Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERLINDUNGAN hak-hak milik intelektual (property rights,) ternyata bukan lagi masalah kecil di mata pemerintah. Buktinya, pekan lalu, Menteri Kehakiman Ismail Saleh meningkatkan instansi yang menangani paten dan hak cipta, dari semula berbentuk direktorat -- di bawah Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan -- menjadi direktorat jenderal. Bersamaan dengan itu Ismail Saleh, Jumat pekan lalu, melantik pula Ir. Nico Kansil menjadi Dirjen Paten dan Hak Cipta, di gedung Departemen Kehakiman, di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Peningkatan itu, tentu saja, memberikan angin segar. Setidaknya untuk lebih mengintensifkan penanganan hak cipta, paten, dan merek dagang. "Situasi terus berkembang, teknologi semakin meningkat," kata Ismail Saleh kepada Wartawan TEMPO, Gunung Sardjono di Kampus Akademi Litigasi Indonesia Triguna, Senin pekan ini. Agaknya langkah Ismail itu menandakan serius dan konsistennya sikap pemerintah untuk membenahi masalah-masalah hak milik intelektual (intellectual property rights), yang mencakup hak cipta (copy rights) dan industrial property rights -- meliputi hak paten, merek dagang, desain, dan sebagainya. Memang, pemerintah telah mengambil berbagai langkah maju sejak ramai-ramainya masalah hak intelektual itu diributkan negara-negara maju. Terutama setelah Indonesia dituduh banyak orang termasuk penyanyi Bob Geldof yang mengorganisasikan konser live aid -- sebagai sarang pembajakan property rights, termasuk hak cipta dan merek mereka. Pertama-tama adalah Tim Kepres 34, yang diketuai Mensesneg Moerdiono, yang mengkaji kembali semua perangkat undang-undang mengenai property rights tersebut. Kendati Undang-undang Hak Cipta 1982, ketika itu baru berusia hampir lima tahun Tim Keppres menganggap undang-undang itu tak layak lagi. Sebuah RUU yang digodok tim itu, berhasil digolkan Ismail Saleh di DPR, menjadi Undang-undang Hak Cipta, 1987. Dalam undang-undang baru itu, selain ancaman hukuman untuk pembajak ditingkatkan, juga diberikan perlindungan yang sama bagi ciptaan orang asing yang didaftarkan di Indonesia. Berikutnya, citra Indonesia di pergaulan internasional pun mulai membaik, ketika Indonesia berhasil menandatangani persetujuan bilateral Hak Cipta atas rekaman suara dengan Masyarakat Eropa. Berkat persetujuan itu, sejak 1 Juni lalu, semua lagu rekaman dari kaset Eropa ditarik dari peredaran. "Kita harus menunjukkan bahwa negara kita adalah negara hukum," kata Ismail Saleh. Memang, sejak itu tak terdengar lagi keluhan tentang kaset-kaset lagu bajakan. Tapi di bidang merek, persoalan terbesar terletak di Undang-undang Merk, 1961, yang menganggap si pemakai merek pertama kali di Indonesia sebagai pemilik merek tersebut, sangat dimanfaatkan para pembajak. Secara legal, para pembajak "mencuri" merek-merek terkenal di dunia, seperti Pierre Cardin, Lanvin, Cartier, Charles Jourdan, Nike, Guca. Sebab itu, harapan ditumpukan ke Mahkamah Agung. Sebuah kejutan pun muncul dari Mahkamah Agung (MA), Desember 1986. Dalam vonis peninjauan kembalinya MA memutuskan merek sepatu olah raga terkenal Nike dikembalikan ke pemilik aslinya, Nike International, di Amerika. MA menganggap pengusaha lokal PT Panarub, yang dalam putusan kasasi sebelumnya dimenangkan, terbukti beritikad buruk. Tapi, tentu saja, keputusan MA itu tak sekuat undang-undang. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Agusutus lalu misalnya, menolak gugatan Pierre Cardin asli terhadap Mudjianto, yang memalsukan mereknya disini. Menteri Kehakiman Ismail Saleh bukan tak berusaha menutupi lubang-lubang hukum itu. Dalam keputusannya, 15 Juni 1987 lalu, Ismail memerintahkan aparatnya menolak pendaftaran merek terkenal di dunia oleh pengusaha lokal, yang tak mendapat izin dari pemiliknya. Dan untuk pendaftar yang telanjur diterima ditetapkan hak mereka yang habis setiap 10 tahun -- tak diperpanjang lagi. Toh kritik terhadap Direktorat Paten dan Hak Cipta masih saja muncul. Pierre Cardin, misalnya, yang datang ke Indonesia November lalu, menuding bahwa jumlah pengusaha lokal yang terdaftar memegang mereknya justru meningkat dari 16 orang menjadi 28 orang. "Hanya di negara Anda saya punya kesulitan begini," kata Cardin. Pengacara Cardin, George Widjojo, bahkan menuduh salah seorang pengusaha lokal itu diterima pendaftarannya oleh Direktorat Paten dan Hak Cipta hanya sehari setelah surat keputusan Menteri lahir. "Kalau begitu, apa gunanya SK Menkeh," katanya. (TEMPO, 26 November 1988). Direktur Paten dan Hak Cipta, Nyonya O. CH. Besila membantah keras bahwa jumlah pemegang merek Pierre Cardin meningkat dari 16 orang menjadi 28 Orang. Dalam suratnya ke TEMPO tertanggal 26 November lalu, ia memastikan jumlah merek Cardin yang terdaftar di direktoratnya itu masih tetap 16. "Dari jumlah itu, sebanyak 3 pendaftaran sudah hapus kekuatan hukumnya, sehingga kini tinggal 13 buah," ujar Nyonya Besila, didampingi kepala Humas Kehakiman, Rahardjo, ketika itu. Toh Menteri Kehakiman Ismail Saleh mengakui kasus merek Pierre Cardin itu hanya salah satu contoh saja yang menggambarkan permasalahan merek, paten, dan hak cipta, bukan perkara sederhana. Masalah seberat itu, katanya, tak bisa lagi ditangani instansi setingkat direktorat, "Wadahnya kecil, tapi masalahnya terlalu besar, 'kan ndak muat," ujar Ismail Saleh. Untuk itulah Menteri meningkatkan direktorat tersebut menjadi Ditjen Paten dan Hak Cipta. Ditjen tersebut akan membawahkan tiga direktorat: paten, merek, dan hak cipta. "Agar pelayanan dan penanganannya menjadi lebih intensif," sambung Ismail. Dan Ir. Nico Kansil mendapat kehormatan memimpin ditjen baru tersebut. Mungkin ia dianggap layak mengurusi masalah "berat" itu karena pernah menjabat Atase Perindustrian RI di Washington, Amerika Serikat. Happy Sulistyadi dan Karni Ilyas (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo