Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedatangan dua petinggi Mahkamah Agung ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu mengemban misi penting. Selasa pagi pekan lalu, Ketua Muda Perdata Atja Sondjaja dan Direktur Jenderal Peradilan Umum Cicut Sutiarso diperintah Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa menelisik semua perkara yang pernah ditangani salah satu hakim di pengadilan itu: Syarifuddin Umar. Di sana, di ruang Ketua Pengadilan Syahrial Sidik, keduanya juga memanggil sejumlah hakim.
Dua hari berselang, mereka kembali datang. Kali ini semua register perkara korupsi, perdata, dan niaga ditelisik. Hari itu mereka diberi tenggat merampungkan pemeriksaan. ”Tapi fokus pemeriksaannya pada perkara kepailitan,” kata Harifin kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Rabu dua pekan lalu, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Syarifuddin di rumahnya di bilangan Sunter, Jakarta Utara. Penangkapan dilakukan sesaat setelah Syarifuddin menerima duit Rp 250 juta dari Puguh Wirawan, kurator kasus kepailitan PT Skycamping Indonesia. Duit itu diduga untuk memuluskan proses penjualan aset perusahaan garmen tersebut di Bekasi, yang nilainya Rp 35 miliar. Syarifuddin adalah hakim pengawas perkara itu. Tak lama setelah itu, komisi antikorupsi juga menangkap Puguh di Pancoran, Jakarta Selatan.
Dari penggeledahan di rumah Syarifuddin, penyidik menemukan uang dalam pecahan mata uang asing dan rupiah, yaitu US$ 116.128, Sin$ 245 ribu, 20 ribu yen, 12.600 riel Kamboja, dan Rp 392 juta. Kalau dirupiahkan, total sekitar Rp 2,8 miliar. Setelah diperiksa secara maraton, keesokan harinya mereka langsung ditahan. Syarifuddin ditahan di ruang 301 Rumah Tahanan Cipinang. Ia satu sel dengan tersangka korupsi lain, Camat Cilandak, Jakarta Selatan, Ibnu Maulana. Adapun Puguh dititipkan di rumah tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Setelah penangkapan itu, santer beredar kabar Syarifuddin adalah ”anak emas” Syahrial. Kabar yang beredar menyebutkan Syafruddin sengaja dipilih Syahrial untuk menangani kasus-kasus besar dan ”basah”. Rumor ini direspons cepat Mahkamah Agung. Menurut Harifin, tim yang dipimpin Sondjaja diturunkan untuk membuktikan isu itu. Senin pekan lalu, Mahkamah juga menonaktifkan Syarifuddin sebagai hakim.
Dari hasil pemeriksaan, ujar Harifin, tidak ada keistimewaan yang diberikan Syahrial kepada Syarifuddin. Semua perkara dibagikan dengan sistem komputerisasi. Dalam kasus kepailitan PT Skycamping, kata Harifin, penunjukan Syarifuddin dilakukan majelis perkara itu, bukan oleh Syahrial. ”Proses hukumnya sudah benar. Soal suap, silakan dibuktikan,” katanya
Sejumlah sumber Tempo memberi keterangan sebaliknya. Seorang hakim senior menyatakan Syarifuddin memang ”anak emas” ketua pengadilan. Ia, ujar sumber ini, sekondan atau orang kepercayaan Syahrial. Setiap perkara besar, terutama kepailitan, karena itu, selalu jatuh ke Syarifuddin. Kedekatan Syahrial dengan Syarifuddin makin kuat karena keduanya sama-sama berasal dari satu daerah: Makassar.
Sumber Tempo di Mahkamah Agung menambahkan, sejumlah hakim agung sudah mafhum perihal adanya jaringan kedaerahan itu. Untuk kasus Syarifuddin, kata sumber ini, segelintir orang dalam jaringan kedaerahan itu bergerilya agar Syarifuddin tutup mulut. ”Semangatnya melindungi korps,” ujarnya.
Dengan tujuan agar kasus Syarifuddin tidak merembet ke mana-mana, Syahrial, sumber ini menambahkan, diusulkan agar dipindahtugaskan. Mutasi ini sebagai bentuk sanksi kecerobohan Syahrial karena anak buahnya terjerat kasus yang akhirnya dicokok komisi antikorupsi.
Harifin membenarkan perihal akan dipindahkannya Syahrial itu. Hanya, Harifin menyatakan, mutasi tersebut sifatnya rutin, tidak ada kaitannya dengan kasus Syarifuddin. Harifin, yang juga dari Makassar, membantah adanya jaringan kedaerahan itu. ”Kalau saya melindungi, tak mungkin saya mengatakan perbuatan Syarifuddin aib.”
Ditemui Tempo, Jumat pekan lalu, Syahrial tak mau menanggapi tuduhan Syarifuddin merupakan anak emas atau juga ”kasir”-nya, yang kini beredar di mana-mana. Ia menyatakan tak ingin perkara ini melebar ke mana-mana. Sebelumnya, Senin pekan lalu, kepada wartawan, ia membantah mengistimewakan Syarifuddin. ”Tidak ada anak emas di sini,” katanya.
Pemeriksaan Syarifuddin di lantai delapan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi hanya membuahkan informasi ”nol”. Selasa pekan lalu, didesak penyidik perihal asal-usul duit asing yang ditemukan di rumahnya, Syarifuddin berkali-kali menyebut itu miliknya dan untuk keperluan dinas. Dua penyidik lantas memilih mengakhiri pemeriksaan. ”Akan terus kami telusuri,” kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas kepada Tempo.
Dari jumlahnya, asal-usul uang ini memang pantas dicurigai. Indonesia Corruption Watch mensinyalir duit itu tidak hanya hasil suap kasus PT Skycamping. Menurut aktivis ICW, Tama S. Langkun, ada kemungkinan uang itu berasal dari perkara lain yang ditangani Syarifuddin. ICW menunjuk kasus bebasnya Gubernur (nonaktif) Agusrin Najamudin dalam perkara dugaan korupsi dana pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan senilai Rp 22,5 miliar pada 24 Mei lalu.
Dua pekan lalu, ICW melansir 12 kejanggalan dalam putusan itu, di antaranya sejumlah bukti tidak dijadikan pertimbangan oleh majelis yang diketuai Syarifuddin, seperti surat asli dan foto keterlibatan Agusrin. Syarifuddin juga selalu memotong saksi yang memberatkan dan jaksa ketika menunjukkan bukti-bukti di persidangan. Kejanggalan yang sama ditemukan Komisi Yudisial. ”Syarifuddin dalam kasus itu tidak profesional dan memihak,” kata Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki.
Sejumlah sumber Tempo meyakini Syarifuddin tidak gratis memutus bebas Agusrin. Seorang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi membisikkan, perkara Agusrin sarat unsur ”permainan”. Dari hasil pemantauan komisi antikorupsi, memang belum terlacak soal suap. Sumber Tempo menduga transaksi ini bisa jadi dilakukan bukan di Indonesia. Kepada Tempo, Agusrin membantah putusan bebasnya beraroma suap. Ia juga tidak pernah bertemu atau menyuruh orang bertemu dengan Syarifuddin di luar negeri. ”Informasinya aneh-aneh,” kata Agusrin.
Bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Effendy Choirie dan Lily Wahid, juga menduga mereka korban dari berpihaknya Syarifuddin dalam menyidangkan kasus. Perkara keduanya soal gugatan pencabutan recall sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat melibatkan Syarifuddin sebagai anggota majelis. Mereka menuding Syarifuddin ”bermain mata” dengan partainya sebagai pihak tergugat. Inilah yang membuat gugatan mereka kandas.
Selasa pekan lalu, Effendy dan Lily mendatangi Komisi Yudisial meminta komisi itu memeriksa Syarifuddin. Temuan sejumlah uang di rumah Syarifuddin sehari setelah putusan atas mereka dijatuhkan menguatkan dugaan mereka. ”Hakim ini bejat. Ia berbasis pada keuangan yang mahakuasa,” kata Effendy.
Kendati Syarifuddin hanya anggota majelis, Effendy dan Lily menilai kelakuannya janggal. Ia, misalnya, mendominasi persidangan dan, ketika berpendapat, tidak melalui ketua majelis hakim Katriman. Menurut anggota tim hukum Effendy, Wegig Gunawan Yusuf, di persidangan, Syarifuddin bahkan pernah meminta kliennya mencabut gugatan.
Harifin Tumpa juga mempertanyakan temuan uang di rumah Syarifuddin. Mahkamah Agung, katanya, mempersilakan Komisi Pemberantasan Korupsi membuktikan asal-usul uang itu. Adapun Syarifuddin heran karena kasusnya mulai dibawa ke mana-mana. Ia mengatakan setiap putusan, terutama putusan bebas, selalu didasarkan pada bukti persidangan. Soal temuan uang, ia memilih bungkam. ”Akan saya buktikan kalau itu bukan suap,” kata Syarifuddin, Selasa pekan lalu, setelah diperiksa komisi antikorupsi.
Anton Aprianto, Bagja Hidayat, Mustafa Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo