Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kriminal

Direktur Pusham UII Ungkap Sejumlah Indikator Kemunduran Polri

Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia Eko Riyadi menyoroti sejumlah kemunduran Polri.

23 Desember 2024 | 14.14 WIB

Mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI terlibat aksi bentrok dengan anggota kepolisian saat berusaha menerobos barikade polisi menuju Istana Negara di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Selasa, 30 Juli 2024. Aksi simbolik Pekan Reformati ini digelar mahasiswa untuk menolak RUU TNI dan RUU Polri. TEMPO/Subekti.
Perbesar
Mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI terlibat aksi bentrok dengan anggota kepolisian saat berusaha menerobos barikade polisi menuju Istana Negara di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Selasa, 30 Juli 2024. Aksi simbolik Pekan Reformati ini digelar mahasiswa untuk menolak RUU TNI dan RUU Polri. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Eko Riyadi menyoroti kemunduran terhadap institusi Polri. Apa sebabnya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

"Kalau mundur sedikit, perhatian masyarakat sipil kepada polisi di awal-awal reformasi sebenarnya cukup besar," kata Eko yang hadir secara daring dalam diskusi 'Pendekatan Kemanusiaan dalam Pemolisian, Tantangan Polri ke Depan' di Jakarta Selatan, Jumat, 20 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mencontohkan, pemisahan antara polisi dengan militer pada 2002. Hal ini, menurut Eko, menjadi cikal bakal yang baik agar institusi kepolisian bisa berubah.

"Tapi tampaknya beberapa periode terakhir, terutama satu dasawarsa terakhir, kami melihat pergeseran yang cukup serius di tubuh institusi Kepolisian di mana rasa-rasanya kembali ke kebudayaan masa lalu semakin terlihat," ujar Eko.

Dia pun mengungkapkan sejumlah indikator kemunduran institusi Polri. "Pertama adalah kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi, terutama untuk memberikan ruang pengisian jabatan tertentu di kementerian-kementerian sipil kepada polisi aktif."

Eko menilai, situasi tersebut sangat kompleks dan tidak sederhana. Sebab, sebenarnya Kementerian telah memiliki budaya kerja, struktur kerja, maupun hubungan atasan-bawahan yang berbeda dengan Kepolisian. Sehingga ketika jabatan tersebut diisi pejabat Polri, kultur di Kepolisian juga masuk ke sipil.

"Kedua, kami juga melihat betapa Polisi cenderung menggunakan pendekatan kekerasan daripada pendekatan lain yang lebih sipil dan humanis," tutur Eko. 

Dosen Fakultas Hukum UII ini mencontohkan kasus Kanjuruhan pada Oktober 2022 silam. Dalam peristiwa itu, 135 orang tewas dalam kerusuhan antarsuporter yang diperparah tembakan gas air mata dari polisi.

Tragedi tersebut kemudian diikuti rentetan peristiwa lain. Eko juga menyebut kasus yang ramai belakangan ini, di mana seorang polisi menembak siswa di Semarang, Jawa Tengah.

"Saya kira itu tidak bisa hanya dilihat sebagai sebuah gejala personal di tubuh kepolisian, oknum kalau bahasa mereka," ucap Eko.

Menurut dia, perlu melihat masalah-masalah tersebut secara struktural. "Jangan-jangan ini problemnya ada pergeseran politik dan paradigma untuk menarik polisi set back, kembali ke masa lalu, di mana polisi lebih banyak ditempatkan sebagai institusi penjaga kekuasaan."

Padahal, dia menilai polisi harusnya melakukan tugasnya berbasis pada keamanan manusia, bukan keamanan kekuasaan atau bagian dari pendukung kekuasaan. Untuk itu, Eko menyebut perlu digaungkan democratic policing (pemolisian demokratis) dan polisi sipil.

"Kalau kita lihat background di balik pemisahan polisi dari TNI waktu itu adalah upaya untuk menjadikan polisi menjadi institusi sipil," tutur Eko.

Dia melanjutkan, ada beberapa indikator democratic policing dan polisi sipil. Pertama, respect for human rights atau menghormati hak asasi manusia (HAM). Eko menilai, HAM adalah bagian integral dari doktrin Polri mengayomi, melayani, dan melindungi.

Kedua, rule of law dan due process of law. "Ada banyak peristiwa dimana bahkan due process of law dilompati, apalagi rule of law yang lebih besar," katanya.

Ketiga, profesionalism dan ethic. "Banyak data menunjukkan polisi bergeser semacam menjadi instrumen kekuasaan," tutur dia. Padahal Polri harusnya netral di balik kepentingan negara, bukan kepentingan kelompok atau tertentu.

Keempat, protections of democratic institution atau melindungi institusi demokrasi. Eko menolai, event-event demokratik justru tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Sehingga, diskusi dan kebebasan sipil semakin menyempit. Padahal, harusnya polisi hadir untuk itu.

Terakhir, non-military role. Menurut Eko, ini harus terus diingatkan bahwa polisi sebenarnya instrumen sipil untuk menegakkan hukum dan pendekatannya adalah pendekatan sipil. "Maka hukum yang ditegakkan oleh polisi adalah hukum dalam konteks supremasi sipil," tutur dia.

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus