Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAKIM itu tak menyebutkan sampai berapa tinggi tekanan darahnya
belakangan ini. Pokoknya, katanya "kalau persoalan itu terlalu
saya pikirkan, badan saya bisa mati sebelah . . ."
Persoalannya memang berat juga. Atasannya, Menteri Kehakiman,
memang telah mengampuninya. Tapi atasannya yang satu lagi,
Mahkamah Agung, tetap menskorsnya, melarangnya memegang perkara
apa pun. Bahkan melarangnya pula menyelesaikan perkara yang
masih berada di tangannya. Meskipun hakim dari Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat itu, Heru Gunawan, telah mengaku bersalah, tobat,
dan minta ampun segala.
Peristiwanya terjadi sekitar dua bulan lalu. Petugas opstib,
yang tiba-tiba menggerebek ruang kerja hakim di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, "menangkap basah" Hakim Heru Gunawan
menerima suap dari Nyonya Maria. Buktinya meyakinkan sebuah cek
bernilai Rp 9 juta dan uang kontan Rp 1 juta. Sebuah alat
perekam dapat menceritakan pembicaraan sebelumnya antara hakim
dengan pesakitan yang menyuapnya.
Rupanya telah terjadi tawar-menawar. Nyonya Maria, makelar
berlian yang tengah menghadapi tuntutan untuk perkara
penggelapan permata bernilai sekitar Rp 600 juta, telah
membicarakan perkaranya di luar sidang dengan hakimnya. Tak
jelas adakah sang hakim atau terdakwa yang memulai perundingan
sehingga sampai pada kesimpulan: Nyonya Maria harus menyerahkan
uang Rp 50 juta dan Hakim Heru Gunawan akan membereskan
perkaranya. Yang jelas, hari itu adalah penyerahan uang muka,
banyaknya Rp 10 juta.
Sumber Opstib menceritakan, meski jelas tertangkap basah, Heru
Gunawan masih mencoba mengelak. Tapi tambah orang Opstib,
bukti-bukti cukup berbicara dan menyudutkannya, hingga akhirnya
membuat dia mengaku. "Bahkan ia sampai menangis minta ampun,"
kata sumber tadi.
Difitnah
Opstib tentu tidak mengampuninya. Tapi Menteri Kehakiman yang
sudah menjatuhkan hukuman pembebasan tugas sementara, kemudian
mengampuninya. Dasarnya? "Pada asasnya," kata Menteri Mudjono,
"orang yang minta ampun harus diampuni." Pengampunan
administratif, sebagai pegawai negeri, "tapi bukan berarti
perkaranya dengan Opstib lantas bisa dihentikan."
Adakah pengampunan itu berarti Heru Gunawan boleh memegang
perkara? "Itu terserah Mahkamah Agung," kata Mudjono. Dan
Mahkamah Agung, seperti dikatakan Hakim Agung Djoko Sugianto,
masih tetap melarang Heru Gunawan mengurus perkara apa pun.
Larangan begitu, kata Djoko Sugianto, "merupakan wewenang
justisial Mahkamah Agung."
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Soedijono, memang belum
bermaksud membagi perkara kepada Heru Gunawan. Pengampunan
Menteri Kehakiman diartikannya dengan mengizinkan Heru Gunawan
masuk kantor dan membereskan tugas administrasi perkara-perkara
yang pernah dipegangnya.
Sedangkan skorsing Mahkamah Agung diartikan Soedijono dengan
menghentikan kegiatan Heru Gunawan dalam hal jabatannya sebagai
hakim. Dalam keadaan sekarang, katanya, meski Mahkamah Agung
mencabut hukumannya, untuk sementara Heru Gunwan masih
dianggapnya tak layak hakim lagi. Bila belum jelas benar apa
yang terjadi dengan dirinya, kata Soedijono, "meskipun Heru
Gunawan mengadili dan memutus perkara dengan jujur, masyarakat
tetap akan mencurigainya."
Heru Gunawan sendiri, menyatakan kepada TEMPO, merasa dirinya
terfitnah. Ia, katanya, tak tahu apa-apa tentang uang Rp 10 juta
yang menjadi bukti Opstib buat menjebaknya. Uang tersebut,
katanya pula, berada dalam sebuah map yang diletakkan Nyonya
Maria di meja kerjanya -- tanpa sepengetahuannya. Berita-berita
selama ini, kata sarjana hukum lulusan FH Airlangga 1954)
sangat memojokkannya. "Masak tak ada rasa kasihan terhadap
saya," kata hakim yang berdinas di Jakarta sejak 8 tahun lalu.
Ia tak mau menanggapi bukti-bukti lain yang dipunyai Opstib --
misalnya rekaman pembicarannya dengan Nyonya Maria. Juga
permintaan ampunnya kepada Menteri Kehakiman -- yang tentu
dianggap pengakuan bersalahnya. Juga tak diakuinya keterangan
yang menyatakan bahwa ia bersedia membuka tabir yang selama ini
dianggap menutupi apa yang disebut "mafia peradilan" kepada
Opstib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo