Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kalkun dingin di singapura

Hukum mati bagi pecandu narkotik. pemberantasan tak kepalang tanggung, dibawah sandi operation ferret, ribuan pengedar ditangkap. (krim)

24 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pemuda putus sekolah meringkuk di penjara gara- gara ketahuan memiliki 30 gram morfin. Pemuda itu berasal dari keluarga baik, dan dalam daftar kepolisian tak dikenal sebagai pengedar narkotik. Maka, dengan segala jalan, orangtua sang pemuda memohon pada yang berwajib agar putranya diberi keringanan hukuman. Namun, apa pun usaha ayah-ibunya, pemerintah tetap pada putusannya: pemuda itu harus dihukum mati. Itu terjadi di Singapura, di republik kecil dengan penduduk 2,4 juta. Bersama dengan pemuda itu, ada tujuh orang lagi yang kini tengah menunggu pelaksanaan hukuman mati. "Peristiwa ltu memang menyedihkan. Tapi apa boleh buat," kata seorang pejabat Biro Pusat Narkotik di Singapura kepada TEMPO baru-baru ini. Pemberantasan narkotik di Singapura memang tak kepalang tanggung. Barang siapa yang ketahuan memiliki 30 gram morfin, atau 15 gram heroin, otomatis disamakan dengan pengedar narkotik (drug traffickers). Dan pengedar narkotik yang sudah dihukum mati berjumlah 12 orang. Begitukah putusan pengadilan di Singapura? "Penanggulangan narkotik di Singapura tak dilakukan melalui pengadilan, tapi merupakan wewenang kementerian dalam negeri," kata Poh Geok Ek, direktur Biro Pusat Narkotik (Central Narcotics Bureau). Sama halnya dengan kepolisian, CNB bernaung di bawah menteri negara urusan hukum dan dalam negeri, Prof. S. Jayakumar. Jayakumar, 44 tahun, tadinya dekan Fakultas Hukum Universitas Singapura, percaya perlu ada tindakan drastis untuk memberantas narkotik. Tindakan yang menakutkan itu dimulai pertengahan 1975, ketika Jayakumar masih dekan. "Yang kami hadapi ketika itu bukan saja meningkatnya pengisap ganja, tapi menjalarnya perdagangan heroin," kata direktur CNB yang berkaca mata itu. CNB sendiri sudah didirikan pada November 1971. Namun, badan yang menggunakan metode operasi Biro Khusus (Special Branch) itu baru benar-benar bergerak ketika penggunaan heroin sudah dipandang sebagai suatu epidemi. Tak kurang dari 5.682 pemilik heroin ditangkap pada 1976. CNB menaksir ada 13.000 penduduk Singapura yang di awal 1977 kecanduan heroin. Alhasil, I April tahun itu juga, tibalah saat yang menakutkan itu. Di bawah nama sandi Operation Ferret, ribuan pengedar dan konsumen narkotik ditankap, dan langsung dijebloskan ke penjara. Yang masih bisa diobati mereka tampung dalam Pusat Rehabilitasi Narkotik (Drug Rehabilitation Centres), yang terpencar di enam tempat, dan bisa dihuni 6.000 orang. Dalam setiap kompleks DRC, mereka dirikan perbengkelan, lapangan untuk latihan fisik dan sel-sel untuk pengobatan cold turkey: mengasingkan para pecandu itu selama seminggu di dalam sel. Cara ini mereka akui menyakitkan, karena si pecandu yang biasa mengisap atau menyuntikkan narkotik ke tubuhnya sama sekali tak diberi obat penenang, sebagaimana lazimnya dilakukan banyak negara. Konon cara cold turkey("kalkun dingin") membuat pecandu menggigil kedinginan, menggeliat kesakitan, dan membentur-benturkan tubuhnya ke dinding. Tapi cara drastis itulah yang dipandang berhasil di Singapura. "Tak ada yang mati selama cold turkey, karena yang dianggap tak sehat tidak dimasukkan ke situ," kata pihak CNB. Setelah lepas masa cold turkey, mereka bisa memasuki tahap orientasi, dan indoktrinasi, juga masing-masing seminggu. Maka mulailah saat latihan fisik di minggu keempat, berlangsung hingga minggu ke dua belas. Dan yang paling menarik adalah ketika penghuni DRC ltu, umumnya anak muda memasuki tahap program kerja. Di salah satu DRC di kawasan Changi, para pemuda itu dilatih membuat transistor, tempat tidur besi, dan kerja terampil lain. "Setiap hari mereka bisa membuat 500 tempat tidur, dan umumnya kami ekspor ke Arab Saudi," kata seorang penjaga di salah satu bengkel Selarang Park DRC, Changi. Hanya mengenakan celana pendek, berambut crew-cut, para pemuda itu kelihatan sehat. Beberapa di antara mereka menghiasi badannya dengan tato. Mereka juga mendapat gaji, mengingat pekerjaan yang mereka lakukan merupakan kerja sama antara pemerintah dan perusahaan swasta. Masa rehabilitasi itu paling lama berlangsung 2 1/2 tahun. Setelah itu, mereka boleh bekerja di luar, tapi harus menginap di DRC selama enam bulan. Lepas periode itu, bebaslah mereka. "Tapi kami tetap melakukan pengawasan selama dua tahun lagi", kata Poh Geok Ek. Lima tahun setelah Operasi Ferret, tingkat narkotik yang dikategorikan sebagai "kejahatan" itu ternyata masih ada, sekalipun harus diakui, turun secara menyolok. Misalnya, yang masuk ke DRC setiap bulan turun dari 570 menjadi 170. Juga jumlah pecandu baru yang ketahuan merosot dari 573 menjadi hanya 42 setiap bulan. "Mereka umumnya terdiri dari keluarga yang retak dan yang putus sekolah", kata seorang pejabat. Singapura memang bukan surga bagi pedagang narkotik. Salah seorang, yang tadinya dikenal sebagai raja narkotik, sudah sembilan tahun tinggal dalam penjara, dan tak diketahui kapan bebas. Orang itu, demikian menurut pihak CBN, dikenal sebagai pengusaha tanah dan bangunan, dan pemilik kapal. Dan sang pengusaha, yang tak bisa menikmati kekayaannya, juga tak berhak mendapat peradilan hukum sebagai warga negara Singapura. Dia, sebagaimana pengedar morfin lain, kalaupun kelak dibebaskan, akan dicabut paspornya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus