Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ampun, tuan hakim

Heru gunawan sh, hakim yang terlibat kasus suap, diampuni menteri kehakiman dari hukuman pembebasan tugas sementera. mahkamah agung tetap menskors dari jabatannya. mafia peradilan masih teka-teki.(hk)

17 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAKIM itu tak menyebutkan sampai berapa tinggi tekanan darahnya belakangan ini. Pokoknya, katanya "kalau persoalan itu terlalu saya pikirkan, badan saya bisa mati sebelah . . ." Persoalannya memang berat juga. Atasannya, Menteri Kehakiman, memang telah mengampuninya. Tapi atasannya yang satu lagi, Mahkamah Agung, tetap menskorsnya, melarangnya memegang perkara apa pun. Bahkan melarangnya pula menyelesaikan perkara yang masih berada di tangannya. Meskipun hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu, Heru Gunawan, telah mengaku bersalah, tobat, dan minta ampun segala. Peristiwanya terjadi sekitar dua bulan lalu. Petugas opstib, yang tiba-tiba menggerebek ruang kerja hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, "menangkap basah" Hakim Heru Gunawan menerima suap dari Nyonya Maria. Buktinya meyakinkan sebuah cek bernilai Rp 9 juta dan uang kontan Rp 1 juta. Sebuah alat perekam dapat menceritakan pembicaraan sebelumnya antara hakim dengan pesakitan yang menyuapnya. Rupanya telah terjadi tawar-menawar. Nyonya Maria, makelar berlian yang tengah menghadapi tuntutan untuk perkara penggelapan permata bernilai sekitar Rp 600 juta, telah membicarakan perkaranya di luar sidang dengan hakimnya. Tak jelas adakah sang hakim atau terdakwa yang memulai perundingan sehingga sampai pada kesimpulan: Nyonya Maria harus menyerahkan uang Rp 50 juta dan Hakim Heru Gunawan akan membereskan perkaranya. Yang jelas, hari itu adalah penyerahan uang muka, banyaknya Rp 10 juta. Sumber Opstib menceritakan, meski jelas tertangkap basah, Heru Gunawan masih mencoba mengelak. Tapi tambah orang Opstib, bukti-bukti cukup berbicara dan menyudutkannya, hingga akhirnya membuat dia mengaku. "Bahkan ia sampai menangis minta ampun," kata sumber tadi. Difitnah Opstib tentu tidak mengampuninya. Tapi Menteri Kehakiman yang sudah menjatuhkan hukuman pembebasan tugas sementara, kemudian mengampuninya. Dasarnya? "Pada asasnya," kata Menteri Mudjono, "orang yang minta ampun harus diampuni." Pengampunan administratif, sebagai pegawai negeri, "tapi bukan berarti perkaranya dengan Opstib lantas bisa dihentikan." Adakah pengampunan itu berarti Heru Gunawan boleh memegang perkara? "Itu terserah Mahkamah Agung," kata Mudjono. Dan Mahkamah Agung, seperti dikatakan Hakim Agung Djoko Sugianto, masih tetap melarang Heru Gunawan mengurus perkara apa pun. Larangan begitu, kata Djoko Sugianto, "merupakan wewenang justisial Mahkamah Agung." Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Soedijono, memang belum bermaksud membagi perkara kepada Heru Gunawan. Pengampunan Menteri Kehakiman diartikannya dengan mengizinkan Heru Gunawan masuk kantor dan membereskan tugas administrasi perkara-perkara yang pernah dipegangnya. Sedangkan skorsing Mahkamah Agung diartikan Soedijono dengan menghentikan kegiatan Heru Gunawan dalam hal jabatannya sebagai hakim. Dalam keadaan sekarang, katanya, meski Mahkamah Agung mencabut hukumannya, untuk sementara Heru Gunwan masih dianggapnya tak layak hakim lagi. Bila belum jelas benar apa yang terjadi dengan dirinya, kata Soedijono, "meskipun Heru Gunawan mengadili dan memutus perkara dengan jujur, masyarakat tetap akan mencurigainya." Heru Gunawan sendiri, menyatakan kepada TEMPO, merasa dirinya terfitnah. Ia, katanya, tak tahu apa-apa tentang uang Rp 10 juta yang menjadi bukti Opstib buat menjebaknya. Uang tersebut, katanya pula, berada dalam sebuah map yang diletakkan Nyonya Maria di meja kerjanya -- tanpa sepengetahuannya. Berita-berita selama ini, kata sarjana hukum lulusan FH Airlangga 1954) sangat memojokkannya. "Masak tak ada rasa kasihan terhadap saya," kata hakim yang berdinas di Jakarta sejak 8 tahun lalu. Ia tak mau menanggapi bukti-bukti lain yang dipunyai Opstib -- misalnya rekaman pembicarannya dengan Nyonya Maria. Juga permintaan ampunnya kepada Menteri Kehakiman -- yang tentu dianggap pengakuan bersalahnya. Juga tak diakuinya keterangan yang menyatakan bahwa ia bersedia membuka tabir yang selama ini dianggap menutupi apa yang disebut "mafia peradilan" kepada Opstib.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus