Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERKARA Arifin alias A Fin d/h Tio Wie Pin, ternyata berjalan
tak segawat yang diduga. Tuduhan terhadap Direktur PT Indo Aceh,
penyalur semen cap Tiga Roda di Medan itu, diajukan ke
pengadilan secara sederhana (sumir) saja -- dua kali persidangan
lantas saja memperoleh keputusan hakim. Vonis hakim pun, Kamis
22 Maret kemarin, cukup mengilik hadirin sidang untuk berdehem
bersama terdakwa, 34 tahun, dihukum penjara 1 bulan 27 hari.
Artinya klop dengan masa penahanan sementara.
Padahal segala sesuatu tentang Arifin sebelumnya telah cukup
besar dan menghebohkan. Dia dituduh menjegal Kenop 15: akibat
perbuatannya menimbun 11.035 sak semen di gudangnya harga bahan
bangunan itu jadi naik tak keruan. Untuk itu, lebih seru lagi,
Arifin harus menjalankan hukuman"kerja paksa" yang dijatuhkan
polisi atas perintah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Di bawah
terik matahari dan ditonton banyak penduduk Medan, Pebruari
lalu, pengusaha ini terpaksa menyapu dan mengangkat 1,5 ton
sampah dari beberapa pelosok kota (TEMPO, 17 Pebruari).
Dan apakah sesungguhnya kesalahan Arifin untuk dua macam hukuman
yang harus dijalaninya itu? Untuk yang pertama, hukuman kerja
paksa, Kopkamtib memang tidak menyebut-nyebut dasar hukumnya
secara jelas. Kecuali "hukum gregetan" dan "hukum jengkel" saja,
seperti kata Sudomo. Hukuman yang kedua memang berdasar putusan
pengadilan.
Mula cerita ialah harga semen yang mendadak naik sedang
barangnya sepi di pasar Medan, sejak Kenop 15. Polisi sibuk
mengintai gudang-gudang. Sejumlah penyalur dipanggil untuk
dimintai keterangan. Muncul berita hangat di koran: ada
tertimbun sejumlah semen di gudang di Jalan Kapten Muslim.
Polisi terpancing. Cukup dengan bekal perintah lisan,
pertengahan Januari lalu Lettu Mujo bergegas menutup gudang
Arifin itu. Tiga karung semen diangkut ke kantor polisi sebagai
bukti.
Arifin sendiri ditangkap beberapa hari sesudah penyegelan
gudangnya. Dan ditahan, mulai 24 Januari, di rumah tahanan
Kampung Durian. Besoknya Komandan Kepolisian Medan, Kolonel Pol.
Darwo Soegondo, mengumumkan kasus 'penimbun semen' tersebut.
Disambut koran dengan kepala berita berhuruf besar. Memang
berita hangat setelah Kenop 15. Apalagi, berikutnya, ketika
Sudomo akhirnya tetap memerintahkan eksekusi hukuman kerja
paksanya bagi si penimbun.
Lebih sebulan kemudian barulah perkara Arifin diadili. Di
Pengadilan Ekonomi Medan, minggu lalu Jaksa S.M. Mendrofa SH
mulai mendakwa Arifin dengan tuduhan mengganggu perekonomian
(primer) dan lalai membuat administrasi pergudangan -- sehingga
tak jelas diketahui asal, tujuan, harga pembelian dan penjualan
semennya (subsider). Tuduhan pertama tak terbukti -- sehingga
jaksa menariknya kembali dalam tuntutan. Tuduhan kedua dianggap
cukup terbukti -- dan jaksa menuntut hukuman 3 bulan penjara dan
denda Rp 1 juta (subsider 1 bulan kurungan).
Pembelaan Syarief Siregar SH dan Egawati Siregar SH menarik.
Mereka minta Arifin dibebaskan dari segala tuduhan dan tuntutan.
Apa yang dilakukan klien mereka, katanya, tak ada satu pun yang
sesuai dengan tuduhan jaksa. Bahkan, menyinggung hukuman pihak
Kopkamtib yang terpaksa dijalani Arifin, dipertanyakan: "Apakah
hukuman kerja paksa di depan umum itu telah memenuhi ketentuan
hukum yang berlaku?" Hal itu, lanjutnya, jelas telah
memperlakukan tersangka di luar prinsip praduga tak bersalah.
Majelis hakim yang dipimpin Humala Simanjuntak SH menyinggung
soal itu sedikit. Tapi, "sebenarnya tak perlu diresahkan."
Sebab, katanya, mempekerjapaksakan tersangka tersebut "dilakukan
dalam hubungan usaha pemerintah untuk menegakkan hukum."
Lalu, bagaimana dengan tuduhan Arifin sebagai si penimbun?
Polisi, seperti diucapkan Lettu Mujo (yang menutup gudang
Arifin) dan para saksi lain, memang menindak Arifin berdasar
tuduhan menimbun barang. Wah "jangan begitu, malu kita," ujar
hakim. Sebab yang namanya undang-undang anti penimbun barang
'kan sudah tidak berlaku lagi sejak Orde Baru?
Apalagi, terbukti, Arifin memang hanya beberapa hari saja
menyimpan semen di gudangnya. Beberapa ribu sak di antaranya
sebenarnya sudah dipesan orang. Tapi terhambat penyalurannya
justru karena polisi keburu menyegel. Begitu diketengahkan
pembela.
Hakim sependapat. Malah sebelumnya Arifin sudah ditanya, adakah
dalam perkara semen yang kena segel itu polisi merugikannya.
Arifin geleng kepala. Isi gudangnya memang sudah seluruhnya
terjual (kecuali 3 sak yang dibawa jaksa ke pengadilan) di bawah
pengawasan yang berwajib. Dan uangnya, katanya, semua masuk
perusahaan. Bahkan tak diutik sedikit pun perihal kerja paksa
yang sempat memeras keringat dan melecetkan telapak tangannya
itu. Maklum.
Tak ada yang dianggap memberatkan bagi terdakwa. Majelis hakim
pun memutuskan hukuman penjara ditambah denda Rp 500 ribu.
Arifin, dengan mata merah menahan tangis, menerima. Kecuali
jaksa yang masih ingin berpikir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo