Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kriminal

Kejati Bali Buka Peluang Kembangkan Kasus Pemerasan Bendesa Adat ke Investor Lain

Kejaksaan Tinggi membuka peluang mengembangkan kasus dugaan pemerasan Bendesa Adat di Bali.

5 Mei 2024 | 08.02 WIB

Kejati Bali tangkap tangan Bendesa Adat karena melakukan pemerasan, Kamis 2 Mei 2024. FOTO: dokumen  Puspenkum Kejati Bali.
Perbesar
Kejati Bali tangkap tangan Bendesa Adat karena melakukan pemerasan, Kamis 2 Mei 2024. FOTO: dokumen Puspenkum Kejati Bali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta -Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali membuka peluang mengembangkan kasus dugaan pemerasan Bendesa Adat Berawa berinisial KR terhadap investor berinisial AN. Pengembangan itu dilakukan dengan memeriksa saksi dan melihat peristiwa serupa di kawasan Pulau Dewata itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Tentunya tergantung penyidikan dengan tersangka (KR), juga investor lain. Kalau tidak, ya, selesai di sini,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana, saat dihubungi pada Jumat, 3 Mei 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejati Bali resmi menetapkan Bendesa Adat Berawa berinisial KR sebagai tersangka pemerasan. KR disebut meminta uang sebesar Rp 10 miliar dari investor yang ingin memperoleh rekomendasi darinya untuk mendirikan sebuah hotel.

Sebagai Bendesa Adat, KR dinilai telah menyelewengkan wewenangnya memberi rekomendasi izin, tapi turut minta duit.  “Memanfaatkan wewenang. KR secara aktif meminta sejumlah uang,” kata Putu Agus.  

Kejati menjerat KR dengan Pasal 12 huruf (e) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara itu, satu pengusaha dan dua koleganya hanya diperiksa sebagai saksi dalam kasus ini. 

Bendesa Adat merupakan sosok yang krusial karena menjadi penentu lolosnya sebuah izin investasi di kawasan desa wisata dan adat di Bali. Dalam proses perizinan, Putu Agus menyebut calon investor mesti mendapat rekomendasi dari Bendesa Adat setempat agar bisa menjalankan kegiatan investasi, seperti mendirikan villa, hotel, dan jenis kegiatan lain. Rekomendasi ini nantinya menjadi modal bagi investor untuk mengajukan perizinan ke pemerintah daerah, notaris, mengurus Amdal, dan persyaratan lain. 

Dalam kasus ini, Putu Agus menyebut KR meminta uang pelicin sebesar Rp 10 miliar kepada investor berinisial AN agar rekomendasi itu keluar. AN diduga dua kali menyerahkan uang kepada KR. Pertama uang sebesar Rp 50 juta, kedua sebesar Rp 100 juta,  

Tanpa rekomendasi dari Bendesa Adat, pemerintah daerah tak bisa memproses perizinan kegiatan investasi di Pulau Dewata itu.  “Di sini krusialnya. Setiap desa menjadi kewenangannya (Bendesa Adat),” kata dia. 

Selain itu, Putu Agus menyebut posisi Bendesa Adat sebenarnya setara dengan kepala desa. Hanya saja, Bendesa Adat merupakan sosok yang dituakan dan dipercaya masyarakat setempat untuk mengurusi hak dan kewajiban adat, sedangkan kepala desa hanya mengurusi desa secara formal kenegaraan. Namun, kedua jabatan itu sama-sama mendapat tunjangan dan gaji dari pemerintah provinsi Bali. 

Putu Agus menyebut praktik pemerasan seperti ini bisa merusak desa adat dan iklim investasi di Bali.  “Setiap desa itu ada daerah suci yang harus dijaga. Kejaksaan ingin menjaga itu supaya tetap memiliki muruah, apalagi kalau investasi di sebelah daerah yang suci,” kata dia. Putu Agus menyebut Kejati Bali akan terus mengembangkan kasus ini. 

Adil Al Hasan

Bergabung dengan Tempo sejak 2023 dan sehari-hari meliput isu ekonomi. Fellow beberapa program termasuk Jurnalisme Data AJI Indonesia.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus