Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sastrawan Jerman peraih Nobel Sastra pada 1999, Gunter Grass, meninggal dunia pada Senin, 13 April 2015 dalam usia 87 tahun. Pengarang novel Die Blechtrommel (The Tin Drum atau Genderang Kaleng) ini dianggap sebagai tokoh yang mengkampanyekan tanggung jawab moral dan sosial kaum intelektual.
Pada 2006, sastrawan dan politikus kelahiran 1927 itu membuat heboh dunia ketika mengaku bahwa semasa muda dia pernah menjadi anggota satuan elite pengawal Hitler, Waffen SS.
Reaksi pro dan kontra bermunculan dari seluruh penjuru dunia, karena pengadilan Nuremberg, yang digelar oleh pasukan Sekutu setelah Perang Dunia II untuk mengadili para pemimpin Nazi Jerman, menyatakan Waffen SS sebagai organisasi kriminal.
Apakah dengan begitu Grass otomatis dianggap telah melakukan kejahatan besar? "Saya cuma anak tanggung waktu itu, yang berangan-angan menjadi pahlawan," kata Grass membela diri.
Pengakuan Grass itu muncul dalam otobiografinya, Beim Haut der Zwiebel (Bagai Mengupas Bawang), yang terbit pada 2006. Tapi, pengakuan itu tak menyurutkan kecaman kepadanya dan kontroversi itu masih terjadi hingga kini.
Pada peluncuran buku Beim Haut der Zwiebel di Pameran Buku Internasional Frankfurt di Frankfurt, Jerman, pada 2007, Grass memaparkan soal keputusannya bergabung dengan Waffen SS kepada Sri Pudyastuti Baumeister dari Tempo.
Berikut ini petikan wawancaranya:
Apa yang ada di benak Anda ketika Anda melamar menjadi tenaga sukarela di korps militer Jerman?
Saya ingin menjadi pahlawan, keluar dari lingkungan sempit keluarga. Pilihan saya menjadi tentara. Maka saya sukarela melamar dan bangga ketika lamaran itu diterima.
Kenyataannya keterlibatan Anda di Waffen SS melahirkan begitu banyak reaksi pro-kontra.
Sebagai pemuda, saya akui, mata saya seperti buta. Saya tidak bertanya kepada orang-orang terdekat, seperti keluarga misalnya. Ini hal yang selalu jadi pikiran saya sampai sekarang. Bagaimana tanpa direncanakan saya mendadak mesti bergabung dengan Waffen SS. "Saya masih pemuda ingusan waktu itu," kata saya di pangkuan ibu saya. Saya melamar sebagai tenaga sukarela, tetapi status saya di Waffen SS layaknya wajib militer. Sungguh idiot. Semua itu menjadi pelajaran mahal di masa muda saya. Dan buku saya menjadi saksinya.
Kenapa Anda baru mengungkapnya sekarang?
Ini juga menjadi pertanyaan saya. Mengapa saya tidak melakukannya dari dulu-dulu? Semua saya ungkapkan di dalam buku ini, sehingga pembaca bisa melahirkan pendapatnya sendiri. Sekarang ini saya cuma bisa menggiring pembaca untuk membaca buku saya sebelum berkomentar. Buku-buku otobiografi umumnya ditulis dengan kesan bijaksana. Buku saya membuka kenyataan.
KORANTEMPO | SRI PUDYASTUTI BAUMEISTER | IWANK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini