Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Setelah Geregetan Dan Jengkel

Arifin alias A Fin penyalur Semen Tiga Roda di Medan dituduh menimbun semen. Kopkamtib menghukumnya kerja paksa. Jaksa menarik kembali tuntutannya. Ternyata hanya ketidakberesan administrasi. (hk)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKARA Arifin alias A Fin d/h Tio Wie Pin, ternyata berjalan tak segawat yang diduga. Tuduhan terhadap Direktur PT Indo Aceh, penyalur semen cap Tiga Roda di Medan itu, diajukan ke pengadilan secara sederhana (sumir) saja -- dua kali persidangan lantas saja memperoleh keputusan hakim. Vonis hakim pun, Kamis 22 Maret kemarin, cukup mengilik hadirin sidang untuk berdehem bersama terdakwa, 34 tahun, dihukum penjara 1 bulan 27 hari. Artinya klop dengan masa penahanan sementara. Padahal segala sesuatu tentang Arifin sebelumnya telah cukup besar dan menghebohkan. Dia dituduh menjegal Kenop 15: akibat perbuatannya menimbun 11.035 sak semen di gudangnya harga bahan bangunan itu jadi naik tak keruan. Untuk itu, lebih seru lagi, Arifin harus menjalankan hukuman"kerja paksa" yang dijatuhkan polisi atas perintah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Di bawah terik matahari dan ditonton banyak penduduk Medan, Pebruari lalu, pengusaha ini terpaksa menyapu dan mengangkat 1,5 ton sampah dari beberapa pelosok kota (TEMPO, 17 Pebruari). Dan apakah sesungguhnya kesalahan Arifin untuk dua macam hukuman yang harus dijalaninya itu? Untuk yang pertama, hukuman kerja paksa, Kopkamtib memang tidak menyebut-nyebut dasar hukumnya secara jelas. Kecuali "hukum gregetan" dan "hukum jengkel" saja, seperti kata Sudomo. Hukuman yang kedua memang berdasar putusan pengadilan. Mula cerita ialah harga semen yang mendadak naik sedang barangnya sepi di pasar Medan, sejak Kenop 15. Polisi sibuk mengintai gudang-gudang. Sejumlah penyalur dipanggil untuk dimintai keterangan. Muncul berita hangat di koran: ada tertimbun sejumlah semen di gudang di Jalan Kapten Muslim. Polisi terpancing. Cukup dengan bekal perintah lisan, pertengahan Januari lalu Lettu Mujo bergegas menutup gudang Arifin itu. Tiga karung semen diangkut ke kantor polisi sebagai bukti. Arifin sendiri ditangkap beberapa hari sesudah penyegelan gudangnya. Dan ditahan, mulai 24 Januari, di rumah tahanan Kampung Durian. Besoknya Komandan Kepolisian Medan, Kolonel Pol. Darwo Soegondo, mengumumkan kasus 'penimbun semen' tersebut. Disambut koran dengan kepala berita berhuruf besar. Memang berita hangat setelah Kenop 15. Apalagi, berikutnya, ketika Sudomo akhirnya tetap memerintahkan eksekusi hukuman kerja paksanya bagi si penimbun. Lebih sebulan kemudian barulah perkara Arifin diadili. Di Pengadilan Ekonomi Medan, minggu lalu Jaksa S.M. Mendrofa SH mulai mendakwa Arifin dengan tuduhan mengganggu perekonomian (primer) dan lalai membuat administrasi pergudangan -- sehingga tak jelas diketahui asal, tujuan, harga pembelian dan penjualan semennya (subsider). Tuduhan pertama tak terbukti -- sehingga jaksa menariknya kembali dalam tuntutan. Tuduhan kedua dianggap cukup terbukti -- dan jaksa menuntut hukuman 3 bulan penjara dan denda Rp 1 juta (subsider 1 bulan kurungan). Pembelaan Syarief Siregar SH dan Egawati Siregar SH menarik. Mereka minta Arifin dibebaskan dari segala tuduhan dan tuntutan. Apa yang dilakukan klien mereka, katanya, tak ada satu pun yang sesuai dengan tuduhan jaksa. Bahkan, menyinggung hukuman pihak Kopkamtib yang terpaksa dijalani Arifin, dipertanyakan: "Apakah hukuman kerja paksa di depan umum itu telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku?" Hal itu, lanjutnya, jelas telah memperlakukan tersangka di luar prinsip praduga tak bersalah. Majelis hakim yang dipimpin Humala Simanjuntak SH menyinggung soal itu sedikit. Tapi, "sebenarnya tak perlu diresahkan." Sebab, katanya, mempekerjapaksakan tersangka tersebut "dilakukan dalam hubungan usaha pemerintah untuk menegakkan hukum." Lalu, bagaimana dengan tuduhan Arifin sebagai si penimbun? Polisi, seperti diucapkan Lettu Mujo (yang menutup gudang Arifin) dan para saksi lain, memang menindak Arifin berdasar tuduhan menimbun barang. Wah "jangan begitu, malu kita," ujar hakim. Sebab yang namanya undang-undang anti penimbun barang 'kan sudah tidak berlaku lagi sejak Orde Baru? Apalagi, terbukti, Arifin memang hanya beberapa hari saja menyimpan semen di gudangnya. Beberapa ribu sak di antaranya sebenarnya sudah dipesan orang. Tapi terhambat penyalurannya justru karena polisi keburu menyegel. Begitu diketengahkan pembela. Hakim sependapat. Malah sebelumnya Arifin sudah ditanya, adakah dalam perkara semen yang kena segel itu polisi merugikannya. Arifin geleng kepala. Isi gudangnya memang sudah seluruhnya terjual (kecuali 3 sak yang dibawa jaksa ke pengadilan) di bawah pengawasan yang berwajib. Dan uangnya, katanya, semua masuk perusahaan. Bahkan tak diutik sedikit pun perihal kerja paksa yang sempat memeras keringat dan melecetkan telapak tangannya itu. Maklum. Tak ada yang dianggap memberatkan bagi terdakwa. Majelis hakim pun memutuskan hukuman penjara ditambah denda Rp 500 ribu. Arifin, dengan mata merah menahan tangis, menerima. Kecuali jaksa yang masih ingin berpikir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus