Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAERAN, napi berumur 38 tahun itu berjalan mengangkang seperti
kingkong menuju ruang tamu di Lembaga Pemasyarakatan Rantau
Prapat, Kabupaten Labuhan satu Sumatera Utara. "Beginilah
keadaan saya," katanya kepada Kamaluddin Lubis, dan Syafruddin
Lubis dari LBH Medan yang mengunjungi napi itu pekan lalu.
la mengurut kedua kakinya dan berkata lagi: "Sungguh, saya tak
pernah membunuh. Tapi di sini saya disiksa-disiksa" dan Paeran
menangis. Temannya, Ponirin, 22 tahun, yang duduk di sebelahnya,
membenarkan.
Paeran dan Ponirin yang tak pernah bersekolah, berada di LP itu
memang karena tuduhan melakukan pembunuhan. Pada 15 November
1977 Pengadilan Negeri Rantau Prapat menjatuhkan vonis 10 tahun
untuk Paeran -- sedang Ponirin kena 7 tahun. Majelis Hakim yang
diketuai M. Bangun berkeyakinan, keduanya terbukti bersalah
telah membunuh tetangga mereka, Atmo (45 tahun) dan anaknya,
Sumarni (17 tahun).
Kejadian itu, seperti tuduhan jaksa, terjadi di Kampung Batu
Enam Perpaungan Aek Kanopan, Labuhan Batu, 10 Maret 1977 dini
hari. Namun sejak semula, Paeran maupun Ponirin menyangkal
tuduhan. Juga sewaktu keduanya diperiksa Polisi Resort Aek
Kanopan. Menurut pengakuan Paeran, selama pemeriksaan "saya
selalu dihajar." Jari-jari kakinya sampai remuk, dan kakinya
bergeser dari engselnya.
Sebab itu bila kini ia berjalan, mirip kingkong, terbata-bata.
Paeran merasa tak tahan waktu kakinya dikerek ke atas, sementara
kepalanya yang di bawah dimasukkan dalam bak air. "Saya terpaksa
bilang: "ya," kata Paeran lagi. Ponirin juga disiksa, meski tak
sehebat Paeran.
Dakwaan polisi jatuh pada mereka, karena di malam naas itu
keduanya sama-sama nonton sandiwara dengan Atmo dan Sumarni.
Bahkan keduanya, sempat mampir di rumah Atmo yang letaknya
berdekatan. Dan beberapa hari sebelumnya, Sumiatun, istri
Paeran, konon melaporkan pada suaminya bahwa ia diajak
bersanggama oleh Atmo, tapi ditolak. Hal lain lagi yang membuat
dakwaan polisi tertuju padanya, karena Atmo, entah karena sebab
apa, menggantikan Paeran bekerja di ranch milik Gurdial Singh di
kampung itu.
Di kejaksaan, meskipun disiksa, Paeran tetap tak mau mengaku.
Begitu pula Ponirin. Toh keduanya diajukan ke pengadilan. Semula
memang ada tersangka lain, Suprapto, yang juga dicurigai
membunuh Atmo dan anaknya karena ia pernah menumpang di rumah
korban. Tapi ia dilepas oleh polisi setelah ditahan 8 hari.
Dari lima saksi yang diajukan, tak satu pun memberatkan Paeran
dan Ponirin. Mereka menyatakan tak tahu siapa yang membunuh
Atmo, kecuali menyaksikan bahwa Atmo pagi 10 Maret 1977 itu
kedapatan mati dengan tubuh penuh luka bekas pukulan. Adapun
Sumarni yang mayatnya kedapatan sudah telanjang, mulutnya gompel
digigit anjing. Hanya satu saksi, Nealsing alias Miyarsing --
adik sepupu Gurdial Singh yang memberatkan. Ia mengaku ikut
terlibat melakukan pembunuhan itu dan memperkosa Sumarni, karena
diancam Paeran dan Ponirin.
Anehnya, Nealsing tak diajukan sebagai terdakwa saat itu.
Setelah menjadi saksi, ia pindah ke Lubuk Pakam, Kabupaten Deli
Serdang dan kawin dengan penduduk setempat. Nah, di sini ia
membunuh istrinya karena dipergoki tengah berzina dengan seorang
lelaki. Pengadilan Negeri Lubuk Pakam menjatuhkan vonis 10 tahun
penjara terhadapnya.
Baru setelah itu, Miyarsing diadili di Pengadilan Rantau Prapat
atas tuduhan ikut melakukan pembunuhan atas diri Atmo dan
memperkosa Sumarni. Pada 24 Juni 1980 -- 3 tahun seteah Paeran
dan Ponirin diadili -- Nealsing dijatuhi hukuman 12 tahun
penjara. Perkara ini kontan mengundang tanda tanya.
Humas Kejaksaan Tinggi di Medan, Sugeng KS menyatakan
penyidangan Nealsing untuk perkara Atmo dan Sumarni setelah
jangka waktu 3 tahun cukup janggal. "Mestinya Nealsing diadili
bersamaan waktunya dengan Paeran dan Ponirin," katanya. Yang
membuatnya heran juga, Nealsing yang dalam kesaksiannya jelas
mengaku ikut membunuh Atmo dan memperkosa Sumarni, ternyata
namanya tak disebut-sebut oleh jaksa dalam tuduhan maupun
tuntutan atas diri Paeran dan Ponirin.
"Saksi yang mengaku ikut terlibat, jelas harus menjadi tertuduh.
Kalau toh pengadilan membebaskannya, itu soal lain," kata Humas
Pengadilan Tinggi di Medan, Thamrin Raja Bangsawan.
Siapa Nealsing, yang pengakuannya membuat Paeran dan Ponirin
masuk penjara, memang perlu dipertanyakan. Senin pekan lalu
ketika TEMPO menemuinya di LP Tanjunggusta, Medan, ia menyatakan
tak tahu siapa itu Atmo dan Sumarni. Ia juga tak ingat siapa
Paeran dan Ponirin. Yang ia ingat hanyalah, "saya pernah
disidangkan di Rantau Prapat gara-gara abang Gurdial Singh."
Penampilan Nealsing memang seperti orang dungu.
Nah setelah mempelajari berkas perkara Paeran dan Ponirin, yang
mirip pengalaman Sengkon dan Karta itu, Kamaluddin maupun
Syafruddin dari LBH Medan, yakin kedua buruh tani itu tak
bersalah. "Alasan mengajukan Paeran dan Ponirin ke muka sidang,
tidak kuat. Sebab kemudian ternyata ada Nealsing yang dahulu
namanya tak pernah disebut-sebut sebagai terdakwa," kata
Kamaluddin. Kedua pengacara itu berpendapat Nealsing-lah yang
melakukan pembunuhan itu. Sedang Paeran dan Ponirin semata-mata
hanya sebagai kambing hitam.
Untuk itu, atas permintaan Paeran dan Ponirin, kedua pengacara
itu kini sedang menyusun upaya pembebasan sekaligus tuntutan
ganti rugi ke alamat pemerintah. Juga berniat menuntut oknum
polisi dan jaksa yang dikatakan melakukan penyiksaan. Kamaluddin
optimistis atas kemungkinan perkara itu bisa ditinjau kembali,
meski Paeran dan Ponirin oleh Mahkamah Agung dalam putusannya di
tingkat kasasi masing-masing dijatuhi hukuman 12 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo