Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus Ismail Bolong menyita perhatian publik karena menyeret sejumlah nama perwira tinggi di jajaran kepolisian. Ismail diduga mengalirkan dana tambang batubara ilegal berjumlah miliaran rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Video pengakuan Ismail membuat heboh sejak pertama kali muncul ke publik pada 3 November lalu. Video ini awalnya diputar dalam acara diskusi bertajuk "Persekongkolan Geng Tambang di Polisi dan Oligarki Tambang" yang digelar oleh lembaga Indonesian Club.
Pemutaran video Ismail Bolong sempat dibajak
Pemutaran video itu sendiri diduga dihalang-halangi oleh pihak tertentu. Direktur Eksekutif Indonesian Club, Gigih Guntoro, menyatakan sempat ada pembajakan pemutaran video itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat pemutaran video, akun aplikasi Zoom milik panitia diambil alih oleh orang yang tak dikenal. Dia lantas mencoret-coret video tersebut dengan gambar yang tidak pantas.
“Video tersebut berdurasi selama dua menit. Dan di tengah penayangannya, ada seseorang yang menggambar alat vital laki-laki di layar Zoom,” kata Gigih saat dihubungi oleh Tempo.
Video tersebar di dunia maya dan bantahan Ismail
Dua hari setelah pemutaran perdana, video tersebut tersebar luas di dunia maya. Ismail Bolong, dalam video itu, mengaku mengalirkan dana tambang ilegal dengan jumlah miliaran rupiah ke sejumlah perwira Polri.
Belakangan, Ismail membantah video itu. Kepada Tempo, Ismail mengaku ditekan oleh seorang rekaman video itu dia buat atas tekanan dari seorang perwira
"Jadi begini, pada saat itu saya dipaksa testimoni, saya tidak bisa. Saya dibawa ke hotel kemudian saya disodorin teks. Itu tengah malam. Betu-betul dipaksa. Dia (seorang perwira tinggi--red.) dalam keadaan mabuk,” kata Ismail Bolong kepada Tempo, 5 November 2022.
Ismail mengaku rekaman itu dibuat pada sekitar Februari 2022. Dia menyatakan awalnya dibawa ke Polda Kaltim oleh pejabat Biro Pengamanan Internal Polri oleh seorang perwira Biro Pengamanan Internal. Kemudian, ia dibawa hotel dan diminta untuk membacakan teks dan direkam menggunakan telepon genggam.
Selanjutnya, Hendra Kurniawan angkat bicara
Kuasa hukum mantan Kepala Biro Paminal Polri Brigjen Hendra Kurniawan, Henry Yosodiningrat, membantah kliennya sempat menekan Ismail. Hendra kini menjadi tersangka dalam kasus upaya perintangan penyidikan kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
“Itu cerita ngarang (jika Hendra menekan). Itu semua ucapan Ismail Bolong dalam kondisi mabuk,” kata Henry selepas sidang Hendra Kurniawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 10 November 2022.
Henry menyatakan bahwa alasan video itu dibuat untuk saling menguatkan keterangan satu sama lainnya dalam memenuhi bukti permulaan yang cukup. Pasalnya, dugaan suap yang diselidiki melibatkan pejabat perwira tinggi dan beberapa perwira serta anggota lainnya.
“Video testimoni tidak hanya dilakukan terhadap saudara Ismail Bolong saja, tetapi diperlakukan sama juga terhadap perwira atau anggota lainnya di Polda Kaltim yang terlibat setelah memberikan keterangan dalam Berita Acara Interogasi yang telah ditandatangani,” kata Henry.
Dokumen pemeriksaan Div Propam tersebar
Kabar soal adanya aliran dana tambang batubara ilegal ke pejabat Polri itu kembali memanas setelah sejumlah dokumen pemeriksaan Divisi Propam Polri beredar luas sepekan bersalang. Beberapa dokumen yang sempat Tempo lihat ditandatangani oleh mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo dan Hendra Kurniawan. Keduanya kini menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir Yosua.
Dalam laporan Ferdy Sambo kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo disebutkan secara rinci aliran dana dari Ismail Bolong. Mulai dari sejumlah Kapolsek di wilayah Kalimantan Timur, sejumlah perwira di Polda Kalimantan Timur hingga jajaran Bareskrim Mabes Polri tercantum namanya di sana.
Dalam laporan itu, Sambo pun menyebut telah menemukan bukti kuat pelanggaran kepada sejumlah anggota Polri. Para jenderal yang disebut namanya dalam dokumen Sambo itu memilih bungkam saat Tempo mencoba mengkonfirmasinya. Bahkan, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo tak mau menanggapi pertanyaan Tempo soal masalah ini.
Selanjutnya, tanggapan Kapolri
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo akhirnya buka suara. Pada Jumat lalu, 18 November 2022, Listyo Sigit menerima Majalah Tempo untuk berbicara soal kasus ini.
Listyo Sigit menyatakan telah mengambil sejumlah tindakan dalam kasus ini. Diantaranya adalah mencopot Kapolda Kalimantan Timur Irjen Herry Rudolf Nahak.
"Kami sudah copot kepala polda dan para pejabat terkait saat itu," kata Listyo Sigit.
Berdasarkan penelusuran Tempo, Herry dicopot pada 7 Desember 2021 melalui telegram ST/2568/XI1/KEP/2021 yang ditandatangani oleh Asisten bidang Sumber Daya Manusia Kapolri Irjen Wahyu Widada. Dalam surat tersebut, Herry digantikan oleh Irjen Imam Sugianto yang sebelumnya menjabat sebagai Asisten Operasional Kapolri. Herry pun diberi jabatan baru sebagai Kepala Sespim Lemdiklat Polri.
Pencopotan Herry tersebut terjadi empat bulan sebelum Divisi Profesi dan Pengamanan (Div Propam ) Polri menerbitkan laporan hasil penyelidikan. Dokumen laporan yang sempat dilihat Tempo itu ditandatangani oleh mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo tertanggal 7 April 2022.
Tempo telah mencoba mengkonfirmasi masalah ini ke Herry. Namun hingga berita ini diturunkan, Herry tak menanggapi permohonan wawancara yang dilayangkan Tempo.
Tak hanya itu, Kapolri pun menyatakan telah memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Ismail Bolong. Dia menyatakan penangkapan tersebut untuk memperjelas tudingan kepada para anak buahnya.
"Mengenai pejabat-pejabat yang menerima, supaya tidak terjadi polemik, saya perintahkan untuk tangkap Ismail Bolong. Dia pernah memberi testimoni, benar atau tidak, kami tidak tahu. Muncul video lagi yang menyampaikan hal itu karena ditekan. Supaya lebih jelas, lebih baik tangkap saja," kata dia.