Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"AYO, anak-anak manis. Kereta api jurusan surga hampir
berangkat. Harap bersiap-siap. Kalau ketinggalan, menyesal
nanti." Begitu aba-aba yang diberikan Anang Syah lewat
megaphone dari dalam masjid Pondok Remaja Inabah (PRI), Ciamis,
di sebuah pagi buta. Ketika itu jam menunjukkan pukul 04.00
Iewat sedikit. Hawa dingin - sekitar 20 derajat Celsius -
menyusup ke dalam kompleks seluas 0,5 ha yang terletak di
perbukitan Desa Cibeureum, Kecamatan Panjalu, Jawa Barat, itu.
Kabut yang luruh membuat PRI terasa tenteram dan sunyi, tak
ubahnya sebuah tempat di kayangan.
Seruan Anang Syah, 49 tahun, Kepala Pembina di situ, cepat
sekali bersambut. Dari bangunan seputar masjid, berdatangan
'anak-anak manis', yang tak lain para remaja dan dewasa muda
berusia sekitar tiga puluhan. Ada yang mengenakan kain sarung
lengkap dengan pici ada pula yang memakai celana blujin. Azan
berkumandang. Lalu "kereta jurusan surga"diberangkatkan. Anang
yang menjadi "masinis". Salat subuh yang khusyuk .
Melihat saf yang rapi,kekhusyukan yang membayang di wajah, siapa
mengira mereka itu ternyata orang yang pernah tersodok dari
kehidupan normal karena cengkeraman narkotik. Mereka, memang,
adalah para korban yang mulai menyadari bahwa 'si putih' tak
lain sesuatu yang harus diperangi, karena ternyata hanya membuat
penggalan hidup menjadi hitam.
Dan untuk membasuh yang hitam tadi selesai sembahyang, Anang -
yang sudah dianggap sebagai orangtua kedua - memimpin acara
berzikir: laillaha illallah. Pengakuan bahwa "tak ada Tuhan
selain Allah" itu diulang sebanyak 165 kali, diiringi gerakan
kepal ke atas, ke kanan dan ke kiri, sembari tangan memainkan
tasbih.
Upaya penyembuhan korban narkotik yang ditempuh PRI memang
memakai jalur spiritual. Tak heran, karena PRI pimpinan Anang
Syah, yang memulai kegiatan pada 1980, adalah bagian dari Pondok
Pesantren Suryalaya yang terkenal itu (berdiri 1905). Suryalaya
sendiri dengan tokoh sentralnya Abah Anom, 68 tahun, mulai
merintis usaha menyembuhkan pecandu narkotik pada 1971. Dan
kini, pesantren pusat tarekat Qoodiriyyah Naqsyabandiyah itu
telah membuka "cabang" tempat penyembuhan korban obat bius di
tujuh tempat, untuk putra dan putri.
Zikir, menurut Abah Anom, mcmang mcrupakan sarana utama untuk
penyembuhan. Tak hanya bagi korban narkotik, juga bagi mereka
yang mengalami sakit jiwa lain, atau yang sebelumnya cara
hidupnya jauh dari jalan Tuhan. Dengan zikir, di samping iman
menjadi kuat dan pikiran tenang, "sistem peredaran darah,
termasuk denyut jantung, sistem pernapasan dan semua onderdil
tubuh menjadi berungsi normal kembali," kata H. Zaenal Abidin
Anwar, wakil ketua Majelis Bina Pesantren Suryalaya.
Hasilnya? "Kini saya tenteram dan lebih mengenal diri sendiri.
Kalau ingat narkotik, muak rasanya," kata Deddy, 20 tahun, bekas
mahasiswa UNS 11 Maret, Surakarta. Dulunya ia gemar sekali
menelan pil penenang sampai 60 butir sehari. Budi, 16 tahun,
selain menelan pil juga punya hobi mengisap ganja. Dan ternyata,
"fly zikir lebih asyik ketimbang fly narkotik," ia tertawa.
Rekan-rekannya - di PRI kini ada 32 orang - mengangguk setuju.
Bahkan salah seorang di antara mereka yakin betul bahwa
narkotika tak lain singkatan dari Negara Akan Runtuh Kalau
Orang Tidak Ingat Kepada Allah.
Sejauh ini, PRI pimpinan Anang sudah mengobati lebih dari 640
penderita. Mereka, menurut Anang, datang dari Jakarta, Bandung,
Surabaya, Pontianak, Palembang, dan Medan, serta beberapa kota
lain. Waktu perawatan 10 hari sampai 3 bulan. Umumnya mereka
berasal dari keluarga mampu dan berpendidikan SMTLP sampai
perguruan tinggi.
PRI bukan satu-satunya tempat rehabilitasi pecandu narkotik. Di
Jawa Tengah, misalnya, ada Wisma Bina Remaja milik kepolisian
(Kodak IX). Berdiri sejak 1977, wisma seluas 800 m2 itu terletak
di Banyumanik, Semarang Selatan. Penderita yang dikirim ke situ
tak hanya pecandu narkotik, juga anak dan remaja nakal. Mereka
itu, seperti yang ditampung di Pamardi Siwi, Jakarta, umumnya
titipan orangtua yang kewalahan.
Tapi, keretakan rumah tangga, menurut Kepala Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) dr. Erwin Wijono, memang bukan
satu-satunya faktor yang mendorong seseorang terjerumus dalam
obat bius. "Faktor psikologis dan sosiologis bahkan lebih
besar pengaruhnya," katanya. Ditambahkan bahwa ketergantungan
terhadap obat bius merupakan penyakit gangguan yang mudah kambuh
(chronica relapsing disorder), seperti halnya sakit jantung
atau asma. Mudah kambuh kembali, karena selain rasa ketagihan
yang sangat untuk mencoba lagi, pecandu narkotik hampir selalu
disertai dengan penyimpangan tingkah laku akibat cara hidup yang
acak-acakan.
Penderita, menurut Erwin, tak jarang pula yang mengidap Jenis
penyakit lain sepertl gangguan liver atau sipilis. Jarum suntik
yang tidak steril, tambah Erwin lagi, bisa menimbulkan infeksi.
Sedangkan, bubuk morfin yang kurang steril bisa mengakibatkan
abses atau sakit pada liver.
Stonny, bukan nama sebenarnya, misalnya, pemuda ceking, kumal,
dan berambut gondrong. Boleh dibilang, morfinis asal Surabaya
yang masih aktif ini seorang pecandu narkotik yang komplet.
Bayangkan: ia pernah mencoba segala macarn "barang". Berbagai
jenis pil, pernah ia coba. Di antaranya MX, rohypnol (yang
terkenal dengan istilah kancing), yellow max, LSD sampai pil
untuk anjing. Jamur tahi sapi (mushroom), yang diceplok dengan
telur, bukan pula barang asing. Juga biji kecubung - yang
ditumbuk dan dicampur dengan kopi - pernah ia coba. Namun, ia
segera kapok, sebab sesaat setelah minum kopi kecubung, dunia
seolah terbalik.
Tapi, katanya, kini ia mulai bisa mengerem diri untuk hanya
mencicipi morfin sebulan sekali dan menelan pil penenang tiap
tiga jam. Adapun ganja, hanya sebagai selingan saja, sedangkan
wiski, "cukup dua tenggak sehari." Hasilnya: pipi kempot meski
baru berusia 30 tahun, rambut rontok, dan berat 44 kilo -
padahal tingginya 160 cm. Yang lebih tragis: ia tak tahu lagi
bagaimana merencanakan hari depannya.
Stonny bukannya tak pernah berobat. Tapi, apa mau dikata, mudah
sekali ia terseret pada kebiasaan lama. Lagi pula, tampaknya ia
belum betul-betul kepingin meninggalkan dunianya. Padahal,
menurut dr. Erwin, motivasi yang kuat merupakan syarat mutlak
dalam proses penyembuhan.
Anang Syah dari PRI Cibeureum pun melibatkan pihak keluarga
korban. Orangtua misalnya, diberitahu kebiasaan-kebiasaan apa
yang harus diubah, termasuk lingkungan pergaulan yang harus
diperbaharui. Istilahnya: perlu perbaikan menyeluruh.
Masalahnya, memang, ketergantungan terhadap obat bius,
tampaknya, lebih banyak faktor psikisnya yang mesti dibenahi.
Dan itu tidak gampang. Dari 179 remaja yang dibina Anang tahun
lalu, 18 di antaranya kembali lagi untuk dibina ulang.
Dokter Tony Setiabudhi, psikiater yang banyak menaruh perhatian
terhadap masalah korban narkotik, sependapat bahwa zikir bisa
untuk pengobatan, sama halya dengan cara spiritual lain, scperti
meditasi atau yoga. Namun, katanya, cara itu hanya tepat bagi
penderita yang belum gawat atau mereka yang sudah semu sembuh.
Yaitu penderita yang pernah berobat, tapi belum benar- benar
sembuh. "Kalau pecandu kelas berat langsung disuruh setop, dia
bisa mati," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo