Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Polisi menyatakan FLA (36 tahun), tersangka penjualan 50 orang Warga Negara Indonesia (WNI) untuk dijadikan Pekerja Seks Komersial atau PSK di Sydney, Australia, mendapatkan keuntungan ratusan juta. Kasus ini terbongkar setelah kepolisian Australia (AFP) menangkap mucikari berinisial SS alias Batman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Keuntungan tersangka Rp 500 juta," ujar Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Badan Reserese Kriminal (Bareskrim) Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhandhani Raharjo Puro di gedung Bareskrim, Selasa, 23 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Djuhandhani menyatakan FLA mendapatkan uang itu setelah beroperasi sejak 2019. Dia telah menjual 50 WNI dalam lima tahun terakhir.
Penangkapan FLP bermula dari informasi yang diberikan AFP pada 6 September 2023. AFP menangkap SS alias Batman yang disebut sebagai pengelola sejumlah tempat prostitusi di Sydney. SS dituding melakukan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) oleh polisi Australia. Berdasarkan penelusuran AFP, para PSK yang berada di bawah naungan SS berasal dari Indonesia.
Djuhandhani menyatakan pihaknya kemudian melakukan penyelidikan dengan mendalami keterangan para korban. Hasilnya, mereka menemukan nama FLP yang berperan mencari korban hingga menyiapkan visa, tiket keberangkatan menuju Sidney.
Bareskrim kemudian menangkap FLP di Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, pada 18 Maret 2024. Dalam penggeledahan di kediaman FLP, tim penyidik menemukan sejumlah barang bukti seperti dua buku tabungan, dua kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM), tiga telepon seluler, satu laptop, satu hard disk serta 28 paspor WNI lainnya.
Penyidik juga menemukan catatan pembayaran dan pemotongan gaji dari para korban yang sudah diperkerjakan sebagai PSK di Sydney. Selain itu, polisi juga menemukan draf perjanjian kerja para korban dengan FLP yang isinya persetujuan diperkerjakan sebagai PSK. Dalam perjanjian itu, para korban juga diharuskan membayar biaya sewa tempat tinggal, jam kerja, hingga mengakui hutang sebesar Rp 50 juta.
Polisi menjerat FLP dengan Pasal 4 Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Tentang TPPO. "Ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara, minimal 3 tahun penjara dan denda Rp 600 juta," ujar Djuhandhani.