang sama di Istana Bogor. Dalam rapat terbatas, yang dihadiri sejumlah menteri dan bos badan usaha milik negara, Jokowi mengusulkan kebijakan untuk mengendalikan impor sekaligus meningkatkan ekspor. "Barang-barang yang tidak bersifat strategis yang perlu kita stop dulu, dikurangi atau diturunkan," katanya.

Presiden juga mengingatkan ihwal mandat pemakaian minyak nabati dalam biodiesel sebesar 20 persen. Menurut Presiden, penerapan 20 persen minyak nabati dalam biodiesel bisa menghemat devisa impor bahan bakar minyak sebanyak US$ 21 juta per hari. Seseorang yang mengetahui isi rapat terbatas itu mengatakan Presiden agak kesal karena realisasi program B20 itu lambat. "Pembahasan rapat malah lebih banyak soal B20 ini," ucap sumber tersebut.

Presiden menggelar lagi rapat terbatas untuk menanggulangi pelemahan rupiah dua pekan kemudian, atau Selasa, 14 Agustus 2018, kali ini di Kantor Presiden, Jakarta. Ihwal upaya pengendalian impor, pemerintah akan memberlakukan pengenaan pajak penghasilan (PPh). "Kami sedang menghitung dampaknya terhadap industri dan berapa level PPh-nya. Dalam satu atau dua minggu ini bisa dijalankan," tutur Menteri Keuangan Sri Mulyani setelah menghadiri rapat koordinasi pengendalian inflasi di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jumat pekan lalu.

Menurut ekonom dari Universitas Indonesia, Chatib Basri, sumber defisit impor selama ini adalah minyak dan gas. Pemerintah, kata Chatib, sebetulnya punya solusi dengan menaikkan harga BBM. Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu ingat, pemerintah pernah menaikkan harga BBM sebesar 40 persen pada 2013. "Itu sembilan bulan sebelum pemilu, sama seperti sekarang, karena situasinya mendesak," katanya, Rabu pekan lalu. Chatib berharap penerapan B20 bisa menolong defisit transaksi berjalan. "Mudah-mudahan B20 sekarang bisa jalan."

Setelah diingatkan Jokowi dalam rapat terbatas di Istana Bogor, akhir Juli lalu, B20 akhirnya segera diterapkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, B20 akan efektif diterapkan mulai 1 September 2018. "Penerapan ini bisa mendukung penghematan devisa impor US$ 2-2,3 miliar untuk 2018 ini saja," ujarnya. Agar penerapan B20 efektif, pemerintah telah menyiapkan denda untuk badan usaha yang tidak patuh. Sanksinya relatif besar, yaitu Rp 6.000 per liter bila badan usaha tidak mencampurkan 20 persen minyak nabati dalam biodiesel.

l l l

SAAT pemerintah dan bank sentral menggunakan aneka jurus untuk menguatkan nilai tukar, rupiah justru kembali sempoyongan pada Jumat pekan lalu. Pada penutupan penjualan hari itu, kurs referensi mencapai 14.665. Itu adalah kurs terburuk sejak rupiah menyentuh angka terlemah 14.728 pada 29 September 2015.

Jumat siang pekan lalu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, kendati rupiah kembali melemah, nilai tukar relatif terkendali bila dilihat secara year to date. Depresiasi rupiah sepanjang 2018 hanya 7 persen. Depresiasi itu jauh lebih rendah dibanding catatan negara lain, seperti Afrika Selatan yang mencapai 13,7 persen dan Brasil yang angkanya 18,2 persen. Apalagi bila dibandingkan dengan Argentina dan Turki, yang depresiasi mata uangnya terhadap dolar mencapai 40 persen sepanjang tahun ini. "Ini gonjang-ganjingnya di seluruh dunia. Makanya, bandingkan dengan negara lain," kata Perry di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian.

