Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Berita Tempo Plus

Sensasi Memelihara Tanaman Karnivora

Ragam bentuk dan warna mencolok tanaman karnivora, seperti kantong semar dan perangkap lalat Venus, kian ramai digemari pehobi tanaman hias. Keunikan tanaman yang bisa memangsa serangga dan ulat kecil itu menjadi daya tarik. Namun perawatannya cukup rumit. 

25 September 2022 | 00.00 WIB

Perawatan tanaman kantong semar (Nepenthes) yang dibudidayakan di Desa Kepel, Kare, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. ANTARA/Siswowidodo
Perbesar
Perawatan tanaman kantong semar (Nepenthes) yang dibudidayakan di Desa Kepel, Kare, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. ANTARA/Siswowidodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Rachmad Hidayat, 35 tahun, rajin kongko di taman kecil di belakang rumahnya di pinggiran Kota Bogor. Kebiasaan barunya itu dimulai enam bulan lalu. Tepatnya sejak ia mengoleksi tanaman karnivora, seperti perangkap lalat Venus dan beberapa jenis kantong semar. 

Pria yang bekerja sebagai aparatur sipil negara di sebuah kementerian itu mengaku suka tanaman hias sejak sekolah dasar. Kecintaan itu diturunkan oleh ibunya. Namun, untuk tanaman karnivora atau tumbuhan pemakan serangga, Rachmad mengaku tertular demam rekan-rekan kerjanya. 

Tanaman jenis Venus flytrap tiger teeth alias perangkap lalat Venus jenis gigi harimau menjadi tanaman favoritnya. Bagi Rachmad, keunikan bentuk dan corak warna yang mencolok menjadi pemikat tanaman bernama Latin Dionaea muscipula itu. “Seperti tanaman yang bukan dari bumi. Seperti tanaman dalam cerita fiksi saja,” kata Rachmad, Jumat lalu. 

Rachmad juga gemar menengok deretan koleksi tanaman karnivora dari pehobi lain di media sosial. Selain melihat keindahan berbagai jenis tanaman karnivora, ia bisa mendapat ilmu dan pandangan lain dalam merawat si perangkap lalat itu. “Lumayan, untuk hiburan dan menambah referensi saja. Sepertinya memang hobi ini sedang naik daun,” kata Rachmad.

k

Perawatan tanaman kantong semar (Nepenthes) yang dibudidayakan di Desa Kepel, Kare, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. ANTARA/Siswowidodo

Sementara itu, Hadrian Yonata memulai hobi memelihara tanaman karnivora pada 2014. Sama seperti Rachmad, pria yang menetap di Surabaya itu tertular demam tanaman karnivora dari kawannya. Ian—sapaan Hadrian—memang doyan memelihara hewan dan tanaman unik. Sebelum mengenal tanaman pemakan serangga, Ian memelihara beberapa jenis reptil. 

“Setelah main ke tempat teman dan lihat tanaman karnivora, kok, bagus. Unik, karena biasanya tanaman yang dimakan hewan. Ini malah sebaliknya,” kata Ian ketika diwawancara, Kamis lalu.

Secara bertahap, Ian mengumpulkan koleksi tanaman karnivora miliknya, dari drosera atau embun matahari, nepenthes alias kantong semar, si perangkap lalat Venus, heliamphora, sampai cephalotus. Kini Ian memiliki 70-100 jenis tanaman karnivora tersebut.

Bahkan, dari hobinya itu, Ian bisa meraup rupiah dari penjualan tanaman karnivora. Biasanya ia menjual tanaman secara daring. Per bulan ia bisa mengantongi Rp 2,5-5 juta dari bisnisnya itu. “Dibilang menjanjikan, ya, relatif. Tergantung bagaimana mengelolanya saja,” kata pemilik akun Instagram @carnivoriann itu.

Namun, Ian mengakui, bisnis tanaman karnivora tak mudah. Sebab, pada dasarnya merawat tanaman unik ini pun tak mudah. Ada beberapa hal dasar yang harus diperhatikan, seperti cahaya matahari, pemilihan air, dan media tanam, termasuk pemberian pakan jika tak ada serangga atau ulat alami di lokasi tanaman.

Gerry Khalim, pehobi sekaligus pemilik akun Instagram khusus tanaman karnivora @jakartavor.id, mengaminkan rumitnya memelihara kantong semar cs. Menurut Gerry, habitat tanaman karnivora terbagi dua, yakni di suhu yang cenderung dingin dan panas.

Pria yang berprofesi sebagai pengusaha pelebur nikel itu punya dua greenhouse atau rumah kaca untuk menampung tanaman karnivora yang hidup di suhu dingin dan panas. Saat ini, Gerry memiliki 350 tanaman dari 200 varian di rumah kaca dingin dan 400 tanaman dari 200 varian di rumah kaca panas. “Varian itu ada beberapa spesies, beda bentuk dan warna,” kata dia ketika dihubungi, Kamis lalu.

Namun, menurut Gerry, mayoritas tanaman karnivora membutuhkan sinar matahari yang lebih banyak dibanding tanaman lain. Selain itu, media tanam menjadi pekerjaan rumah yang menyulitkan. Jika tanaman pada umumnya hidup di tanah yang subur dan bernutrisi, tanaman karnivora sebaliknya. Tanaman karnivora justru bisa hidup pada tanah yang tak memiliki unsur hara dan mineral.

Media tanam tanaman karnivora pada umumnya adalah batu apung, batu perlit, ibaraki akadama, lumut gambut alias peat moss, pakis cacah, dan sekam mentah. “Tanahnya harus yang berongga, bebatuan. Pokoknya yang tidak ada nutrisinya,” tutur pria yang menetap di Cengkareng, Jakarta Barat, itu.

Karena itu, tanaman karnivora tak memerlukan pupuk. Untuk memenuhi nutrisinya sendiri, tanaman jenis ini bisa memangsa serangga yang hidup di sekitarnya. Karena itu pula, pemilik tanaman harus bisa memastikan ketersediaan serangga di lingkungan tanaman karnivora. Jika tidak ada serangga, pemilik bisa memberikan serangga, seperti lalat atau ulat, kepada tanaman-tanaman tersebut.

Kerumitan lain adalah pemberian air untuk tanaman karnivora. Menurut Gerry, airnya tak boleh sembarangan, harus dengan angka total dissolved solid (TDS) rendah, yakni 0-500 ppm. Artinya, air tak boleh memiliki zat padat terlarut yang tinggi. Walhasil, pemberian air ledeng berkaporit tak akan membuat tanaman hidup subur. Bahkan sejumlah pehobi tanaman karnivora menyarankan penggunaan air buangan penyejuk ruangan atau AC sebagai solusi. Air hujan juga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman karnivora.

Karena itulah, Gerry menyebutkan banyak pehobi pemula tanaman karnivora gagal merawat tanamannya. Sebab, ada sejumlah pehobi yang salah memberikan tanah media tanam hingga memilih air dan lokasi penanaman. Ia pun menyarankan agar para pehobi rajin mempelajari seluk-beluk tanaman yang hendak ditanam. Termasuk pintar-pintar menyesuaikan kebutuhan tanaman karnivora, seperti memberikan lampu jika tanaman kurang cahaya matahari.

“Pelajari dulu sebelum menanam. Tanya-tanya yang banyak. Jangan karena lapar mata malah jadi kompos.”

INDRA WIJAYA | FEBBYENTI SUCI RAMA TANIA (MAGANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Indra Wijaya

Bekarier di Tempo sejak 2011. Alumni Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menulis isu politik, pertahan dan keamanan, olahraga hingga gaya hidup.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus