Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Bobotoh Suporter Terbaik Piala Presiden, Ini Plus Minus Suporter

Bobotoh terpilih sebagai suporter terbaik Piala Presiden menuai pro dan kontra. Apa kelebihan dan kekurangan suporter Indonesia?

19 Februari 2018 | 17.57 WIB

Aksi bobotoh atau suporter Persib Bandung di tribun penonton. ANTARA/Fahrul Jayadiputra
Perbesar
Aksi bobotoh atau suporter Persib Bandung di tribun penonton. ANTARA/Fahrul Jayadiputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Bobotoh, sebutan untuk suporter Persib Bandung, terpilih sebagai suporter terbaik Piala Presiden menuai pro dan kontra. Koordinator Save Our Soccer, Akmal Marhali menduga keputusan ini adalah keputusan yang politis. "Bobotoh sempat berulah dan akhirnya didenda Rp 10 juta saat melawan PSMS Medan. Harusnya Bali United yang menjadi suporter terbaik," kata Akmal saat dihubungi Tempo pada Senin 19 Februari 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Sebelumnya, pada Piala Presiden 2018, Persija Jakarta menjadi juara setelah mengalahkan Bali United di final. Ketua SC Piala Presiden 2018, Maruarar Sirait, menyatakan Bobotoh terpilih sebagai suporter terbaik dengan menyisihkan dua kandidat lain, yaitu bonek suporter Persebaya dan Aremania suporter Arema FC. "Penilaian utama dari penghargaan suporter terbaik ini adalah mampu memberi dukungan positif kepada klub, baik menang maupun kalah. Tapi secara keseluruhan suporter sudah memiliki kesadaran tinggi dalam menerima hasil pertandingan klub pujaannya," kata Maruarar Sirait. Baca: Kisah Perajin Jamu, Sekolahkan Anak S2 dan Pelanggan dari Amerika

Secara umum, Akmal mengatakan, suporter Indonesia memiliki sisi negatif dan sisi positifnya. Beberapa kekurangan yang dimiliki suporter Indonesia adalah mental terjajah. Para suporter masih membawa benda tajam ke stadion. Padahal dalam aturan Federasi Sepakbola Internasional (FIFA), ada aturan benda apa saja yang boleh dan tidak boleh dibawa para suporter. "Bahkan ada lho larangan membawa peniti ke stadion. Sayangnya aturan ini masih tidak dipatuhi suporter Indonesia," kata Akmal. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menambahkan, salah satu barang yang cukup sering dibawa oleh suporter Indonesia adalah kayu yang digunakan untuk mengibarkan bendera. "Awalnya memang menjadi tiang bendera, tapi kalau tim mereka kalah, kayu itu justru jadi senjata untuk melawan tim seberang," kata Akmal. Baca: Agnez Monica Diulas Vogue, Artis ini juga Ditulis Media Asing

Selain aturan benda tajam, aturan menginjak rumput itu pertandingan pun sebenarnya dilarang. Sayang jelas terlihat bahwa para suporter justru berlomba lomba ke lapangan hijau untuk merayakan kemenangan timnya, atau meluapkan emosinya saat tim kalah. 

Kerusuhan antar suporter, baik di dalam maupun di luar pertandingan, tentu sering menjadi kejadian yang 'normal'. Bahkan terkadang ada pula suporter yang akhirnya meninggal karena kerusuhan yang terjadi. "Suporter kita masih suka merusak sarana olahraga dan melakukan vandalisme, serta menyanyikan nyanyian rasis sehingga mengakibatkan kerusuhan," katanya.

Suporter Persija Jakarta, The Jak Mania, memasuki lapangan seusai penyerahan piala kepada Persija Jakarta pada final Piala Presiden 2018 di Stadion Utama GBK, Senayan, Jakarta, 17 Februari 2018. Persija keluar sebagai juara Piala Presiden 2018. ANTARA/Wahyu Putro A

Kekurangan suporter Indonesia ini, menurut Akmal, bukan hanya salah suporter semata, namun juga salah organisasi. Seharusnya suporter itu dibina oleh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) serta oleh manajemen klub sepakbola yang dibela suporter. PSSI bisa saja memberikan dana pembinaan yang bertujuan untuk keanggotaan suporter. Sedangkan manajemen tim, bisa menyebarluaskan aturan FIFA bila hendak menonton sepak bola di stadion. "Sayangnya selama ini suporter hanya dianggap penghasil uang saja melalui tiket mereka dan kurang diayomi oleh organisasi. Berbeda dengan suporter luar negeri yang menonton pertandingan bola dengan rapi seakan sedang nonton teater," kata Akmal. Baca: Mendapati Suami Selingkuh, Pilihan Anda Melabrak Pelakor atau...

Walau terkenal dengan kerusuhan, suporter Indonesia juga terkenal dengan fanatismenya. Hal itu justru menjadi kelebihan yang tidak dimiliki suporter luar negeri. Akmal mengatakan rasa kepemilikan tim yang tinggi sangat dimiliki suporter Indonesia. "Hal positifnya, nilai jual industrinya tinggi. Market Value nya tinggi. Itu yang tidak ada di negara asing," kata Akmal.

Karena fanatisme dan kepemilikan para suporter terhadap tim mereka tinggi, perlu adanya pengayoman dari organisasi sepak bola Indonesia, serta manajemen tim. "Para suporter ini seharusnya dirangkul. Bisa diawali dengan mengusut kematian para suporter yang tewas di pertandingan. Sejak 1994-2018 sudah ada 66 orang yang meninggal karena  kerusuhan pertandingan bola," kata Akmal yang mengatakan hingga saat ini kematian para suporter tidak ada yang mengusut. Saking banyaknya korban jiwa, menurut Akmal, kematian semakin dianggap normal saat pertandingan sepak bola.  

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus