SEJAK pukul 2 pagi, dua orang petugas ronda sebenarnya sudah
mencurigai bau busuk, yang tersebar dari dua buah dus di balik
pagar seng dekat halte bis di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan.
Amat Sudarman, yang tiba di tempat kerjanya di PT Garuda Mataram
Motor pukul 07.30, 23 November lalu, diberitahu tentang kedua
dus berbau tersebut oleh petugas jaga malam. Sudarman
memperhatikan kedua benda yang berjejer di atas goronggorong air
sekitar empat meter dari pintu gerbang Garuda Mataram.
Sudarman mencoba membujuk seorang polisi lalulintas agar mau
memeriksa dua buah dus yang menarik perhatiannya tersebut. Sang
polisi, yang tengah sibuk mengatur lalulintas, malah meminta
agar Sudarman memeriksanya sendiri saja. Tapi Sudarman tak
berani melakukannya. Meskipun begitu ia tetap mengawasi kedua
dus itu. Sementara itu di halte telah banyak orang menunggu bis.
Sampai sekitar pukul 09.00, hujan rintik-rintik, dua dus
tersebut ditemukan dua orang gelandangan pengais sampah: seorang
wanita tua, kurus, ditemani seorang pemuda agak gemuk. Dari
jarak tiga langkah Sudarman mendengarkan pembicaraan kedua
gelandangan ter sebut.
Agar Mudah Dikenal
Si wanita tua, setelah membuka tutup salah sebuah dus, berkata
sambil melihat kepada Sudarman: "Daging Pak! Sudah agak busuk,
mungkin sengaja mau dibuang!" Yang lain menyambung "Bawa saja.
Kalau sudah direbus, kan enak. Baunya hilang." Sudarman terus
mengawasi sambil berpayung di bawah hujan.
Wanita tua tersebut mengais isi dus lebih dalam. Namun, begitu
tangannya terpegang sebuah potongan daging, ia menjerit sepotong
tangan merah berdarah dibantingnya kembali ke dalam dus. Kedua
gelandangan berpakaian kumal tersebut buru-buru pergi dari sana.
Kali ini Sudarman merasa punya alasan kuat untuk memaksa polisi
memeriksa dus yang sejak pagi menganggu pikirannya. Ia mengajak
petugas jaga yang mula-mula mencurigai dus tersebut, Ade
Sumarna, melapor kepada polisi lalulintas yang tengah bertugas
dipertigaan Jalan Setiabudi. Sekitar pukul 10.00 barulah polisi
memeriksanya.
Dokter Abdul Mun'im, ahli Patologi Forensik dari Lembaga
Kriminologi (LKUI), tengah berada di kantornya ketika polisi
memberitahu bahwa telah diketemukan dua buah dus berisi potongan
tubuh manusia yang sudah membusuk di Jalan Sudirman. Segera
dr.Mun'im melakukan pemeriksaan di tempat. Sebuah dus berisi
kepala manusia, laki-laki, yang masih utuh wajahnya, bercampur
dengan potongan-potongan tulang. Dari dus yang lain ditemukan
potongan kemaluan, sayatan daging, perut dan kulit.
Di rumah sakit, RSCM, Mun'im merangkaikan potongan tubuh
tersebut. Mayat tersebut boleh dipastikan laki-laki, tidak
disunat, tinggi badan 165 cm, berkulit bersih agak gemuk dan
tegap. Dari kepalanya yang utuh terlihat rambut hitam lurus dan
agak gondrong. Hidungnya pesek, matanya cokelat kehitaman, ada
tahi lalat di dagu dan pipinya yang bulat.
Dari susunan giginya yang bagus, gigi bungsu yang belum tumbuh,
Mun'im memperkirakan mayat yang hingga minggu lalu belum
dikenali tersebut berusia antara 18 - 21 tahun.
Sudah jelas mayat itu merupakan korban pembunuhan yang disertai
kekejaman. Korban "dimakan" dari belakang oleh pembunuhnya--tak
ada tanda-tanda perlawanan seperti luka atau lecet di tangannya.
Ada bekas tusukan benda tajam di punggung, dada dan perut.
Mun'im memperkirakan kekejaman berlangsung sekitar Sabtu malam,
21 November, hingga Minggu dinihari.
Menurut dr.Mun'im, jelas si pelaku punya banyak waktu, sehingga
sempat memotong dan menyayat-nyayat tubuh korbannya. Dari cara
memisahkan setiap persendian, Mun'im berpendapat, si pelaku
sedikitnya punya pengetahuan anatomi. Alat-alat yang dipakainya
berupa senjata tajam dan gergaji.
Abdul Mun'im mencoba mengambil beberapa kesimpulan lain.
Misalnya: si pembunuh bukan orang yang tak waras. "Hanya orang
yang punya pikiran sehat yang bisa bekerja begitu rapi dan
terencana," katanya. Memotong kelamin, menurut Mun'im, biasanya
dilakukan oleh seseorang yang mempunyai dendam menyala-nyala
yang berhubungan cemburu atau perzinaan--pokoknya ada
hubungannya dengan kejahatan berlatar belakang seks.
Komandan Detasemen 11 Reskrim, Satserse Kodak VII, Mayor
Gunawan, menilai bahwa si pelaku tampaknya seseorang yang ingin
mencari kepuasan. Buktinya, bila ia ingin perbuatannya tak
diketahui orang lain, kata Gunawan, si pelaku tak akan
meletakkan potongan tubuh korbannya di dus dan meninggalkannya
di tempat umum. Tambahan lagi wajah si korban ditinggalkan
utuh-seolah-olah agar mudah dikenali siapa dia.
Toh, sampai minggu lalu si korban belum juga dikenali keluarga
atau kenalannya. Sudah ratusan orang datang melihat wajah si
korban tanpa bisa memberikan keterangan yang berarti. Mula-mula
ada cerita yang hampir saja meyakinkan Sim Liong Tjoan yang
tinggal di Kapuk (Jakarta Barat) kehilangan anaknya, Tjin Lian,
si jagal babi yang, sejak 21 lovember menghilang. Sepintas
tanda-tanda si korban yang dicincang mirip dengan Tjin Lian.
Tapi beberapa hari setelah dus berisi potongan mayat ditemukan,
rnyata Tjin Lian muncul di Kodak Metro Jaya dalam keadaan
sehat wal afiat. Tjin Lian memang menghilang beberapa hari,
bersembunyi di rumah bibinya di Lampung, cuma karena menghindari
tagihan utang seorang pedagang babi.
Berbeda dengan korban pembunuhan lain, potongan mayat di Jalan
Sudirman di atas tak bisa segera diketahui apa dan siapanya,
meski wajah si korban tetap utuh --apalagi untuk diketahui si
pelaku dan latar belakang kekejamannya.
Namun pembunuhan yang kemudian diikuti dengan kekejaman lain
tersebut menjadi pembicaraan panjang di pasar, kantor, kelurahan
dan tempat umum lainnya. Karena mempunyai keunikan yang sama
dengan peristiwa Bo'i yang dibunuh, mayatnya dikerat-kerat lalu
direbus keluarganya sendiri. Atau sama dengan nasib Ek Mong yang
dicincang dan direbus untuk umpan babi (lihat box). Dan
lain-lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini