Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

"gabus" dari sawahlunto

Samsuar, 37, warga desa pandan bajurai, sawahlunto, menodai anak kandungnya, marsita, 8 bulan, kini ia mendekam di polsek muara kalaban, takut dihajar massa. semula ia tak mengakui perbuatan itu.

10 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGAKNYA "perangai" ikan gabuslah, yang suka memakan anaknya, yang merasuki ubun-ubun Samsuar, 37 tahun. Ia, seperti dituduhkan polisi, tega menodai anak kandungnya, Marsita, bayi yang baru berusia delapan bulan. Perbuatannya itu memang menggegerkan penduduk kampung, Dusun Tigo Tingkah, Desa Pandan Bajurai -- 9 km dari Sawahlunto, tempat selama ini ia berdiam. Akibat kejadian itu pula, laki-laki itu kini ketakutan pulang ke kampungnya. Meskipun Polsek Muara Kalaban, pada 30 Mei lalu, sudah mengeluarkan surat penangguhan penahanannya, sampai kini, ia tetap berdiam di kantor polisi. Sebab, jika pulang, ia khawatir akan dihajar orang sekampungnya. "Jadi tukang sapu di sini pun saya mau," katanya pada TEMPO. Pada 1 Mei lalu, Samsuar baru saja pulang dari desa Talawi, 30 km dari Pandan Bajurai, setelah seminggu memburuh pada sawah orang di sana. Sesampai di rumah siang itu, ia diminta pula oleh istrinya, Asmaini, untuk menjaga bayinya, Marsita, yang lagi tidur. Asmaini sendiri di siang itu harus pergi mencuci pakaian ke sumur sekitar 100 meter. Rupanya, Samsuar yang "kelaparan" di bulan puasa itu tak sanggup menahan hasratnya. Entah iblis mana yang datang, ia melakukan perbuatan terkutuk itu terhadap bayinya sendiri. Tentu saja bayi itu menjerit sekeras-kerasnya. Asmaini, yang terkejut mendengar jeritan itu, bergegas kembali ke rumahnya. Ternyata, di tempat tidur, bayi itu sudah kejang dengan mata melotot. Wajahnya pucat dan bibirnya menghitam. Asmani semakin terkejut begitu melihat darah meleleh dari paha bayi itu. Bahkan sperma pun tampak tercecer di situ. Spontan saja ia menuduh suaminya telah melakukan yang tidak-tidak pada Marsita. Samsuar cuma tegak mematung. Tatkala bininya mendesak terus, ia pun mengangguk lemah. Kendati begitu, Asmaini terpaksa menutup mulut rapat-rapat agar tak malu pada orang sekampung. Sebab itu, selama 10 hari, ia diam-diam mengobati Marsita dengan mengusapkan air hangat kuku pada vagina bayinya. Setelah Marsita agak pulih, pada 11 Mei lalu, Asmaini membawanya ke puskesmas. Sejak itu pula, Samsuar kabur ke rumah orangtuanya -- masih di desa itu. Ia bahkan menceraikan bininya lewat sepucuk surat. Toh rahasia itu akhirnya tercium juga oleh penduduk. Sebab, berkali-kali Asmaini membawa bayinya ke puskesmas tanpa didampingi suaminya. Orang-orang pun mulai bergunjing macam-macam. Karena tak tahan lagi, Asmaini pun membeberkan apa yang terjadi kepada Kepala Desa Pandan Bajurai. Setelah itu ia segera memboyong Marsita ke rumah saudaranya di Sawahlunto. Namun, sejak itu orang-orang yang ingin tahu malah menguber Marsita. Bahkan RS Sawahlunto pun diserbu orang ketika Marsita dirawat di sana. Famili Asmaini terpaksa memasang taktik dengan mengabarkan Marsita sudah meninggal, hingga musibah itu pun segera dilupakan orang. Yang terus mengikuti kasus itu tentu saja pihak Polsek Muara Kelaban. Setelah memperoleh informasi dari Asmaini dan pihak RS berikut visumnya, pada 19 Mei lalu, polisi menangkap Samsuar. Tapi di pemeriksaan lelaki itu membantah menodai putrinya. Ia hanya mengaku mencabuli bayi itu dengan memasukkan jarinya ke alat vital si bayi -- pengakuan yang tak dipercayai pemeriksa. Pihak polisi tampaknya belum memerlukan psikiater untuk menyelidiki kejiwaan terdakwa. "Dia normal, kok, walau suka menangis menyesali perbuatannya," kata sumber TEMPO di Polsek Muara Kelaban. Asmaini juga tak menemukan kelainan pada diri suaminya. Sejak menikah enam tahun lalu, mereka rukun saja. Pada mulanya mereka berkeinginan memperoleh anak putri. Tapi yang lahir pertama adalah laki-laki, Wasri, yang kini berusia 3,5 tahun. Barulah delapan bulan lalu harapan mereka terkabul. Tapi siapa nyana bayi itu akan mengalami peristiwa mengerikan hanya beberapa bulan setelah lahir ke dunia.BL & Fachrul Rasyid (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus