Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peretasan akun dan telepon seluler diduga menjadi pola baru membungkam aktivis.
Koalisi masih menunggu jawaban resmi pihak WhatsApp.
Polisi terus melanjutkan penyidikan kasus Ravio.
DARI “pengungsian”, Ravio Patra Asri membuat perlawanan. Bersama Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (Katrok), pria 27 tahun itu berupaya mencari peretas akun WhatsApp miliknya. “Teman-teman membentuk tim investigasi,” kata salah seorang anggota koalisi, Alghiffari Aqsa, Kamis, 30 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka menggali informasi di berbagai tempat. Salah satunya kantor perwakilan WhatsApp di Singapura. Mereka berharap WhatsApp memberikan keterangan resmi soal peretasan akun Ravio. “Koalisi sudah menyurati kantor WhatsApp pada 25 dan 27 April lalu,” ujar aktivis SAFEnet yang juga salah satu anggota koalisi, Ellen Kesuma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya, kata Ellen, Ravio sudah berkomunikasi dengan seorang petinggi WhatsApp di Singapura. Namun mereka belum mau membuka isi pembicaraan tersebut ke publik. Mereka khawatir informasi itu menjadi peluru bagi pihak-pihak yang selama ini mengincar Ravio. “Teror di media sosial kepada Ravio dan teman-temannya terlihat sistematis,” ucapnya.
Salah satu modal penelusuran koalisi adalah artikel kantor berita Reuters pada 24 April lalu. Reuters menuliskan dua sumber di Facebook, perusahaan induk WhatsApp, memperkirakan akun Ravio menjadi target peretasan. “Namun kami masih menunggu jawaban resmi yang lebih spesifik,” kata Ellen.
Koalisi merasa identitas pelaku penting diungkap karena upaya peretasan akun dan telepon seluler milik sejumlah aktivis kian marak. Mereka menduga aksi ini merupakan strategi mengkriminalisasi orang-orang yang lantang. Mereka menjadi korban kriminalisasi dari peretasan tersebut. “Ini pola baru untuk membungkam aktivis,” ujar Alghiffari.
Polisi menangkap Ravio pada Rabu malam, 22 April lalu. Ia dituduh menyebarkan pesan berantai yang berisi ajakan membuat kerusuhan. Pesan itu menyebar ke sejumlah akun pada Rabu siang, 22 April. Ravio baru menyadari akun WhatsApp miliknya dibobol sekitar pukul 13.50 hari itu.
Ravio menjalani pemeriksaan panjang di ruang Sub-Direktorat Keamanan Negara Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Penyidik melepas pegiat demokrasi dan transparansi itu dua hari kemudian. Setelah bebas, ia meninggalkan kos-kosan dan mengungsi ke tempat yang dianggap aman.
Alghiffari mengungkap sejumlah kejanggalan tersebarnya pesan dari akun WhatsApp Ravio. Menurut dia, akun para penerima pesan berantai tak tersimpan di buku telepon seluler Ravio. Dari hasil penelusuran Koalisi, sebagian dari penerima pesan pernah menjadi anggota tim kampanye Joko Widodo pada pemilihan presiden tahun lalu.
Peretas juga mengirimkan pesan yang sama kepada seorang purnawirawan jenderal polisi berbintang tiga, perwira menengah polisi, dan anggota Tentara Nasional Indonesia berpangkat kolonel. Beberapa penerima merespons pesan itu dengan menelepon ke nomor WhatsApp Ravio. “Ada juga yang balas mengirim pesan, ‘Jangan begitulah’,” kata Alghiffari.
Malam sebelum akun WhatsApp-nya diretas, Ravio tengah merampungkan penelitian soal dugaan kolusi proyek pemerintah yang ditengarai melibatkan perusahaan milik seorang pengusaha muda. Dia sempat berkomunikasi dengan pengusaha tersebut lewat aplikasi WhatsApp.
Alghiffari meyakini komunikasi Ravio pada malam itu menjadi motif peretasan. Ia meyakini ada pihak yang terpojok oleh temuan Ravio. Di sisi lain, sang pengusaha memiliki kedekatan dengan seorang pejabat tinggi di lembaga negara yang menguasai teknologi komunikasi. “Tapi belum ada bukti kuat,” ujar mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ini.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan polisi tetap melanjutkan penyidikan kasus Ravio. “Penyidik masih melakukan digital forensic,” katanya. Ia juga membantah tudingan polisi telah mengkriminalisasi Ravio.
Lewat pengacaranya, Ravio melaporkan peretasan ini ke Polda Metro Jaya, Selasa, 28 April lalu. Ia ingin memastikan identitas dan tujuan peretas. Ia menganggap pembobolan WhatsApp dan aplikasi pesan lain sejumlah aktivis merupakan ancaman. “Saya masih merasa tak aman karena pelaku masih terlihat berusaha menyerang akun lain,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu, 25 April lalu.
MUSTAFA SILALAHI, DEVY ERNIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo