Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengungkap kasus dugaan tindak pidana Perdagangan orang atau TPPO dengan modus magang ferienjob di Jerman. Para mahasiswa yang dijanjikan magang dipekerjakan secara ilegal dan dieksploitasi. Bareskrim Polri telah menetapkan lima tersangka dalam kasus ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus ini terungkap setelah KBRI Berlin menerima laporan dari empat mahasiswa yang mengikuti program tersebut. Polisi menyebut sejumlah 1.047 orang menjadi korban praktik TPPO ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terungkapnya kasus ini mendapat perhatian banyak pihak, termasuk dari Migrant Watch dan Migrant CARE. Berikut ini sikap mereka:
1. Direktur Migrant Watch Aznil Tan: Tak Tepat Kasus Magang ke Jerman Disebut TPPO
Direktur Migrant Watch Aznil Tan mengatakan penyebutan kasus magang mahasiswa ke Jerman atau ferienjob sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tidak tepat.
“Perlu diketahui, Jerman termasuk 10 terbaik negara yang memiliki aturan ketenagakerjaan, baik kelayakan hidup maupun pengupahan. Ini berdasarkan laporan dari IMD Business School,” kata dia di Jakarta, Jumat, 29 Maret 2024 seperti dikutip Antara.
Dia mengatakan, di masa lalu, TPPO merupakan kasus perbudakan maupun perdagangan budak yang dimulai pada perdagangan budak trans-Atlantik pada abad ke-15. Pada abad ke-18, praktik tersebut dihapuskan, sedangkan pada 2000 muncul istilah perdagangan manusia pada Protokol Palermo, yang dimaksudkan praktik-praktik yang memperdagangkan anak dan perempuan, seperti kerja paksa atau eksploitasi.
“Sederhananya, TPPO ini seperti pengamen yang membawa anak di jalan, termasuk ke dalam TPPO. Mengeksploitasi seseorang untuk mendapatkan keuntungan dengan mengendalikannya,” ujar dia.
Perbedaan TPPO era dahulu dan sekarang terletak pada kepemilikannya. Namun sekarang terletak pada pengendalian akan hak seseorang yang rentan. Dalam kasus dugaan TPPO magang mahasiswa ke Jerman, kata dia, mahasiswa tidak dalam posisi rentan.
Dia mengatakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO menyebutkan TPPO hanya bisa disematkan pada pelaku apabila di dalamnya ada kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, atau penipuan. “Jadi keliru kalau kasus ini dinyatakan sebagai kasus TPPO,” kata dia.
Aznil mengatakan ferienjob merupakan program resmi dari pemerintah Jerman bagi mahasiswa untuk mengisi waktu libur dengan berbagai pekerjaan kasar. Masalahnya, kata dia, banyak mahasiswa asal Indonesia tidak siap kerja dan menganggap program tersebut sebagai program liburan sambil bekerja. Bahkan dalam kasus tersebut, tidak ada mahasiswa yang disekap, pulang mengalami cacat, atau mental terguncang.
Menurut dia, kasus ini lebih tepat dikatakan sebagai kesalahan prosedur penempatan mahasiswa dibandingkan dengan kasus TPPO.
“Jangan latah melabelkan kasus di dunia ketenagakerjaan sebagai bentuk TPPO, karena ini bisa jadi aib bagi negara Indonesia. Bahkan pihak Pemerintah Jerman bisa tersinggung jika program ferienjob mengandung unsur TPPO,” kata dia.
2. Koordinator Bantuan Hukum Migrant CARE, Nurharsono: Mahasiswa Jadi Makanan Empuk bagi Sindikat TPPO
Migrant CARE mengungkapkan tindak pidana perdagangan orang atau TPPO di dunia pendidikan bukan kasus baru. Baru saja terkuak program magang ferienjob di Jerman.
"Dulu sindikat TPPO menyasar anak-anak SMK dengan program bursa kerja khusus yang bekerja sama denga sebuah perusahaan penempatan pekerja migran ke Malaysia," kata Koordinator Bantuan Hukum Migrant CARE, Nurharsono, dalam keterangan tertulis, Senin, 25 Maret 2024.
Pada saat itu, kata dia, program bursa kerja khusus membuat para pelajar Indonesia tersebut tereksploitasi di Malaysia. Kini muncul modus magang ke Jerman yang menyasar 33 perguruan tinggi. "Dengan aktornya melibatkan guru besar," tutur dia.
Menurut dia, TPPO yang dikemas dengan program magang di negara maju akan membuat banyak mahasiswa tertarik.
"Dan menjadi makanan empuk bagi sindikat TPPO," Nurharsono menjelaskan modus ferienjob yang kini tengah diusut Badan Reserse Kriminal Polri itu.
Nurharsono menjelaskan penyebab kasus ini bisa merambah banyak mahasiswa akibat sejumlah faktor. Pertama, minimnya sosialisasi dari pemerintah perihal bahaya TPPO. Kedua, lemahnya pengawasan dari pihak kementerian terkait. "Saat ini pengawasan masih jadi satu dengan pengawasan ketenagakerjaan," katanya.
Ketiga, lemahnya penegakkan hukum. Keempat, lemahnya diplomasi dengan negara tujuan. "Kempat faktor tersebut yang berkontribusi besar maraknya TPPO," ucap Nurharsono.
IKHSAN RELIUBUN | ANTARA