Menurut Chatib Basri, pelemahan rupiah saat ini merupakan proses perubahan menuju keseimbangan baru. Keseimbangan ini dituju lewat upaya Amerika mengembalikan situasi sebelum krisis global 2008-2009. Saat itu, tingkat suku bunga The Fed 3,5 persen. Ketika terjadi krisis, barulah The Fed menurunkan suku bunga hingga menjadi 0,25 persen, yang menurut Chatib adalah kondisi abnormal. "Cuma, karena berlangsung lama, kita anggap normal," ucapnya. "Sementara berharap kurs tetap 13 ribu tentu tidak bisa."

Chatib berpendapat kebijakan BI menaikkan suku bunga sudah tepat. Kebijakan itu mampu menahan arus modal keluar. Suku bunga BI harus dinaikkan karena The Fed diprediksi akan mengerek naik suku bunga acuannya sampai 3,5 persen dalam dua tahun. "Mau enggak mau, BI ­harus naikin suku bunga. Kalau enggak, pelemahan rupiah akan makin parah," ujarnya.

Perry Warjiyo mengklaim kebijakan BI menaikkan rate membuat arus modal kembali, terutama untuk investasi di surat berharga negara jangka panjang. "Long-term investor sudah mulai masuk lagi," kata Perry, Jumat pekan lalu. Namun, menurut Chatib, kembalinya arus modal asing itu belum cukup. Pemerintah harus memperbanyak investor lokal pemegang surat berharga negara.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan per 20 Agustus 2018, outstanding surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 3.504 triliun. Rinciannya: surat utang negara (SUN) rupiah Rp 2.252 triliun, SUN dan surat berharga syariah negara (SBSN) valuta asing Rp 1.011 triliun, serta SBSN rupiah Rp 363 triliun. Sebanyak 44,52 persen pemegang SUN dan SBSN rupiah merupakan investor asing­termasuk negara dan bank sentral. Artinya, total investor asing yang menggenggam SBN mencapai 57 persen. "Kalau ada shock, yang 57 persen ini pulang. Pasti rupiah kolaps," tutur Chatib. Itu sebabnya porsi asing harus diperkecil.

Direktur Strategi dan Portofolio Utang Kementerian Keuangan Schneider Siahaan menerangkan, pemerintah sebetulnya terus berupaya menambah jumlah investor domestik dalam SBN. Salah satunya lewat penerbitan surat berharga retail (SBR 004) untuk investor milenial pada Agustus ini. "Kami terbitkan lewat online," kata Schneider, Jumat pekan lalu. Kementerian, Schneider melanjutkan, juga mencoba menarik investor domestik kelas kakap, terutama pemegang dana kelolaan seperti asuransi dan dana pensiun. "Taspen, BPJS Ketenagakerjaan, dana pensiun, dan pengelola dana haji sudah menunjukkan komitmen untuk private placement."

Pemerintah menargetkan kenaikan bauran investor lokal dalam SBN menjadi 80 persen dalam lima tahun. Sayangnya, kata Schneider, pemerintah tak punya daya paksa dalam mendorong investor domestik. "Dana kelolaan pensiun itu besar. Tapi mau enggak mereka memanfaatkannya ke SBN?" Di sisi lain, Schneider menambahkan, pemerintah tak bisa menolak investor asing. "Indonesia menganut pasar devisa bebas."

Pemerintah dan bank sentral terus memperkuat fondasi rupiah dengan segala cara. Otoritas Jasa Keuangan menawarkan insentif bagi perbankan yang membiayai ekspor. Tapi dolar terus menguat. Ekonom Samuel Asset Management, Lana Soelistianingsih, menyebutkan level psikologis nilai tukar rupiah saat ini berada di angka 14.800. Angka itu mengacu pada kurs terlemah terakhir yang pernah dialami rupiah, yaitu pada 2015. "Bila lewat di atas itu, wasalamualaikum," kata Lana, Selasa pekan lalu. "Kita belum punya pengalaman rupiah bergerak lewat 15 ribu, kecuali saat huru-hara Mei 1998."

Khairul Anam

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus