Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bertukar Lepas dengan Tangkap

Sejumlah narapidana kembali berulah setelah pembebasannya dipercepat oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Di masa pandemi corona, angka kejahatan meningkat di sejumlah daerah.

2 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia akan membebaskan 40 ribu narapidana lewat program asimilasi hingga akhir 2020.

  • Ada 59 residivis yang kembali berbuat jahat setelah menerima program asimilasi.

  • Kementerian Hukum dan HAM akan menghapus remisi narapidana yang kembali tertangkap.

BELUM genap sebulan menghirup udara bebas, Muhammad Purnomo kembali meringkuk di jeruji besi. Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Kota Besar Semarang menangkap pria 38 tahun itu di Alun-alun Johar karena diduga hendak menjual dua gram sabu pada Senin malam, 27 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia tak menyadari polisi telah mengintai beberapa hari sebelumnya. “Polda Jawa Tengah dan jajaran memang mengawasi keberadaan dan kegiatan yang dilakukan oleh para narapidana asimilasi,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Tengah Komisaris Besar Iskandar F. Sutisna, Kamis, 30 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada penyidik, bapak tiga anak itu mengaku butuh uang untuk menghidupi keluarga. Purnomo residivis kasus narkotik yang dihukum empat setengah tahun penjara pada 2017. Ia bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Sragen pada 2 April lalu setelah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memasukkannya ke daftar narapidana penerima asimilasi dan integrasi.

Dua hari sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 untuk mencegah penyebaran virus corona di dalam penjara. Peraturan ini mempercepat pembebasan para terhukum kasus pidana umum yang akan menjalani dua pertiga masa tahanan hingga 31 Desember 2020.

Sebelum peraturan itu terbit, proses asimilasi narapidana dilakukan di dalam penjara dengan melibatkan pihak ketiga, seperti lembaga sosial dan yayasan. Hingga akhir April lalu, ada 38.952 narapidana yang menerima program asimilasi dan integrasi tersebut.



Menteri Yasonna Laoly memastikan pemberian asimilasi dan integrasi kepada para narapidana terus berjalan meski sarat kontroversi.



Komisaris Besar Iskandar mengatakan ada 1.771 narapidana di tujuh daerah di Jawa Tengah yang bebas karena peraturan tersebut. Mereka tersebar di tujuh kabupaten dan kota. Dari jumlah tersebut, polisi menangkap kembali sepuluh residivis.

Selain terjerat kasus peredaran narkotik, mereka diciduk polisi karena mencuri sepeda motor, terlibat penganiayaan, serta melakukan penipuan dan percobaan pencurian. Ada pula yang diringkus karena mencabuli anak di bawah umur. “Bila sudah meresahkan dan menyakiti masyarakat, kami tidak segan bertindak tegas dengan melumpuhkan mereka,” ucap Iskandar.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Komisaris Besar Asep Adi Saputra menyebutkan ada 59 narapidana yang kembali berulah setelah bebas dari penjara, hingga akhir April lalu. “Kasus seperti ini tersebar di 15 polda,” ujarnya. Jawa Tengah merupakan daerah dengan jumlah kasus paling banyak.

Di DKI Jakarta juga tercatat ada kejadian. Kepolisian Resor Jakarta Utara menembak mati residivis berinisial AR, Sabtu malam, 18 April lalu. Pria asal Palembang itu diburu setelah mencuri dan menodongkan senjata kepada penumpang angkutan umum di Tanjung Priok, Jakarta Utara, sepekan sebelum ditembak.

Bekas narapidana pencurian ini bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Bandung, Jawa Barat, lewat program asimilasi, April lalu. Sebelum berbuat jahat di Jakarta, ia merampok seorang penduduk di Kota Depok, Jawa Barat, lalu kabur dari kejaran polisi.

Menurut Komisaris Besar Asep, jumlah kasus pencurian naik 11,08 persen sejak pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar pada awal April lalu. Sebagian pelakunya adalah bekas narapidana yang menerima asimilasi dari Kementerian Hukum dan HAM.

Kendati ada peningkatan kejahatan, Asep menyebutkan jumlah kasus yang melibatkan narapidana asimilasi belum signifikan. “Setelah kami analisis, kejahatan ini disebabkan oleh faktor ekonomi. Bisa saja dilakukan penjahat bukan narapidana asimilasi,” kata lulusan Akademi Kepolisian angkatan 1994 tersebut.

Asep menyatakan kepolisian meningkatkan pengawasan dengan melibatkan banyak pihak, seperti Tentara Nasional Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, serta perangkat daerah hingga ke tingkat rukun tetangga dan rukun warga. Jika para napi tersebut berulah, polisi bakal langsung menangkap mereka.

Setelah ditangkap, mereka akan dikembalikan polisi ke lembaga pemasyarakatan asal. Mereka akan berada di dalam penjara sesuai dengan vonis pengadilan dan tak akan menerima remisi. Polisi kemudian memproses para residivis itu berdasarkan kejahatan barunya. “Kami tetap membuat berita acara pemeriksaan kasus baru mereka,” ucapnya.

Yasonna Laoly. TEMPO/Fakhri Hermansyah

Menteri Yasonna Laoly memastikan pemberian asimilasi dan integrasi kepada para narapidana terus berjalan meski sarat kontroversi. Ia menyebutkan jumlah narapidana di Tanah Air mencapai 271 ribu orang. Perkiraannya, ada 40 ribu narapidana kasus pidana umum yang dibebaskan hingga akhir tahun ini.

Ia mengklaim membuat kebijakan ini berdasarkan anjuran Komisi Tinggi untuk Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Badan Kesehatan Dunia (WHO), dan lembaga dunia lain. Anjuran ini juga berlaku untuk negara lain.

Program asimilasi juga untuk mengurangi penjara yang kelebihan penghuni. Yasonna khawatir penjara akan menjadi kuburan massal jika wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) tersebar hingga ke bui. “Kebijakan ini diapresiasi lembaga hak asasi manusia dunia ataupun Indonesia,” tuturnya.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini mengatakan jumlah narapidana yang kembali berulah sangat sedikit. “Sekitar 0,1 persen. Ini sangat kecil,” ujarnya. Persoalannya, menurut Yasonna, ada orang yang sengaja menyebarkan ketakutan lewat video hoaks. Video itu menyebutkan seolah-olah pelaku kejahatan adalah narapidana penerima asimilasi. “Setiap kejahatan yang muncul akhir-akhir ini jangan diasumsikan pelakunya narapidana penerima asimilasi,” katanya.

Yasonna telah meminta kepala kantor wilayah dan kepala lembaga pemasyarakatan berkoordinasi dengan kepolisian untuk memantau para penerima asimilasi. Ia juga memerintahkan jajarannya menyiapkan basis data yang lengkap berisi profil narapidana. Jika diperlukan, pengecekan akan dilakukan hingga ke keluarga masing-masing. “Semua kakanwil harus memantau program ini 24 jam dalam sehari,” ujarnya.

Kementerian juga meminta polisi menjerat narapidana yang kembali berulah dengan pasal yang berat. Mereka bersepakat menempatkan residivis kambuhan di sel pengasingan. Residivis juga tak akan mendapatkan remisi lagi dan dipastikan menerima hukuman baru. “Kami akan menerapkan hukuman yang berat kepada mereka,” katanya.

LINDA TRIANITA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus