Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG pemuda putus sekolah meringkuk di penjara gara- gara
ketahuan memiliki 30 gram morfin. Pemuda itu berasal dari
keluarga baik, dan dalam daftar kepolisian tak dikenal sebagai
pengedar narkotik. Maka, dengan segala jalan, orangtua sang
pemuda memohon pada yang berwajib agar putranya diberi
keringanan hukuman. Namun, apa pun usaha ayah-ibunya, pemerintah
tetap pada putusannya: pemuda itu harus dihukum mati.
Itu terjadi di Singapura, di republik kecil dengan penduduk 2,4
juta. Bersama dengan pemuda itu, ada tujuh orang lagi yang kini
tengah menunggu pelaksanaan hukuman mati. "Peristiwa ltu memang
menyedihkan. Tapi apa boleh buat," kata seorang pejabat Biro
Pusat Narkotik di Singapura kepada TEMPO baru-baru ini.
Pemberantasan narkotik di Singapura memang tak kepalang
tanggung. Barang siapa yang ketahuan memiliki 30 gram morfin,
atau 15 gram heroin, otomatis disamakan dengan pengedar narkotik
(drug traffickers). Dan pengedar narkotik yang sudah dihukum
mati berjumlah 12 orang.
Begitukah putusan pengadilan di Singapura? "Penanggulangan
narkotik di Singapura tak dilakukan melalui pengadilan, tapi
merupakan wewenang kementerian dalam negeri," kata Poh Geok Ek,
direktur Biro Pusat Narkotik (Central Narcotics Bureau). Sama
halnya dengan kepolisian, CNB bernaung di bawah menteri negara
urusan hukum dan dalam negeri, Prof. S. Jayakumar.
Jayakumar, 44 tahun, tadinya dekan Fakultas Hukum Universitas
Singapura, percaya perlu ada tindakan drastis untuk memberantas
narkotik. Tindakan yang menakutkan itu dimulai pertengahan 1975,
ketika Jayakumar masih dekan. "Yang kami hadapi ketika itu bukan
saja meningkatnya pengisap ganja, tapi menjalarnya perdagangan
heroin," kata direktur CNB yang berkaca mata itu. CNB sendiri
sudah didirikan pada November 1971. Namun, badan yang
menggunakan metode operasi Biro Khusus (Special Branch) itu baru
benar-benar bergerak ketika penggunaan heroin sudah dipandang
sebagai suatu epidemi. Tak kurang dari 5.682 pemilik heroin
ditangkap pada 1976. CNB menaksir ada 13.000 penduduk Singapura
yang di awal 1977 kecanduan heroin.
Alhasil, I April tahun itu juga, tibalah saat yang menakutkan
itu. Di bawah nama sandi Operation Ferret, ribuan pengedar dan
konsumen narkotik ditankap, dan langsung dijebloskan ke
penjara.
Yang masih bisa diobati mereka tampung dalam Pusat Rehabilitasi
Narkotik (Drug Rehabilitation Centres), yang terpencar di enam
tempat, dan bisa dihuni 6.000 orang.
Dalam setiap kompleks DRC, mereka dirikan perbengkelan, lapangan
untuk latihan fisik dan sel-sel untuk pengobatan cold turkey:
mengasingkan para pecandu itu selama seminggu di dalam sel. Cara
ini mereka akui menyakitkan, karena si pecandu yang biasa
mengisap atau menyuntikkan narkotik ke tubuhnya sama sekali tak
diberi obat penenang, sebagaimana lazimnya dilakukan banyak
negara.
Konon cara cold turkey("kalkun dingin") membuat pecandu
menggigil kedinginan, menggeliat kesakitan, dan
membentur-benturkan tubuhnya ke dinding. Tapi cara drastis
itulah yang dipandang berhasil di Singapura. "Tak ada yang mati
selama cold turkey, karena yang dianggap tak sehat tidak
dimasukkan ke situ," kata pihak CNB.
Setelah lepas masa cold turkey, mereka bisa memasuki tahap
orientasi, dan indoktrinasi, juga masing-masing seminggu. Maka
mulailah saat latihan fisik di minggu keempat, berlangsung
hingga minggu ke dua belas. Dan yang paling menarik adalah
ketika penghuni DRC ltu, umumnya anak muda memasuki tahap
program kerja. Di salah satu DRC di kawasan Changi, para pemuda
itu dilatih membuat transistor, tempat tidur besi, dan kerja
terampil lain. "Setiap hari mereka bisa membuat 500 tempat
tidur, dan umumnya kami ekspor ke Arab Saudi," kata seorang
penjaga di salah satu bengkel Selarang Park DRC, Changi.
Hanya mengenakan celana pendek, berambut crew-cut, para pemuda
itu kelihatan sehat. Beberapa di antara mereka menghiasi
badannya dengan tato. Mereka juga mendapat gaji, mengingat
pekerjaan yang mereka lakukan merupakan kerja sama antara
pemerintah dan perusahaan swasta. Masa rehabilitasi itu paling
lama berlangsung 2 1/2 tahun.
Setelah itu, mereka boleh bekerja di luar, tapi harus menginap
di DRC selama enam bulan. Lepas periode itu, bebaslah mereka.
"Tapi kami tetap melakukan pengawasan selama dua tahun lagi",
kata Poh Geok Ek.
Lima tahun setelah Operasi Ferret, tingkat narkotik yang
dikategorikan sebagai "kejahatan" itu ternyata masih ada,
sekalipun harus diakui, turun secara menyolok. Misalnya, yang
masuk ke DRC setiap bulan turun dari 570 menjadi 170. Juga
jumlah pecandu baru yang ketahuan merosot dari 573 menjadi hanya
42 setiap bulan. "Mereka umumnya terdiri dari keluarga yang
retak dan yang putus sekolah", kata seorang pejabat.
Singapura memang bukan surga bagi pedagang narkotik. Salah
seorang, yang tadinya dikenal sebagai raja narkotik, sudah
sembilan tahun tinggal dalam penjara, dan tak diketahui kapan
bebas. Orang itu, demikian menurut pihak CBN, dikenal sebagai
pengusaha tanah dan bangunan, dan pemilik kapal. Dan sang
pengusaha, yang tak bisa menikmati kekayaannya, juga tak berhak
mendapat peradilan hukum sebagai warga negara Singapura. Dia,
sebagaimana pengedar morfin lain, kalaupun kelak dibebaskan,
akan dicabut paspornya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo