Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA pemandangan tidak biasa di Pengadilan Negeri Salatiga, Jawa Tengah, Selasa pekan lalu. Sekitar 2.000 orang memenuhi gedung dan halaman pengadilan tersebut. Mereka adalah pengunjung yang ingin mendengarkan langsung vonis yang dibacakan hakim terhadap Djoni Purwoto dan Sugiri Cahyono. Kedua penduduk Umbulrejo, Salatiga, Jawa Tengah, ini adalah sutradara dan asisten sutradara ''ketoprak plesetan'' teater Pah-Poh, yang karena penampilannya Oktober tahun lalu membuat masyarakat Salatiga marah. Pengunjung yang tidak mendapat tempat di dalam gedung mengikuti sidang lewat pengeras suara yang dipasang di halaman pengadilan. Selain dari Salatiga, ada pengunjung yang datang dari luar kota. Termasuk sejumlah mahasiswa yang mengaku berasal dari Solo, Semarang, Yogyakarta, bahkan Jember (Jawa Timur). ''Rasanya ini sidang yang paling banyak menarik perhatian,'' kata salah satu dari 165 petugas Kepolisian dan Komando Resor Militer yang berjaga di sekitar pengadilan. Kasus yang membawa Djoni, 22 tahun, dan Sugiri, 29 tahun, ke meja sidang itu adalah lakon ''Ontoseno Kawin'' yang mereka pentaskan dalam rangka menyambut hari Kesaktian Pancasila. Dalam kemeriahan yang diselenggarkan Departemen Penerangan Salatiga tersebut Djoni dan kawan-kawan menyuguhkan banyolan yang menyerempet bahaya. Ketika adegan Ontoseno (dimainkan oleh Sakti Wibowo) sedang memanjatkan doa agar ia bisa mengawini primadona Dwi Mawati (diperankan Tuti Astuti) meluncurlah kata-kata yang memelesetkan, Amien ya Robbil alamin. Begitu pula doa yang mempermainkan kata- kata Kun fayakun, ''Tak ada singkong ada sukun, telor ayam lebih kecil dari telur kalkun.'' Sejumlah penonton tersengat mendengar banyolan itu. Di antaranya, Khamdi. ''Sebagai orang Islam saya tersinggung mendengar ucapan mereka mempermainkan ayat suci Al Quran,'' kata mahasiswa Ins- titut Agama Islam Negeri, Salatiga, yang menonton acara tersebut. Namun sampai pertunjukan usai tidak terjadi apa-apa. Baru kesokkan harinya sekitar 500 demonstran -- yang menamakan kelompoknya Gerakan Solidaritas Muslim Salatiga -- mendatangi arena hiburan tersebut. Poster dan spanduk diacungkan para pengunjuk rasa itu. Antara lain bertuliskan, ''Ucapan wayang plesetan menghina umat Islam.'' Petugas keamanan cukup sigap, dan demonstrasi bisa segera diakhiri dengan damai. Petugas berjanji akan menyelesaikan kasus tersebut secara hukum. Para petugas mencemaskan terjadinya kerusuhan karena tak jauh dari arena demonstrasi ada dakwah yang diisi dai kondang K.H. Zaenuddin Mz. Seakan sependapat dengan pengunjuk rasa, majelis hakim yang mengadili Djoni dan Sugiri berpendapat bahwa ucapan dalam ketoprak tersebut memang menghina umat Islam. Agus Air Guliga, ketua majelis, mengemukakan, ''Doa, Amien ya Robbil alamin yang diplesetkan itu sebetulnya berarti wahai Tuhan seru sekalian alam.'' Sedangkan kata-kata Kun fayakun, menurut hakim, ada pada ayat Quran yang tertera dalam Surat Yasin Ayat 82. Berdasarkan pertimbangan tersebut hakim memutuskan vonis buat Djoni dan Sugiri, masing-masing 4 tahun dan 3,5 tahun penjara. Vonis tersebut membuat kedua terdakwa kaget. Karena sebelumnya jaksa hanya menuntut mereka masing-masing tiga tahun. ''Hukuman itu terlalu berat buat kami,'' kata Djoni, yang masih pikir-pikir untuk menerima atau menolak keputusan hakim tersebut. Mereka berdua menyatakan tidak secara sengaja melakukan kesalahan. Mereka tidak tahu bahwa banyolan mereka bisa menyinggung umat Islam. Jika dibandingkan dengan vonis kasus yang mirip di Yogyakarta, vonis Djoni dan Sugiri memang lebih berat. Tiga bulan lalu dua mahasiswa asal Yogyakarta juga diseret ke pengadilan gara-gara plesetan yang menghina umat Islam. Bambang Gundul dan Moko, kedua mahasiswa itu, divonis Pengadilan Negeri Yogyakarta hukuman 2,5 tahun penjara. Rustam F. Mandayun dan Bandelan Amarudin (Salatiga)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo