Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan judicial review perkara Undang-undang Nomor 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) pada 30 Oktober 2022. MK menyatakan seluruh dalil pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (Imparsial) Hussein Ahmad menilai bahwa putusan tersebut tidak konsisten dengan amanat UUD 1945, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami memandang, MK tidak konsisten antara pertimbangan dengan putusan yang diambil serta dalam beberapa pertimbangan gagal memahami maksud konstitusi," ucapnya dalam keterangan tertulis pada Senin, 31 Oktober 2022.
Hussein menyebutkan MK telah mengakui bahwa definisi ancaman dalam UU PSDN kabur dan menciptakan ketidakpastian hukum. Alih-alih mebatalkan pasal tersebut, kata Hussein, MK justru memerintahkan pembentuk undang-undang untuk merevisi UU PSDN yang telah masuk Program Legislasi Nasiona (Prolegnas). Sementara hal itu, menurutnya, tidak dibenarkan dalam konteks hukum.
Ia pun menyoroti pertimbangannya MK yang menyatakan penetapan Komponen Candangan Manusia, Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Buatan (SDB) dan Sarana dan Prasaranan Nasional (Sarpranas) harus demokratis dan menghormati hak asasi manusia. Meski argumentasi MK benar, Hussein menilai MK seakan tak berani menyatakan kewenangan Menteri Pertahanan (Menhan) untuk melakukan penetapan sepihak adalah hal yang keliru, tidak demokratis, dan berpotensi melanggar HAM.
"Bagaimana mungkin penetapan sepihak Menhan tanpa adanya kesukarelaan oleh pemilik SDA, SDB, dan Sarpranas tanpa adanya mekanisme penolakan dapat dikatakan demokratis dan sesusai dengan HAM," tuturnya.
Selain itu, menurutnya, pernyataan MK bahwa UU PSDN telah mengakomodir prinsip penolakan atau Consentious Objection tidak benar dan tak memahami pokok permasalahan. Sementara MK berdalih pemerintah tidak mewajibkan warga negara mengikuti komponen cadangan.
Hussein menjelaskan UU PSDN memang tidak mewajibkan warga negara untuk mengikuti Constious Objector (Komcad), tetapi UU PSDN tidak sama sekali memberikan mekanisme penolakan bagi warga negara yang telah mengikuti Komcad. "Malah Komcad justru diancam dengan hukuman pidana," ucap dia.
Koalisi Masyarakat Sipil juga menilai MK hanya mengulang preseden buruk Undang-undang nomor 66 Tahun 1958 Tentang Wajib Militer. Pasal 11 belum memuat ketentuan atas kemungkinan pembebasan dari golongan tertentu yang juga terdapat dalam masyarakat Indonesia, yaitu golongan yang tidak bersedia menjadi prajurit secara sukarela maupun wajib.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.