Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Menjajal jadi Nelayan Tanpa Perahu di Desa Wisata Sambeng Borobudur

Di Desa Sambeng, pengunjung diajak membuat jala dan menebarnya di Sungai Progo. Ini merupakan bagian dari wisata Borobudur Trail of Civilization.

2 September 2024 | 11.28 WIB

Seorang wisatawan mencoba membuat jala di Desa Wisata Sambeng, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. TEMPO/Mila Novita
Perbesar
Seorang wisatawan mencoba membuat jala di Desa Wisata Sambeng, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. TEMPO/Mila Novita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Magelang - Desa Wisata Sambeng, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, menjadi tujuan terakhir dalam perjalanan Borobudur Trail of Civilization atau BToC pada Rabu sore, 28 Agustus 2024. Seperti desa-desa wisata lain di Borobudur, Sambeng menawarkan beberapa atraksi wisata. Salah satunya adalah mencoba jadi nelayan sambil naik getek di Sungai Progo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Namun, sebelum ke sungai, pengunjung terlebih dahulu diajak singgah ke Museum Nelayan Tanpa Perahu di desa itu. Museum yang baru buka setahun terakhir ini sebenarnya rumah salah satu penduduk yang disulap menjadi museum. Isinya adalah peralatan nelayan, foto-foto aktivitas desa di Sungai Progo, serta beberapa publikasi media tentang desa itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Disebut Museum Nelayan Tanpa Perahu karena nelayan di desa ini memang tidak menggunakan perahu. Penduduk biasanya mencari ikan dengan menjala dari batu atau getek atau memancing dari pinggir atau tengah sungai. 

Seorang pengunjung mencoba menjala, salah satu aktivitas wisata di Desa Wisata Sambeng, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. (Instagram/@borobudurtrail )

Afifa, pemandu di museum itu, menunjukkan ikan beong dalam sebuah akuarium. Ikan yang mirip patin itu, kata Afifa, merupakan yang paling banyak ditangkap nelayan di desa ini. Biasanya cukup untuk makan sehari-hari atau dijual ke warga sekitar. 

Dia juga menunjukkan foto-foto ritual warga Njala Sak Madya yang digelar akhir tahun lalu di Sungai Progo. "Ritual ini berarti sekucupnya, jangan banyak-banyak. Warga (ambil ikan) cukup untuk makan dan dijual, nggak berlebihan supaya ekosistem tetap terjaga," kata Afifa.

Nelayan dan petani

Tapi warga desa ini bukan hanya nelayan. Mereka juga petani yang menanam palawija. "Menanam padi di sini tidak bisa (karena kondisi tanah), jadi pertaniannya sebagian besar menghasilkan cabai dan kacaang tanah," kata dia.

Selain bercerita tentang kehidupan nelayan tanpa perahu di desa ini, Afifa juga menyuguhkan minuman khas yang disebut rujak semelak. Minuman ini terbuat dari sari buah mengkudu dicampur dengan nira serta rempah-rempah seperti kunyit dan cabai jawa atau puyang. Rasanya seperti jamu dengan sedikit rasa pedas. 

Mencoba aktivitas nelayan

Dari museum, pengunjung diajak ke pinggir kali. Namun, karena hari masih terlalu terang untuk naik getek dan menyaksikan matahari terbenam, Afifa menawarkan pengunjung untuk mencoba aktivitas nelayan di Omah mBalong, sebuah bangunan semiterbuka dari kayu yang berada tepat di pinggir sungai. Untuk menuju ke tempat ini, pengunjung harus berjalan kaki melewati jalan menurun. Jalannya sudah dibeton, tetapi tidak bisa dilewati mobil. 

Di sana sudah ada Trimo, yang akrab disapa Pak Jenggot, bersama seorang rekannya, yang sedang membuat jala dari benang nilon. Jala ini akan digunakan untuk menangkap ikan di sungai. 

Dia menawari pengunjung untuk belajar membuat jala dengan alat yang terbuat dari bambu. "Kalau buat sendiri, ukuran lubangnya bisa sesuai (yang diinginkan)," kata Pak Jenggot. 

Setelah belajar membuat jala, pengunjung diajak mencoba menggunakannya di sungai. Tak perlu turun basah-basahan karena Pak Jenggot mengajarkan menjala dari atas getek bambu yang masih terikat di tepi sungai. 

Dia mempraktikkanya terlebih dahulu sebelum meminta pengunjung mencobanya. Tali jala dipegangnya di tangan kanan, lalu sebagian disangkutkan di siku kanan. Tangan kiri mememegang jala pada bagian lain. Lalu dia melemparkannya ke sungai. Jala itu mengembang membentuk lingkaran lebar. Setelah didiamkan sesaat, dia menarik talinya pelan-pelan sampai seluruh jala terangkat. Sayang, tak ada satu pun ikan yang nyangkut. 

Kata Pak Jenggot, sebelum erupsi Gunung Merapi, ikan di sungai ini begitu banyak. Saat erupsi, lahar mengalir ke sungai membuat banyak ikan mati. 

Menjala memang tidak semudah yang dikira. Ketika mencoba melempar jala, tak satu pun pengunjung yang berhasil membuatnya mengembang sempurna seperti yang dilakukan Pak Jenggot. Tapi ini menyenangkan sampai-sampai ada pengunjung yang mencobanya berkali-kali. 

Selain jala yang dilempar, Pak Jenggot juga mengatakan bahwa nelayan sering menggunakan jaring sepanjang 50 sampai 100 meter untuk menangkap ikan. 

"Pasang jaring biasanya musim kemarau, kalau musim hujan takut hilang terbawa arus sungai," kata dia. 

Ikan Tombro yang Mahal 

Selain ikan beong, di sungai ini juga terdapat beberapa jenis ikan lain seperti towes abang, melem, nila, bader, uceng, tombro, dan kating. Di antara ikan-ikan itu, ada satu jenis ikan yang selalu bikin nelayan senang jika bisa menangkapnya, yakni ikan tombro. 

Ikan ini sering juga disebut sebagai ikan dewa. Hal yang bikin nelayan senang adalah harganya yang mahal. 

"Harga satu ekor seberat dua ons bisa sampai Rp300 ribu," kata Tio Sutopo, pemilik rumah yang dijadikan museum itu. 

Menurut Tio, ikan ini berharga mahal karena ada kepercayaan bisa membawa keberuntungan. Selain itu, ikan ini tergolong langka dan tidak bisa dibudidayakan. 

"Biasanya ikan ini hidup di air yang agak deras," kata Tio.

Meski tak dapat ikan beong atau ikan tombro dari Sungai Progo, mencoba aktivitas nelayan di Desa Sambeng Borobudur ini menjadi salah satu aktivitas seru yang bisa dicoba wisatawan. Turis asing pun banyak yang tertarik mencobanya, kata Afifa. 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus