Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Antara Sidang Dan Harapan

Sidang ke VI konperensi hukum laut III di New York menghasilkan Revised Single Negotiating Text(RSNT) memuat 500 pasal. Negara berkembang sudah menjalankan konsepsi pelebaran laut 12 mil.

4 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI kapan manusia terus berkumpul untuk mencoba menata laut? Mungkin tak sampai tua. Tapi sejak sidang proseduril 1973 di New York terbuktilah bahwa mengurus hak dan kewajiban bangsa-bangsa di laut sangat tidak mudah. Memasuki sidang ke VI dari Konperensi ukum Laut III di New York, Senin pekan lalu, para negara peserta mungkin sudah mulai tak sabar. Dubes Srilangka Hamilton Shirley Amerasinghe, yang memimpin Konperensi, mencerminkan hal itu pada pembukaan sidang tersebut. Ia melepaskan kekhawatirannya, bila sidang sekali ini juga gagal membuat konvensi, maka bukan mustahil akan timbul anarki lautan, dan manusia akan memasuki "masa yang paling buruk yang telah dikenal sejak masa ketika bajak laut melakukan perompakan". Itulah sebabnya, dubes yang selalu menyelipkan kembang di bagian dada jasnya, menyerukan agar dikerahkan segala daya upaya untuk mencapai terciptanya perjanjian mengenai segala aspek hukum laut itu. Sedangkan Sekjen PBB Kurt Waldheim menghubungkan berhasil tidaknya konperensi ini dengan kredibilitas PBB - sementara tuntutan akan sumber-sumber lautan katanya akan terus meningkat. Memberi Harapan? Sudah luas tersiar bahwa AS akan segera mengambil tindakan unilateral untuk melindungi kepentingan perusahaan pertambangan yang bergerak di samudera dalam, di luar batas yurisdiksi nasional negara pantai (TEMPO, 21 Mei). Tapi bagi negara berkembang seperti Indonesia, kegagalan konperensi bukan masalah besar. Sebab mereka pun sudah lama menjalankan konsepsi mereka sendiri di bidang laut ini. Pelebaran laut teritorial menjadi 12 mil sudah lama mereka praktekkan, dan kini tanpa melalui suatu perjanjian multilateral, banyak negara lain sudah menganut lebar ang baru ini. Konperensi Hukum Laut PBB I dan II, 1958 dan 1960 tak berhasil merumuskan ketentuan tentang lebar kawasan laut yang dapat diklaim negara pantai ini. Dari sini ketahuan bahwa proses pembentukan kaidah hukum internasional tidak seluruhnya tergantung pada kesepakatan tertulis anggota masyarakat bangsa-bangsa. Lalu apakah sidang ke VI dari Konperensi Hukum Laut PBB yang dihadiri lebih 150 negara peserta ini masih bisa memberi harapan? Mungkin ya. Sebab, berkat keuletan kerja Ketua Amerasinghe, kini telah ada apa yang dinamakan Revisef Single Negotiating Text (RSNT) yang memuat sekitar 500 pasal. Dan tinggal beberapa puluh pasal dari RSNT tersebut yang masih dalam pembicaraan lanjutan. Ada beberapa isyu utama dalam sidang VI ini. Misalnya masalah dasar laut samudera dalam di luar yurisdiksi nasional. Para peserta umumnya sama sependapat bahwa kegagalan Komite I, yang membahas masalah ini, akan menyebabkan gagalnya konperensi secara keseluruhan. Isyu lain yang menonjol adalah mengenai hak lintas bagi kapal dan pesawat terbang, di dan di atas selat yang sudah lama dipakai secara internasional. Ini timbul lantaran banyak negara sudah menyetujui lebar laut 12 mil. Akibatnya 116 selat yang tadinya berstatus laut lepas kini menjadi laut teritorial negara pantai yang bersangkutan. Kapal-kapal yang melintasi selat ini, ataupun pesawat terbang yang melintas di atasnya, tidak boleh sembarangan bebas seperti sebelumnya. Mereka harus mengindahkan peraturan-peraturan pelayaran yang dikeluarkan negara pantai, seperti terkandung dalam prinsip hak lintas damai (innocent passage). Nah negara-negara maritim besar semacam AS mengusulkan supaya rezim lintas damai ini dilonggarkan sedikit, sehingga navigasi mereka tidak terganggu. Isyu zone ekonomi 200 mil mungkin tak begitu banyak memusingkan. Di sini negara-negara yang bersangkutan dapat mengusahakan secara ekonomis kekayaan laut. Yang paling jadi urusan adalah bagaimana supaya pengusahaan itu tak mengganggu kelestarian lingkungan, juga kepentingan-kepentingan lain, seperti navigasi dan riset ilmiah. Bagaikan Menyarnbut Isyu perikanan akan menyangkut sekitar kebiasaan pengelolahan yang diberikan kepada negara pantai, dan otoritas yang akan diberikan kepada badan intenasional. Telah 56 negara yang mengklaim kontrol terhadap perikanan sampai 200 mil dari pantai. Sedanykan dalam rangka mencegah bahaya pencemaran lingkungan laut, sidang akan berikhtiar mencari standar internasional. Di bidang riset ilmiah sidang akan berhadapan dengan urusan untuk menetapkan kebebasan maksimum riset ilmiah. Juga dipikirkan bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa (dispute settlement). Semua masalah ini merupakan cerminan dari sikap hangsa-bangsa modern dalam memperlakukan laut dan lingkungannya. Setelah konperensi 1960 sikap bangsa-bangsa terhadap laut sudah banyak berobah. Laut tidak hanya dipandang dari sudut kepentingan pelayaran semata-mata, tapi lebih-lebih dari makna ekonomisnya. Ini terwujud dalam tindakan sepihak untuk mengklaim lebih luas lagi rongga laut. Tapi yang paling menonjol adalah kemampuan manusia untuk mengusahakan sumber-sumber alam yang terdapat di laut, dasar laut dan tanah di bawahnya sampai kedalaman puluhan ribu meter. Kemajuan teknologi ini bagaikan menyambut perkiraan ahli akan makin menipisnya sumber-sumber di daratan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus