Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Sembilan Kasus Dugaan Pelanggaran HAM yang Dikembalikan Kejaksaan

Kejaksaan Agung mengembalikan sembilan kasus dugaan pelanggaran HAM kepada Komnas HAM.

11 Januari 2019 | 12.02 WIB

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid (kiri) dan anggota Komnas HAM, Sandrayati Moniaga (kanan), memberikan pemaparan saat Aksi Kamisan ke-558 di depan Istana Negara, Jakarta, 18 Oktober 2018. Pada aksi ke-558 tersebut, korban dan keluarga korban pelanggaran HAM serta para aktivis menyuarakan kepemimpinan empat tahun Jokowi-JK, yang belum berhasil menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid (kiri) dan anggota Komnas HAM, Sandrayati Moniaga (kanan), memberikan pemaparan saat Aksi Kamisan ke-558 di depan Istana Negara, Jakarta, 18 Oktober 2018. Pada aksi ke-558 tersebut, korban dan keluarga korban pelanggaran HAM serta para aktivis menyuarakan kepemimpinan empat tahun Jokowi-JK, yang belum berhasil menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung mengembalikan sembilan berkas kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu ke Komisi Nasional HAM atau Komnas HAM. “Kami menerima kembali sembilan berkas perkara itu pada 27 November 2018,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis, 10 Januari 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Taufan mengatakan tidak ada kemajuan signifikan terkait proses hukum untuk mengungkap kejahatan HAM di masa lalu. Bahkan dari segi waktu, kata dia, kurang lebih empat tahun, tujuh berkas yang berada di Kejaksaan Agung itu cenderung stagnan.

Berkas yang dikembalikan ke komnas HAM merupakan dugaan pelanggaran HAM yang terjadi selama rentang waktu 50 tahun ke belakang. Berkas itu mengandung dugaan pelanggaran HAM terkait peristiwa:

1. Peristiwa 1965-1966

Peristiwa 1965 menandai dua hal, yakni awal transisi dari pemerintahan Soekarno ke Soeharto dan pembantaian orang-orang yang dituduh komunis. Peristiwa itu berawal dari 30 September 1965, ketika 7 Jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh.

Partai Komunis Indonesia kemudian dituding menjadi dalang pembunuhan tersebut untuk mengkudeta pemerintah. Setelahnya, orang-orang yang dituding berafiliasi dengan PKI diburu, dipenjarakan dan dibunuh tanpa proses pengadilan. Peristiwa itu dimulai dari Ibu Kota Jakarta, kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, lalu Bali dan Sumatera Utara yang menjadi basis PKI saat itu. Komnas HAM memperkirakan 500 ribu hingga 3 juta orang dibunuh dalam peristiwa ini.

2. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989

Peristiwa Talangsari adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan aparat di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabutapen Lampung Timur. Warsidi merupakan pimpinan dari kelompok yang beberapa anggotanya pernah bergabung dalam gerakan Darul Islam-Tentara Islam Indonesia pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Pada 6 Februari 1989, pemerintah setempat dipimpin Danramil Way Jepara Kapten Soetiman mencoba meminta keterangan dari Warsidi dan pengikutnya. Namun kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Kapten Soetiman pun tewas. Akibatnya, pada 7 Februari 1989, pasukan dari Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung dan penduduk setempat menyerbu komunitas Warsidi. Akibatnya korban berjatuhan dari kedua belah pihak, 27 orang tewas di pihak kelompok Warsidi, termasuk Warsidi sendiri.

3. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985

Penemuan mayat bertato yang sering diafiliasikan dengan kelompok preman menjadi hal lumrah pada 1982-1985. Mereka diduga adalah korban aksi penembakan misterius alias petrus. Petrus adalah suatu operasi rahasia dari Pemerintahan Soeharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang tinggi pada saat itu. Komnas HAM memperkirakan 10 ribu orang menjadi korban operasi itu.

4. Peristiwa Trisakti, Semangi I dan Semanggi II

Perstiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II terjadi pada saat demonstrasi besar-besaran menuntut Presiden Soeharto mundur dan penghapusan dwifungsi ABRI. Peristiwa tersebut merupakan aksi kekerasan dan penembakan yang diduga dilakukan oleh aparat yang menyebabkan belasan orang tewas termasuk mahasiswa.

Insiden Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998, di mana aparat melakukan penembakan terhadap mahasiswa yang sedang melakukan aksi menuntut Soeharto turun di depan kampus Trisakti. Empat mahasiswa Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendriawan Sie tewas dalam insiden itu. Sementara insiden Semanggi I dan II terjadi pada 13 November 1998 saat masyarakat dan mahasiswa berdemonstrasi menolak sidang istimewa MPR dan menuntut penghapusan dwifungsi ABRI. Dalam peristiwa ini, 17 orang warga sipil tewas, ratusan mengalami luka tembak dan terkena benda tumpul.

5. Kerusuhan Mei 1998

Kerusuhan Mei 1998 merujuk pada kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi pada 13 Mei hingga 15 Mei 1998. Kerusuhan ini dipicu oleh krisis finansial di Asia dan tragedi Trisakti yang berujung pada lengsernya Soeharto. Dalam kerusuhan ini, banyak toko dan perusahaan milik etni Tionghoa dirusak massa. Keturunan Tionghoa diduga juga diperkosa lalu dibunuh dalam kerusuhan itu.

6. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998

Peristiwa ini biasa juga disebut penculikan aktivis 1997-1998. Mereka yang menjadi korban adalah para aktivis prodemokrasi. Penculikan oleh aparat terjadi menjelang Pemilu 1997 dan sidang umum MPR 1998. Komnas HAM menyatakan dalam peristiwa ini 1 orang terbunuh, 11 orang disiksa, 12 dianiaya, 23 orang dihilangkan secara paksa dan 19 orang dirampas kemerdekaan fisiknya secara sewenang-wenang. Satu korban hilang yang hingga kini tidak diketahui kondisinya adalah penyair Wijhi Tukul.

7. Peristiwa Wasior dan Wamena,

Dalam peristiwa Wasior, anggota Brimob Polda Papua diduga melakukan penyerbuan kepada warga di Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari, Papua pada 13 Juni 2001. Penyerbuan dipicu oleh dibunuhnnya lima anggota Brimob dan satu sipil pegawai PT Vatika Papuana Perkasa. Dalam peristiwa itu, 4 warga tewas, 1 orang mengalami kekerasan seksual, lima hilang dan 39 luka-luka.

Sementara peristiwa Wamena merupakan aksi penyerbuan anggota Kodim 1702/Wamena ke 25 kampung di Wamena pada 4 April 2003. Penyisiran terhadap 25 kampung dilakukan setelah sekelompok massa tak dikenal membobol gudang senjata di Markas Kodim dan membunuh dua prajurit. Komnas HAM menyebut 9 warga tewas, dan 38 orang luka berat dalam peristiwa Wamena.

8. Peristiwa Simpang KKA 3 Mei 1999 di Aceh

Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh adalah peristiwa yang terjadi saat konflik Aceh 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh. Saat itu, pasukan militer Indonesia menembaki kerumunan warga yang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga di Cot Murong, Lhokseumawe. Diduga 46 orang tewas dalam peristiwa itu.

9. Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis lainnya di Aceh

Pelanggaran HAM yang terakhir adalah Peristwa Rumah Geudong dan Pos Sattis terjadi di masa Aceh dalam status Daerah Operasi Militer 1989-1998. Dalam pelaksanaan DOM, Panglima TNI memutuskan melakukan operasi Jaring Merah. Pelaksanaan operasi itu dilakukan dengan membuka pos-pos Sattis di beberapa wilayah Aceh. Pos Sattis kemudian menjadi semacam kamp penahanan tawanan perang dan pusat interogasi. Salah satu yang paling besar adalah Rumah Geudong, di Pidie, Aceh. Diduga di tempat itu, pasukan TNI melakukan penyiksaan, pemerkosaan hingga pembunuhan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus