Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hakim Tolak Nota Keberatan Buruh yang Ungkap Gaji di Bawah UMR dan Lembur Tak Dibayar

Majelis hakim menolak sepenuhnya nota keberatan yang diajukan Septia Dwi Pertiwi, mantan buruh PT Hive Five.

5 Oktober 2024 | 10.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Majelis hakim menolak sepenuhnya permohonan eksepsi yang diajukan Tim Advokasi Septia Gugat Negara Abai (TIM ASTAGA) untuk Septia Dwi Pertiwi, mantan buruh PT Hive Five yang didakwa dengan pidana pencemaran nama baik oleh bosnya. Penolakan nota keberatan itu dibacakan dalam sidang putusan sela yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Kamis, 3 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Septia dilaporkan oleh pengusaha sekaligus pemilik perusahaan tersebut, yakni Henry Kurnia Adhi atau lebih dikenal dengan nama Jhon LBF, atas tuduhan dugaan pencemaran nama baik. Septia mengkritik upah di perusahaan tersebut yang di bawah UMR, upah lembur yang tak dibayar, jam kerja yang melebihi 8 jam, hingga pemotongan gaji sepihak yang dilakukan perusahaan. Kritik itu disampaikan Septia lewat akun media sosial pribadinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gema Gita Persada, salah satu pengacara Septia dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH Pers), mengatakan majelis hakim gagal melihat ketidakadilan yang ada pada kasus ini. “Penolakan eksepsi yang dibacakan pada hari ini menunjukan bahwa majelis hakim gagal mengidentifikasi dimensi ketidakadilan yang terdapat dalam kasus ini,” kata Gema dalam keterangan pers, dikutip Sabtu, 5 Oktober 2024. “Pertimbangan putusan sela cenderung hanya melihat dari sudut pandang penuntut umum.”

Gema menambahkan, perlu dukungan dari masyarakat untuk terus mengawal kasus ini sampai persidangan selesai. “Namun, di sisi lain, dapat diyakini pula hal-hal yang membuktikan bahwa terdakwa tidak patut dikriminalisasi, justru akan semakin terungkap dengan terang di proses pemeriksaan kelak,” ujar dia. Maka dari itu, dia meminta seluruh elemen masyarakat untuk mengawal kasus ini sampai keadilan didapatkan oleh Septia. 

Sementara itu, Ganda Sihite dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) turut menyoroti kewenangan PN Jakarta Pusat dalam mengadili perkara ini. Persoalan kewenangan PN Jakpus merupakan salah satu poin utama dalam eksepsi yang diajukan. Tim kuasa hukum Septia berpendapat bahwa PN Jakarta Pusat tak berwenang untuk mengadili perkara ini. Sebab, locus delicti perkara berada di dalam yurisdiksi PN Jakarta Selatan.

Ganda menambahkan, hakim mengabaikan berbagai hal dalam mengambil keputusan ini.“Hakim tidak memperhatikan Pasal 143 ayat 3 KUHAP terkait kelengkapan berkas perkara, dan lebih berpandangan ke tanggapan dari JPU yang mana berkas perkara dalam hal bukti diajukan saat pemeriksaan alat bukti,” tuturnya. 

Ia menjelaskan, hakim juga mengabaikan Pasal 1 Ayat 2 KUHP terkait dengan adanya perubahan undang-undang. “Maka yang didakwakan adalah dakwaan yang menguntungkan, Hakim menolak ketentuan tersebut sebagai dalam penerapan pasal berdasarkan dari penyidikan,” kata Ganda. 

Adapun, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Hafizh Nabiyyin, menyebut putusan hakim ini akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. Ia menilai kriminalisasi dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sudah direvisi akan terus berlanjut.

“Hakim memilih mengakomodir dakwaan jaksa yang menggunakan pasal karet di UU ITE versi 2016,” kata Hafizh. “Ini semakin memperlihatkan bahwa perubahan dalam UU ITE versi 2024 yang digadang-gadang akan menghentikan kriminalisasi terakhir tidak berguna.” Menurutnya, UU ITE terus dijadikan sebagai alat represi bagi masyarakat. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus