Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dede Irfan Hilmi, anak buah kapal tunda TB Henry, tidak pernah mengira kapalnya bakal disandera kelompok Abu Sayyaf. Terutama karena para penyerang mengenakan seragam loreng.
“Abis magrib, ada boat merapat ke kapal kami, saya kira kapal patroli Malaysia. Mereka menggunakan seragam loreng, lengkap dengan senjata. Kami tidak mengira Abu Sayyaf, karena seragam loreng dan saat itu kami sedang berada di Ligitan,” kata Dede, warga Ciamis, Jawa Barat, itu kepada para wartawan di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri RI, Jumat, 13 Mei 2016.
Kapal tunda TB Henri bersama kapal tongkang Cristi dibajak pada Jumat, 15 April 2016, sekitar pukul 18.31. Saat pembajakan, kapal sedang berada di perairan perbatasan Malaysia-Filipina. Kapal sedang dalam perjalanan kembali dari Cebu, Filipina, menuju Tarakan. Sebanyak empat warga Indonesia disandera, sedangkan enam lainnya berhasil selamat.
Dede mengisahkan, selama disandera, mereka dibawa ke hutan dan gunung. Tidak pernah bertemu warga dan makan seadanya. Para penyandera juga mengintimidasi dengan memperlihatkan video-video eksekusi. “Mereka tiap hari liatin video (sandera asal Kanada) yang dipotong lehernya itu, makanya kami takut. Kami merasa senang dibebaskan dan sangat berterima kasih,” kata Dede.
Setelah melalui proses negosiasi, keempat sandera ini pun akhirnya dibebaskan pada Rabu lalu. Selain Dede, para korban yang dibebaskan adalah Moch. Ariyanto Misnan, Loren Marinus Petrus Rumawi, dan Samsir. Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi menyerahkan keempatnya kepada perwakilan keluarga setelah semuanya diperiksa kesehatannya di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta.
NATALIA SANTI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini