Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Surya Anta Curhat Overkapasitas, ICJR: Masalahnya di Sistem Hukum

"Sudah aturannya bermasalah, penegakan hukumnya kurang punya nilai-nilai yang sejalan dengan pemasyarakatan," kata ICJR menanggapi cuitan Surya Anta.

14 Juli 2020 | 02.32 WIB

Enam Aktivis Papua, Suryanta Ginting, Ambrosius Mulait, Charles Kossay, dan Dano Anes Tabuni, saat bebas dari Rutan Salemba, Jakarta Pusat, pada Selasa pagi, 26 Mei 2020. Dokumentasi: Istimewa
Perbesar
Enam Aktivis Papua, Suryanta Ginting, Ambrosius Mulait, Charles Kossay, dan Dano Anes Tabuni, saat bebas dari Rutan Salemba, Jakarta Pusat, pada Selasa pagi, 26 Mei 2020. Dokumentasi: Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, mengatakan persoalan rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan seperti dikisahkan Surya Anta Ginting tak bisa dilepaskan dari skema sistem peradilan pidana di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Erasmus mengatakan, ada dua titik penting di balik overkapasitas rutan dan lapas serta pelbagai persoalan yang mengikutinya. Dua hal itu adalah peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum. "Sudah aturannya bermasalah, penegakan hukumnya kurang punya nilai-nilai yang sejalan dengan pemasyarakatan," kata Erasmus kepada Tempo, Senin, 13 Juli 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Erasmus mengatakan setengah permasalahan rutan dan lapas sebenarnya bisa selesai di Kementerian Hukum dan HAM. Ia berujar, kementerian ini memiliki dua direktorat jenderal dan satu badan untuk mengevaluasi peraturan perundang-undangan di Indonesia serta menata rutan/lapas.

Yaitu, kata Erasmus, Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, dan Ditjen Pemasyarakatan. Namun, Erasmus menilai Ditjen PP dan BPHN gagal mengontrol aturan-aturan yang sifatnya overkriminalisasi.

Akibatnya, kata dia, aturan yang sifatnya memidanakan tetap berlaku di Indonesia. Erasmus mencontohkan, yang paling parah adalah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

"Semangat memidanakan ini tidak dibarengi kesadaran bahwa lapas dan rutan kita tidak mampu menampung orang-orang di penjara," ujar Erasmus.

Kedua, Erasmus mengatakan sistem penegakan hukum di Indonesia belum mendukung alternatif selain pemidanaan. Ia kembali mencontohkan UU Narkotika yang belum memaksimalkan alternatif rehabilitasi, tetapi masih lebih banyak pemenjaraan. Menurut data, sekitar 70 persen warga binaan pemasyarakatan di seluruh Indonesia saat ini adalah narapidana kasus narkotika.

Erasmus mengatakan belum optimalnya alternatif pemidanaan ini juga memicu tumbuh suburnya praktik transaksional dalam penegakan hukum. Pengguna narkoba yang tak ingin dipenjara misalnya, harus merogoh kocek agar dikirim ke rehabilitasi.

"Penjara jadi mata uang. Kalau ga mau dipenjara, bayar. Penjara juga jadi nilai tukar. Kalau orang enggak mau sengsara di penjara, bayar," ujar Erasmus.

Sebelumnya, juru bicara Front Rakyat Indonesia for West Papua Surya Anta Ginting menceritakan kondisi overkapasitas Rutan Klas I Salemba tempatnya pernah ditahan. Cerita ini dia sampaikan melalui utas di akun Twitternya, @SuryaAnta pada Ahad malam, 12 Juli 2020.

Dalam cuitannya, Surya bercerita tentang overkapasitas Rutan Klas I Salemba, kesenjangan sosial, transaksional antarnapi, hingga pelbagai bisnis yang ada di dalam. Surya mengatakan bisnis warung hingga narkoba ada di dalam Rutan Salemba tersebut.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan akan mengecek cerita Surya Anta. Yasonna mengaku telah memerintahkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Inspektur Jenderal Reinhard Silitonga untuk mengecek Rutan Salemba.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus