Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Pontianak - Direktur Jenderal Imigrasi Ronny F Sompie meminta Rumah Detensi Imigrasi Pontianak tak hanya bekerja sama dengan kedutaan besar untuk melacak latar belakang tahanan imigrasi. Menurut dia, keterlibatan interpol juga dibutuhkan untuk melacak para tahanan.
“Hal ini juga sebagai solusi mempercepat proses hukum tahanan imigrasi," ujarnya saat berkunjung ke Rudenim Pontianak, Rabu, 2 Desember 2015.
Untuk tahanan kasus pidana, kata dia, para tahanan dapat langsung diserahkan ke rumah tahanan. Dengan demikian, Rudenim tidak penuh. Khusus untuk kasus pidana perdagangan orang, korban kebanyakan melakukan pelanggaran imigrasi lantaran tidak memiliki dokumen keimigrasian.
Ronny mengarahkan agar Rudenim Pontianak menjerat korban dengan pelanggaran tindak pidana ringan dan segera dideportasi ke negara asalnya. Sedangkan untuk pencari suaka yang telah lebih dari satu tahun di Rudenim, Ronny meminta imigrasi meninjau kembali berkas permohonan mereka dan bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM.
"Pada kasus pelanggaran imigrasi, yang mencoba memalsukan identitas atau tidak dilengkapi dokumen lainnya bisa dikenakan denda," ujarnya.
Ronny mengambil contoh di Manado, imigrasi menjatuhkan denda kepada lebih dari 10 orang warga negara asing masing-masing Rp 20 juta. Jika ada yang tidak mampu, denda tersebut diganti dengan hukuman kurungan badan. Dengan demikian, kata dia, imigrasi bisa memperoleh pendapatan negara bukan pajak yang disetorkan ke negara.
Saat ini, Rumah Detensi Imigrasi Pontianak sudah melebihi kapasitas tampung. Terdapat 266 penghuni, 217 di antaranya warga Afganistan. Selebihnya, 42 orang adalah pelanggar keimigrasian. Mereka warga Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Di antara mereka, 93 orang merupakan pengungsi dan 131 orang adalah pencari suaka.
“Idealnya, Rudenim hanya menampung 130 orang,” kata Kepala Rudemin Pontianak Suganda.
Sebanyak 19 warga Myanmar di dalam Rudemin belum juga dipulangkan oleh Kedutaan Besar Myanmar. Suganda mengatakan beberapa di antaranya sudah tahun ke enam tinggal di Rudenim.
Menurut dia, Kedubes Myanmar tidak menyambut baik kedatangan saat dia membawa perwakilan para nelayan yang tertangkap tangan mencuri ikan di perairan Indonesia. “Tidak ada respons hingga saat ini,” katanya.
Chai Kalia (38), seorang nelayan Myanmar yang sudah tinggal di Rudenim Pontianak selama enam tahun tersebut, berharap pemerintah Myanmar mau memberikan solusi terhadap kewarganegaraan mereka. Chai bahkan sudah bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Rata-rata mereka ingin segera berkumpul dengan sanak keluarga di kampung halaman.
ASEANTY PAHLEVI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini