Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Batam - Peraturan Presiden (Perpres) soal Rempang Eco-city tidak memberikan solusi untuk masalah konflik agraria antara masyarakat lokal Rempang dengan Badan Pengusahaan (BP Batam).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Yayayan Lembaga Bantuan Hukum Indonesian (YLBHI) solusi persoalan ini tidak lain, pemerintah harus mengakui tanah ulayat masyarakat lokal melayu yang ada di Rempang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Anggota Divisi Advokasi Yayasan Lembatan Bantuan Hukum Edy Kurniawan mengatakan keluarnya Perpres No. 78 tahun 2023 di momen pemilu dan akhir masa jabatan Presiden Jokowi diyakini hanya bancakan semata. Dimana, perpres ini secara umum mengatur dua hal, satu perubahan kewenangan dari gubernur ke pengelola kawasan perdagangan bebas pelabuhan bebas batam (KPBPB). Kedua mengatur mekanisme relokasi.
"Dua hal ini berkaitan langsung dengan Rempang," kata Edy kepada awak media dalam acara konferensi pers Tim Advokasi Solidaritas, di Batam, Jumat, 22 Desember 2023.
Dalam hal kewenangan penanganan dampak sosial yang awalnya di perpres tahun 2018 itu kewenangannya gubernur dan dapat mendelegasikannya pada bupati/walikota untuk kawasan umum. Jika itu masuk dalam kawasan bebas, itu dilaksanakan oleh Badan Pengusahaan atau BP. "Tidak ada lagi kata "dapat", dalam bahasa hukumnya fakultatif, boleh dan tidak. Kalau di kawasan bebas menjadi imperatif, tidak ada pilihan lain, menjadi kewenangannya BP Batam," ujarnya.
Sebelum Perpres Keluar Apa Dasar BP Batam?
Edy menanyakan perihal hukum yang dipakai BP Batam untuk melancarkan proses pembangunan Rempang Eco-city sebelum Perpres Nomor 78 ini keluar. "Lantas apa dasar BP Batam melakukan aktivitas di Pulau Rempang terkait dengan penanganan dampak sosial selama ini? Karena di perpres sebelumnya (Peraturan Presiden No. 62 Tahun 2018), kewenangan itu ada di Gubernur dan boleh didelegasikan ke Bupati/Waliota saja," katanya.
Bahkan menurut Edy ada dugaan apa yang dilakukan BP Batam selama ini (sebelum Perpres keluar) adalah perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pejabat. Dan itu bisa menjadi pintu masuk korupsi.
Kalau misalnya terjadi pergantian rezim, bisa saja BP Batam diseret dalam kasus korupsi. Makanya Perpres ini untuk mengamankan BP Batam dari jerat korupsi, apalagi faktanya BP Batam sudah melakukan berbagai hal di Rempang selama ini. Mulai dari pengukuran lahan, hingga pembangunan kawasan tempat relokasi warga Rempang.
Aspek kedua kata Edy, mengenai teknis pengadaan tanah untuk relokasi, di Perpres 78 tahun 2023 ini mengatur status tanah relokasi ini. "Dalam kasus Rempang, ditemukan proses pengadaan tanah relokasi (sebelum aturan Perpres 78 tahun 2023 ini keluar), namun sudah dilakukan BP Batam, maka kami simpulkan hal itu ilegal, itu adalah perbuatan melawan hukum, karena belum ada turan teknis yang melandasinya," ujarnya.
Sehingga menurut Edy, artinya ada perbuatan melawan hukum karena tidak ada landasan dan ada kerugian negara di sana. Boleh jadi ada dugaan korupsi. Dalam hal ini masyarakat Rempang sudah dirugikan atas kebijakan yang tidak memiliki landasan hukum.
Selanjutnya: Perpres bukan solusi konflik agraria di Rempang
Sebenarnya Perpres ini adalah kebijakan yang keliru kata Edy, seolah-olah yang mau ditangani adalah masyarakat yang terdampak dari pembangunan di tanah negara. Padahal permasalahannya persoalan kepemilikan tanah. Jangan sampai, Perpres ini diartikan seolah-olah mengklaim tanah Rempang adalah tanah negara.
"Di sini BP Batam mengkalim memiliki tanah di Rempang tapi tidak bisa menunjukan bukti kepemilikan mereka, apakah HGU (Hak Guna Usaha) atau hak pakai. Sampai sekarang kami belum temukan," katanya.
Sebaliknya masyarakat telah menguasai secara turun temurun sejak ratusan tahun. Jika kembali pada Undang-undang Pokok Agraria, dan Perpres No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, sebenarnya pengakuan kepemilikan tanah itu cukup diukur minimal 20 tahun, kalau warga tidak punya dasar kepemilikan (sertifikat dan surat-surat lain) minimal menguasai tanah itu 20 tahun berturut-turut. Artinya secara normatif masyarakat diakui secara hukum memiliki tanah di Pulau Rempang.
Persoalannya kata Edy, masalah ini semakin rumit karena pemerintah (BP Batam dan kementerian) yang tidak mau mengakui kepemilikan warga. "Satetemen BP Batam yang menjadikan Perpres ini sebagai instrumen baru untuk mengatasi masalah Rempang, itu keliru. Karena ini diperuntukan pada tanah yang clear (milik) tanah negara, di Rempang warga meyakini itu tanah mereka, bukan tanah negara, jadi tidak layak memakai Perpres ini untuk meminta warga Rempang pindah," katanya.
Selain itu Perpres ini adalah ditujukan untuk pembangunan nasional, padahal didalamnya tidak ada indikator pembangunan nasional itu sendiri. Pembangunan nasional justru menjadi kata yang berbahaya, karena definisinya tidak jelas.
Jika merujuk kepada Undang-undang Pembangunan Nasional, Pembangunan nasional adalah upaya yang dilakukan oleh semua komponen bangsa dalam mencapai tujuan bernegara. Itu masih sangat umum dan kabur, Perpres ini tidak berusaha memberikan batasan sehingga ini rawan untuk disalahgunakan.
"Proyek pembangunan swasta diklaim proyek pembangunan nasional. Di Rempang ini awalnya adalah proyek yang akan dikerjakan swasta dengan kerja sama BP Batam dan PT MEG, tiba2 diambil oleh negara dan mengklaim sebagai PSN," kata Edy.
"Maka dari itu, kami mendesak untuk menghentikan semua PSN di masa ini, untuk mengurangi kerugian yang lebih besar," katanya.