Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seperti diberitakan TEMPO.CO, Selasa, 8 Mei 2018 malam dikabarkan telah terjadi insiden kericuhan antara narapidana dengan petugas keamanan di Markas Korps atau Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Belum diketahui dengan pasti bagaimana kronologi peristiwa tersebut, namun Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Pol M. Iqbal, telah membenarkan peristiwa kerusuhan di dalam sel tahanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa kerusuhan di dalam penjara memang sering terjadi, baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini menimbulkan pertanyaan. Apakah kerusuhan tersebut terkait dengan tekanan psikologis para tahanan yang tinggi? Lalu, bagaimana sebenarnya psikologis para tahanan di dalam penjara?
Baca juga:
The Met Gala 2018, Tilik Gaya Jaden Smith: Nyentrik Tanpa Gimbal
Jumlah Penderita Lupus Naik 2 Kali Lipat, Waspada 4 Gejala Ini
Kenapa Perempuan Lebih Cepat Tua Dibanding Pria? Cek Kata Ahli
Dilansir dari Reflexions, penjara dianggap mampu mengubah seseorang dengan mempengaruhi dimensi fisik mereka, melemahkan kehidupan emosional mereka, dan juga merusak identitas mereka. Hal ini juga diutarakan oleh seorang psikolog klinis, Jérôme Englebert, dalam buku dan disertasinya mengenai dampak psikologis para tahanan dalam penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jérôme percaya bahwa masalah paling mendasar yang mempengaruhi para tahanan adalah penahanan tubuh itu sendiri. "Ketika kita memenjarakan tubuh, kita mengubah hubungannya dengan ruang dan waktu," kata Jérôme psikolog klinis yang juga menjadi seorang dosen di Universitas Liège ini.
Setiap narapidana memiliki persepsi yang bias tentang ruang, waktu, dan tubuhnya sendiri. Dunia imajiner, jiwa, dan identitasnya semuanya terpengaruh. Menurut Jérôme, para tahanan memiliki keterikatan pada rutinitas harian, di mana terus berulang. Narapidana tidak dapat memilih kapan harus makan, mandi, tidur, atau bangun. Semua diatur oleh pihak penjaga. "Ini jelas menimbulkan masalah desosialisasi penahanan,” katanya.
Selain itu, ada sejumlah faktor lain yang dapat menciptakan atau meningkatkan kesulitan psikologis para tahanan di penjara. Seperti kurangnya privasi, belum lagi kekerasan, pemerasan, kurangnya seksualitas, homoseksualitas paksa, memburuknya beberapa fasilitas pada bangunan penjara, kelompok-kelompok di dalam antar tahanan yang berkuasa, dan hubungan buruk dengan beberapa staf penjara.
Inilah, menurut Jérôme, yang dapat menyebabkan stres, kecemasan, agitasi, depresi, pikiran bunuh diri, dan "psikosis penjara" atau "gerbang demam", di mana narapidana mengalami kecemasan ekstrim setelah pintu sel ditutup.
Perasaan putus asa dan sedih juga akan muncul setelah para tahanan semakin lama berada dalam penjara. Para narapidana yang tertekan cenderung menarik diri dari orang lain.
REFLEXIONS | PRISONFELLOWSHIP