Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Arak

MINUMAN keras sering muncul dalam pemberitaan media massa. Ada media massa yang menyingkatnya dengan akronim miras dan minol.

25 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINUMAN keras sering muncul dalam pemberitaan media massa. Ada media massa yang menyingkatnya dengan akronim miras dan minol. Pemberitaan yang sempat mencuat adalah tentang korban minuman keras oplosan dan polemik kepemilikan saham Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di perusahaan minuman keras. Sebagai pembaca, saya merasa ganjil juga mendapat kabar itu. Lazimnya, pemerintah daerah memiliki saham di badan usaha milik daerah. Apalagi, konon, kepemilikan saham itu telah ada sejak 1970-an.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika kita membaca sejarah, minuman keras, dengan berbagai sebutan, memang sudah lama lekat dengan masyarakat. Terlebih, dalam budaya tertentu, minuman keras merupakan bagian dari ritual, perayaan, dan perjamuan. Sekarang saja, Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat lebih dari 30 kata yang mengandung makna minuman keras: anggur merah, anis, aqua vitae, arak, beram, bir, bozah, brem, ciu, genegin, gin, kameko, khamar, kurasao, martini, moke, pahit, jenewer, papak, punch, rum, saguer, sajang, sajang tapai, sampanye, sopi manis, sopi, susu macan, syarab, tuak keras, tuak manis, tuak, vodka, dan wiski. Daftar itu bisa saja bertambah jika nama minuman keras dari berbagai daerah dimasukkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekarang mari kita sejenak menengok ke masa lalu. Anda tentu pernah mendengar kitab Sutasoma dari abad ke-14 yang menjadi sumber semboyan negara Indonesia. Dalam kakawin itu, tercatat dua adegan perayaan yang dihiasi kehadiran minuman keras. Dalam satu adegan, digambarkan "semua pengiring Raja Kasi telah mendapatkan tuak, badyag, waragang, kilang, brem, tampo, pangasih, yang mengalir bagaikan air". Dalam adegan lain, digambarkan "tampo pengasih, kilang, brem, mengalir dengan cepat disajikan dalam botol-botol, guci yang jumlahnya ribuan". Semua kata bercetak miring itu merujuk pada jenis minuman keras.

Kota Jakarta juga ternyata memiliki sejarah panjang berkaitan dengan minuman keras. Arak sudah muncul dalam laporan-laporan perjalanan ke Jakarta pada masa lalu. Dalam pelayaran kedua ke Nusantara, armada Belanda di bawah pimpinan Wybrand van Warwijck singgah kembali di Jaccatra dalam perjalanan ke Maluku. Pada 16 November 1599, mereka mempersiapkan perbekalan dengan "berlayar ke sungai segar tempat mereka mengambil air dan membeli Aracca serta beras dalam jumlah besar dari orang Cina".

Setelah itu, pada 1607, Laksamana Cornelis Matelief de Jonge berlabuh di Jaccatra dan memberikan kesaksian: "Raja ini tampaknya orang cakap, yang bertanya dengan ingin tahu tentang berbagai hal di Belanda. Ia sendiri membuat bedil dan meriam besar. Kapal-kapal memperoleh 17 legger (9.894 liter) Arack di sini." Selanjutnya, pada 1614, diadakan perjanjian antara Pangeran Jayawikarta (Jayakarta) dan Gubernur Jenderal VOC G. Reijnst. Perjanjian itu antara lain berisi: "dan dijanjikan pula untuk menghapus bea atas arack dan ruba-ruba kapal."

Informasi itu diperkuat John Hooyman bahwa pada 1611 ada sebuah pecinan yang sudah mapan dan membangun loji pertama di bawah pimpinan Wattingh serta mengkhususkan diri dalam perdagangan beras. Di sana terdapat juga beberapa pabrik arak (arak-branderijen) yang menyuling minuman keras dari beras dan tebu.

Rupanya, arak menjadi komoditas yang menggiurkan sehingga, di Batavia, Belanda mendirikan perusahaan Batavia-Arak Maatschappij. Perusahaan itu mengekspor arak untuk dibotolkan di Belanda dan dijual ke berbagai tempat. Hingga kini, minuman yang disebut Batavia arrack masih memiliki tempat di Belanda.

Kata arak menurut satu sumber diserap dari bahasa Arab, araq, yang antara lain berarti "sweat, liquor". Dalam Lisanularabi, araq dijelaskan antara lain sebagai "sesuatu yang keluar dari pangkal rambut atau kulit (keringat)". Makna itu kemudian berkembang meliputi makna "distilasi atau penyulingan".

Meskipun kata arak berasal dari Arab, sulit untuk menyatakan masyarakat Indonesia menerima langsung konsep itu dari Arab. Kata harak (minuman keras) ternyata sudah muncul pada pupuh ke-90 dari Nagarakretagama, yang ditulis pada 1365, dan pada masa itu pengaruh Indialah yang menguat. Menurut satu sumber, teknologi distilasi arak berkembang pada masa Kesultanan Delhi, kemudian menyebar ke Cina dan sampai di Jawa oleh orang Mongol pada masa Dinasti Yuan. Konon, minuman keras Korea, soju, awalnya juga disebut arkhi.

Dengan melihat begitu lama kelekatan Jakarta dan minuman keras dalam sejarah, rasa ganjil pun memudar. Jakarta tidak memiliki kekayaan berupa rempah-rempah, tapi mampu menyediakan keperluan untuk pencarian rempah-rempah. Kini juga Jakarta tidak memiliki sumber daya alam. Tentu Jakarta akan selalu mencari jalan untuk memperoleh pendapatan daerah, termasuk jalan yang tidak lazim ditempuh di daerah lain.

Asep Rahmat Hidayat
Peneliti Di Balai Bahasa Jawa Barat

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus