Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I hari ini. Dengan demikian, RUU KUHP tinggal disahkan dalam rapat paripurna DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Izinkan saya mengetok palu sebagai tanda pengesahan, apakah bisa disepakati?" tanya Ketua Komisi Hukum Aziz Syamsudin di ruang rapat Komisi Hukum, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 18 September 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Setuju," jawab anggota Komisi Hukum yang hadir.
DPR dan pemerintah berkukuh mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini kendati isi serta proses pembuatannya menuai kritik dari koalisi masyarakat sipil. Berikut sejumlah pasal bermasalah dalam RUU KUHP menurut catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
1. Pasal hukuman mati
ICJR menilai pasal hukuman mati harus dihapuskan karena bertentangan dengan hak asasi manusia. ICJR menyebut dua pertiga negara di dunia juga telah menghapuskan hukuman mati.
Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati harus menjadi hak setiap orang yang diputus dengan pidana mati dan tidak boleh bergantung pada putusan hakim.
2. Pasal soal pengaturan makar
Definisi makar dalam RKUHP dinilai tidak sesuai dengan asal kata makar yaitu “aanslag” yang artinya serangan. ICJR menyatakan RKUHP cenderung mendefinisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.
3. Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden
Pasal-pasal ini telah dibatalkan sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal ini dinilai malah menunjukkan hadirnya watak kolonial yang sudah tidak relevan untuk masyarakat demokratis.
4. Pasal tentang tindak pidana terhadap agama
Pasal ini dinilai perlu dihapuskan karena jauh dari standar Pasal 20 ICCPR yang mengatur konteks pelarangan propaganda kebencian, dan hanya melindungi agama yang dianut di Indonesia.
5. Pasal kesusilaan
ICJR menilai negara terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk masuk pada hak konstitusional warga negara yang bersifat privat. Apalagi, rancangan KUHP terbaru memperluas pasal tentang kohabitasi atau kumpul kebo. Bukan cuma orang tua, suami,istri, atau anak, aparat desa bisa menjadi pengadu dalam hal ini.
6. Pasal tentang sosialisasi alat kontrasepsi
Pasal ini dinilai kontraproduktif dengan upaya penanggulangan HIV. Beberapa pandangan menyebutkan bahwa kondom adalah cara paling efektif mencegah penyebaran HIV dan sebelumnya sudah didekriminalisasi oleh Jaksa Agung tahun 1978 dan BPHN tahun 1995.
7. Pasal tentang Kriminalisasi setiap perempuan yang melakukan pengguguran/aborsi
Pasal ini hanya terkecuali bagi dokter yang melakukan aborsi dan bertentangan dengan Pasal 75 UU Kesehatan dan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2005. Pasal ini dinilai diskriminatif dan berpotensi mengkriminalisasi perempuan.
8. Pasal soal tindak pidana korupsi
ICJR mengatakan, RKUHP tidak mengadopsi pengaturan khusus yang ada dalam UU Tipikor, khususnya pasal 15 mengenai percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi yang akan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana tindak pidana korupsi yang bersangkutan selesai dilakukan (delik penuh). Dalam RKUHP saat ini, tidak ada pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
9. Pasal soal tindak pidana pelanggaran HAM yang berat
Asas retroaktif untuk pelanggaran HAM berat tidak diatur didalam buku 1 RKUHP. Akibatnya tindak pidana pelanggaran HAM berat kehilangan asas khusus yang sebelumnya telah melekat di pengaturan UU Nomor 26 Tahun 2000. ICJR menilai, masuknya frasa Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan ke dalam RKUHP dikhawatirkan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif.
10. Pasal penyebaran ajaran Komunisme atau Marxisme - Leninisme
Dalam pasal tersebut disebutkan, setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme atau marxisme-leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan, termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun.