Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana memanas di ruang penyidik Markas Besar Polri, Kamis pekan lalu. Silang-sengkarut kesaksian yang berbantahan membuat penyidik tim pemberantasan tindak pidana korupsi naik pitam saat memeriksa Mukron As'ad, Harijanto, dan Tuhari Sawanto. Para pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu sedang diminta kesaksiannya dalam kasus penggunaan Dana Abadi Umat (DAU) dengan tersangka mantan Menteri Agama Said Agil Husin al-Munawar serta Taufik Kamil, pensiunan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.
Dari semua saksi, rupanya Tuhari Sawanto yang paling ngeyel. Kepala Seksi Departemen Agama BPK itu berkeras membantah telah menerima cek dari instansi yang diauditnya. Polisi lantas menjemput Mochamad Abdul Rosjad, bendahara Badan Pengelola DAU Departemen Agama, dan membawanya ke ruang pemeriksaan. Dikonfrontir dengan Rosjad, Tuhari masih bergeming. Polisi terpaksa kembali ke kantor Rosjad di Lapangan Banteng, Jakarta, dan mengangkut Turmudi Kusmantoro, sang juru bayar, ke markas penyidik di Kebayoran.
Baru ketika diadu dengan pengakuan Turmudi, yang terperinci menerangkan kejadian penyerahan cek "bermasalah" itu pada suatu pagi di salah satu ruangan kantornya, Tuhari tak bisa mengelak. Ia pun mengaku. Polisi yang lama memendam kesal tak kuasa menahan bicara. "Kau mengaku saja. Kalau dari tadi kau ngomong, kita tak perlu repot menjemput orang," kata salah seorang penyidik geram.
Tuhari, yang tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah, meski bekerja di Jakarta, rupanya ketakutan. Masalahnya, nama dan tanda tangannya ditemukan di selembar cek senilai Rp 221 juta tertanggal 26 April 2004. Plus ia juga menerima US$ 25.600. Dana itu, menurut tulisan yang tertera di lembar tanda terima, diperuntukkan sebagai uang saku dan transpor pemeriksa di Arab Saudi serta kebutuhan dolar Amerika tim pemeriksa BPK.
Pengakuan Tuhari moga-moga saja bisa membuat terang soal aliran dana yang diduga haram ini. Soalnya, "kehalalan" sebagian setoran Departemen Agama ke BPK masih tersaput misteri. Ketua BPK Anwar Nasution, dalam rapat tertutup dengan Komisi Hukum DPR pekan lalu, mengaku hanya mendapat laporan tentang tiga setoran yang terjadi sebelum masa kepemimpinannya itu. Pengakuan ini diberikan setelah terungkap adanya aliran duit hasil bunga dana hasil efisiensi jemaah haji tersebut.
Dalam catatan buku kas BPK, setoran pertama kali tercatat pada 19 April 2001, saat Departemen Agama mengirim biaya audit khusus Badan Pengelola Ibadah Haji (BPIH) tahun 2001 dan 2002 via Bank BNI sebesar Rp 607 juta. Dana tersebut baru dicairkan oleh Departemen Keuangan pada Mei 2002. Dana itu tersisa Rp 1,2 juta, yang lantas disetorkan balik ke kas negara. Setoran kedua, tercatat 11 April 2003, untuk audit BPIH tahun 2003 sebesar Rp 472,6 juta. Dari duit itu, BPK hanya memakai Rp 437 juta. Bulan Maret 2004, Departemen Agama kembali menyetor biaya audit untuk pemeriksaan BPIH tahun itu sebesar Rp 378 juta. Duit setoran terakhir ini masih utuh di kas negara karena ongkos audit Rp 298 juta bisa ditanggung anggaran BPK sendiri. Jadi, total BPK menerima Rp 1,5 miliar dalam tiga tahun pemeriksaan (lihat Tempo, 27 Juni 2005).
Tiga kali penerimaan ini, meski dasar hukumnya masih diperdebatkan, diakui BPK, karena diyakini melalui mekanisme anggaran negara yang berlaku di Departemen Keuangan. Soal bahwa setoran itu dicatat sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP), menurut Sekretaris Jenderal BPK, Seno, adalah proses internal Departemen Keuangan. " Kita tak tahu itu," kata pria lulusan Universitas Syracuse, Amerika ini. Lembaga tinggi negara itu tak pernah menganggapnya sebagai PNBP, seperti yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP, atau Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1997 mengenai Jenis dan Penyetoran PNBP. Dalam UU No. 20 Tahun 1997, BPK memang tidak termasuk 17 lembaga atau departemen yang memiliki PNBP.
Ada kemungkinan, menurut Kepala Sub-Bagian Humas BPK, Gunarwanto, proses itu dicatat menurut rancangan peraturan pemerintah yang pernah disiapkan BPK dan Departemen Keuangan. Dalam konsep peraturan tersebut memang dibahas kemungkinan ongkos audit ditanggung lembaga terperiksa. "Meski sudah dibicarakan dengan Departemen Keuangan, Pak Billy Yudhono (Ketua BPK waktu itu) memutuskan tak melanjutkan pembuatan peraturan itu," kata Gunarwanto. Alasannya, karena memeriksa sudah menjadi tugas BPK. "Ya, harus negara yang membayar pemeriksaan itu," katanya. Setiap auditor BPK tidak diperkenankan menerima biaya pemeriksaan dari lembaga terperiksa. "Jika dibiayai, bisa menimbulkan conflict of interest," tuturnya.
Dari hasil dokumen penelusuran tim pemberantas korupsi yang diperoleh Tempo, tercatat ada delapan kali setoran senilai Rp 2,01 miliar plus US$ 25.600 masuk "dompet" BPK. Alhasil, ada "dana gelap" Rp 600 juta dan US$ 25.600. Yang jadi masalah, jika hanya tiga yang resmi, bagaimana sisanya? "Aku tak tahu. Yang jelas, makan riba itu haram," kata Ketua BPK Anwar Nasution, yang mengaku sudah memerintahkan inspektur pengawasan BPK memeriksa para auditor Departemen Agama (lihat wawancara Anwar Nasution: Korupsi itu di Mana-mana, Termasuk di Sini).
Setoran yang masih "gelap" itu tercatat masing-masing Rp 92 juta (Mei 2003), Rp 221 juta dan US$ 25.600 (April 2004, diketahui diterima Tuhari), Rp 95 juta (Juni 2004), Rp 128 juta (Juni 2004), dan Rp 240 juta (September 2004).
Menurut sumber Tempo yang mengikuti jalannya penyidikan, dana tak jelas itu merupakan "uang terima kasih" yang ditulis dalam pembukuan sebagai insentif setelah pemeriksaan dan uang saku. Dalam dokumen internal Departemen Agama, disebutkan insentif adalah bentuk "sekadar terima kasih atas partisipasi melakukan pemeriksaan". Di situ juga diatur jelas sumber dananya, yakni 40 persen diambilkan dari DAU dan 60 persen dari rekening BPIH. Hal ini rupanya sudah menjadi kebiasaan di Departemen Agama, karena rutin diberikan setiap selesai audit, disinyalir sejak tahun 2001. "Namun yang bisa ditemukan buktinya hanya tahun 2003 dan 2004," kata sumber Tempo.
Tidak diketahui jelas, berapa dana terima kasih yang diberikan tahun sebelumnya. Masalahnya, duit terima kasih ini juga digelembungkan. Pada pengeluaran 2003, dana yang ditarik hanya Rp 92 juta. Persis dengan perincian jumlah "jatah" sebelas auditor BPK. Pada 2004 tertulis jatah Rp 95 juta untuk 12 auditor, namun DAU yang ditarik ternyata mencapai Rp 128 juta.
Penggelontoran duit "terima kasih" ini juga disembunyikan dalam pos pengeluaran lain. Seperti pada pengeluaran Rp 240 juta tanggal 23 September 2004. Pengeluaran itu sendiri dicatat sebagai "bantuan biaya pemeriksaan BPK 2003-2004". Dalam pengeluaran yang dirinci menjadi 18 item itu, masih tercantum komponen "insentif pascapemeriksaan" Rp 101 juta. Selain itu, masih ada beberapa komponen "aneh" lain seperti pembelian laptop tim pemeriksa Rp 13 juta dan bantuan pembelian suvenir Rp 7,5 juta.
Pelacakan tim pemberantas korupsi menemukan pemberian insentif pasca-pemeriksaan ternyata tak hanya diberikan ke para auditor, tapi juga pimpinan dan staf di lingkungan BPIH. Pada 2003, misalnya, mereka tercatat mengantongi Rp 76 juta yang disebar ke 24 orang. Dalam penarikan 16 Juni 2004, mereka kebagian jatah Rp 119 juta untuk 26 orang. "Jadi, tak hanya pemeriksa, yang diperiksa dapat honor pula. Malah lebih besar, soalnya mereka tak boleh berkeringat," kata sumber Tempo sembari tergelak.
Sayang, tak semua auditor BPK yang namanya tertera dalam dokumen Departemen Agama itu mau berbicara saat dikonfirmasi Tempo. Auditor pembina utama dan penanggung jawab tim, Mukron As'ad, yang bersedia diwawancarai Tempo, mengaku hanya menerima dana biaya audit Rp 600 juta. Ia membantah menerima tanda terima kasih Rp 50 juta yang tercatat dalam dokumen Departemen Agama. Adapun auditor utama Harijanto, pemimpin audit, menolak diwawancarai. "Bapak akan memberikan keterangan ke polisi saja daripada ke wartawan," kata seorang stafnya di BPK. Harijanto, yang namanya juga disebut dalam kasus sumbangan Komisi Pemilihan Umum sebesar Rp 100 juta, menurut dokumen di tim pemberantas korupsi, tercatat menerima dana "insentif" Departemen Agama sekurangnya Rp 30 juta. Sedangkan Tuhari Sawanto, yang tertulis menerima "insentif" Rp 15 juta, buru-buru menutup telepon selulernya ketika tahu dihubungi Tempo. Delapan auditor lain, yang tercatat mendapat "jatah" Rp 5 juta dan Rp 10 juta, memilih bungkam.
Hanya Khairiansyah Salman, yang kala itu berstatus anggota tim, yang mau dikonfirmasi. Ia mengaku tak menerima "insentif" dari Departemen Agama untuk audit tahun 2003, meski surat bendaharawan BPIH mencatatnya telah menerima Rp 5 juta. "Saya tak terima. Kalau yang lain, silakan saja tanya ke pimpinan saya," katanya.
Arif A. Kuswardono, Mawar Kusuma, M. Nafi (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo