Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Corat-coret Melawan Negara

Polisi menduga kelompok 'Anarko' ada di belakang sejumlah peristiwa kriminalitas di kota-kota Pulau Jawa. Mereka tak memiliki organisasi dan logistik yang kuat.

2 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Polisi menuduh kelompok

  • Aktivis solidaritas petani juga dianggap sebagai bagian kelompok Anarko.

  • Anggota Anarko menyatakan tak punya kemampuan melawan negara.

ENAM belas hari ditahan, selama itu pula Muhammad Rizki, 21 tahun; Rio Imanuel (23); dan AA (17) tak bisa ditemui tim penasihat hukum. Upaya tim pengacara bertemu dengan mereka baru terwujud pada Ahad, 26 April lalu, di ruang tahanan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Shaleh Al Ghifari, menyesalkan sulitnya memberikan pendampingan hukum kepada mereka. Padahal setiap tersangka berhak mendapat bantuan hukum. “Ini pelanggaran,” katanya, Selasa, 28 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rio dan Rizki disangka memprovokasi kerusuhan. AA yang masih di bawah umur pun turut dijadikan tersangka. Personel Kepolisian Resor Tangerang menangkap ketiganya di Kafe Egaliter, Tangerang, Banten, pada 9 April lalu.

Ada kertas stensil dan cat semprot saat mereka ditangkap. Polisi menuduh mereka menulis ajakan berbuat kerusuhan massal di sejumlah tembok sekitar Pasar Anyar, Tangerang. Kamera pengawas (CCTV) milik penduduk sekitar merekam aksi corat-coret ketiga pria cungkring itu.

Pada pekan yang sama, polisi menangkap dua pemuda lain yang juga dituduh bagian dari kelompok “Anarko”—gerakan subkultur yang mengidamkan tiadanya intervensi negara—di Bekasi, Jawa Barat. Saat diperiksa pada awal penangkapan, keduanya didampingi pengacara yang disediakan polisi. Pemeriksaan berlanjut di Sub-Direktorat Keamanan Negara Polda Metro Jaya beberapa hari seusai penangkapan, bersama Rizki, Rio, dan AA yang juga dibawa ke markas Polda.

Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana mengatakan kelima pemuda itu menghasut kerusuhan lewat vandalisme. Dalam coretannya mereka menulis “Sudah krisis saatnya membakar”, “Kill the rich”, dan “Mau mati konyol atau melawan”. “Kami menjerat mereka dengan pasal penghasutan,” ujar Nana pada Sabtu, 11 April lalu.

Mereka disebut tak puas terhadap pemerintah, terutama dalam menangani pandemi Covid-19. Polisi juga menyebut Anarko sebagai kelompok kriminal yang berniat memantik kerusuhan dan penjarahan.

Menurut Nana, kelima tersangka itu hanyalah bagian kecil dari kelompok Anarko. Ia menyebutkan simpatisan paham anarkisme ini tersebar di Jakarta, Bandung, dan sejumlah kota besar lain di Jawa. “Meski terpisah di banyak tempat, kelompok ini terhubung dalam berbagai media sosial,” katanya.

Kepala Sub-Direktorat Keamanan Negara Ajun Komisaris Besar Dwiasi Wiyatputera mengatakan kelima tersangka memiliki beberapa akun Instagram. Mereka menggunakan akun itu untuk berkomunikasi dengan kelompok Anarko lain, seperti Red Amplifier, Mutual Advensif, dan Akar Rumput. Akun-akun itu memiliki ratusan pengikut.

Mereka juga memiliki channel di Telegram bernama Keluarga Cendana. “Mereka terhubung dengan kelompok lain yang memiliki kesamaan ideologi,” ucap Dwiasi. Menurut Dwiasi, simpatisan Anarko menciptakan akun-akun tersebut sebagai bagian dari strategi perlawanan yang akan ditunjukkan dalam unjuk rasa yang “terstruktur”, “sistematis”, dan “masif”.

Dwiasi menambahkan, kelompok tersebut berniat membuat masyarakat resah dan membenci pemerintah. “Sebagian di antara mereka juga pernah mengikuti unjuk rasa besar di DPR beberapa waktu lalu,” katanya.

Shaleh Al Ghifari menyebutkan narasi polisi soal Anarko terlalu dibesar-besarkan. Dia mengatakan ketiga pemuda yang ia dampingi tak memiliki kemampuan mengorganisasi massa. Corat-coret oleh mereka, misalnya, lebih pada ungkapan kekecewaan remaja ketimbang ajakan rusuh.

Di Malang, Jawa Timur, polisi menangkap Ahmad Fitron Fernanda, M. Alfian Aris Subakti, dan Saka Ridho karena ketiganya mencorat-coret tembok di enam titik di Kota Malang dengan frasa “Tegalrejo Melawan”. Akibat vandalisme itu, mereka dicap sebagai anggota kelompok Anarko yang menghasut kerusuhan.

Kepala Bagian Penerangan Umum Kepolisian RI Komisaris Besar Asep Adi Saputra mengatakan polisi menangkap anggota kelompok Anarko karena penghasutan. “Kami memidanakan mereka karena memprovokasi kerusuhan dan cara menyampaikan aspirasi mereka dengan merusak fasilitas umum,” ujarnya.

Berstatus mahasiswa, Fitron, Alfian, dan Ridho dikenal sebagai simpatisan Aksi Kamisan di Malang. Aktivis Aksi Kamisan Malang, Dinda Ayu, sangsi terhadap tuduhan polisi. Menurut Dinda, frasa “Tegalrejo Melawan” adalah bentuk kampanye advokasi konflik lahan antara warga Tegalrejo, Sumbermanjing Wetan, Kota Malang, dan PT Perkebunan Nusantara XII. “Jadi keliru besar jika coretan ‘Tegalrejo Melawan’ dianggap bagian ‘Anarko Sindikalis’,” katanya.

 

• • •

AJAKAN rusuh juga tersiar dari akun WhatsApp Ravio Patra Asri, aktivis media sosial sekaligus peneliti kebijakan publik, pada Rabu, 23 April lalu. Sementara corat-coret di tembok Pasar Anyar, Tangerang, diketahui dilakukan ketiga pemuda simpatisan gerakan Anarko, penyebar pesan berantai dari akun WhatsApp Ravio belum diketahui.

Akun WhatsApp Ravio diretas. Tanpa setahu pemiliknya, dari nomor itu tersebar pesan ajakan rusuh pada 30 April ke sejumlah nomor, yang bahkan tak ada dalam kontak di telepon selulernya. Ravio ditangkap, tapi kemudian dilepaskan sebagai saksi. Bersama Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (Katrok), Ravio sedang mencari bukti pembajakan akun WhatsApp miliknya.

Maraknya hasutan rusuh membuat kegiatan Solidaritas Pangan Jogja didatangi aparat berpakaian preman. Pada Kamis pagi, 30 April lalu, empat pria menyatroni dapur Solidaritas Pangan Jogja di Sembungan, Bantul, Yogyakarta. Salah seorang bertanya asal-usul pendanaan dan donasi dapur. Mereka pun menanyai identitas para relawan dapur. Sebelum berlalu, mereka mengambil foto relawan dan berbagai sudut dapur.

Inisiator Solidaritas Pangan Jogja, Ita Fadia Nadia, mengatakan kelompoknya mendirikan dapur darurat untuk membantu kalangan miskin perkotaan yang terkena dampak wabah Covid-19. Alih-alih mendapat bantuan, Ita dan teman-temannya dituding bagian dari kelompok Anarko, yang dituduh menghasut kerusuhan. “Akibatnya, kegiatan kami diawasi terus,” ujar Ita.

Kiprah kelompok Anarko makin disorot setelah beredar video pengakuan Pius Lout Alubwaman, 25 tahun. Bertato huruf “A” besar di badan, ia mengaku sebagai A1—pemimpin tertinggi—kelompok “Anarko Sindikalis”, yang menginginkan “dunia tanpa pemerintahan”. Video pengakuan Pius sebagai pemimpin kelompok Anarko beredar luas di media sosial. Dalam video itu, Pius memiliki bawahan dengan jabatan A2, A3, dan seterusnya.

Emma, salah seorang pentolan Anarko Sindikalis—kelompok Anarko yang berfokus pada perjuangan buruh—di Jakarta, merasa geli terhadap pengakuan Pius. Ia dan teman-temannya tak mengenal Pius. Padahal simpatisan dan anggota Anarko Sindikalis sering bertemu sambil mengikuti unjuk rasa kaum buruh. “Saya menduga dia dipaksa membuat pengakuan itu,” katanya.

Pius Lout Alubwaman./Istimewa

Belakangan, diketahui bahwa Pius ditangkap pada 12 April lalu karena mencuri helm milik seorang polisi di pos pemantauan lalu lintas Jembatan Semanggi, Jakarta Selatan. Sepekan seusai penangkapan, polisi memeriksa kejiwaan Pius. Uji laboratorium menyebutkan ia mengkonsumsi ganja. “Bicaranya juga ngaco,” ucap Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Yusri Yunus.

Menurut Emma, gerakan Anarko tak mengenal pemimpin. “Dalam Anarko, setiap orang adalah pemimpin. Siapa pun bisa bertindak atas inisiatif pribadi,” ujarnya. Emma dan teman-temannya membantah tuduhan polisi bahwa Anarko adalah ancaman negara.

Kelompok Anarko, kata Emma, tak memiliki logistik yang memadai untuk menyusun perlawanan. Pendukung gerakan ini hanya bermodalkan kuota Internet. Mereka lebih sering berkampanye di media sosial. “Untuk bayar ongkos angkutan umum saja susah,” tuturnya, lalu terkekeh.

Bima Satria Putra, penulis Perang yang Tidak Akan Kita Menangkan: Anarkisme dan Sindikalisme dalam Pergerakan Kolonial hingga Revolusi Indonesia (1908-1948), menyebut anarkisme sebagai gerakan yang mudah berbaur dengan gerakan sosial lain. “Akibatnya, sering kali orang kesulitan membedakan ini gerakan Anarko atau bukan,” katanya.

RIKY FERDIANTO, M. ZULNIS FIRMANSYAH, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), EKO WIDIANTO (MALANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus