Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo

BRIN Buka Peluang Kerja Sama Riset dengan Lembaga Independen

BRIN tengah mencari cara melembagakan bentuk kerja sama dengan LRI seperti yang telah dilakukan dengan sejumlah universitas.

21 Februari 2022 | 12.31 WIB

Diskusi online KSIxChange#40: Potensi Kerja Sama Antar Lembaga Riset dengan Pengambil Kebijakan untuk Mendorong Proses Penyusunan Kebijakan Berbasis Bukti dan Inklusif yang disiarkan secara daring, Kamis (20/1)
Perbesar
Diskusi online KSIxChange#40: Potensi Kerja Sama Antar Lembaga Riset dengan Pengambil Kebijakan untuk Mendorong Proses Penyusunan Kebijakan Berbasis Bukti dan Inklusif yang disiarkan secara daring, Kamis (20/1)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

INFO NASIONAL – Lembaga riset independen (LRI) merupakan salah satu aktor penting untuk memproduksi pengetahuan berbasis bukti yang dapat mendorong terciptanya kebijakan inklusif. Karena itu, negara bertanggung jawab untuk menghidupkan lembaga riset agar tidak tergantung pada dana asing dalam melakukan penelitian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Demikian pendapat Ahmad Najib Burhani, Plt. Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) saat berbicara dalam webinar KSIxChange#40: Potensi Kerja Sama Antar Lembaga Riset dengan Pengambil Kebijakan untuk Mendorong Proses Penyusunan Kebijakan Berbasis Bukti dan Inklusif, Kamis, 20 Januari 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbagai LRI maupun lembaga swadaya masyarakat membutuhkan dana dalam melaksanakan kerja sosial. Kerap kali, sokongan dana dari lembaga-lembaga di luar negeri menjadi ‘bahan bakar’ terciptanya hasil riset. Najib mengakui, BRIN sebagi lembaga riset milik pemerintah tidak bisa mencakup semua riset di sektor ilmu sosial humaniora. “Mungkin kami hanya bisa 40 persen. Jadi, kolaborasi dengan LRI menjadi penting,” ujarnya.

Karena itu, BRIN tengah mencari cara melembagakan bentuk kerja sama dengan LRI seperti yang telah dilakukan dengan sejumlah universitas. “Banyak pola untuk melembagakan. Kalau dengan pihak kampus ada MoU (perjanjian kesepakatan). Cara lainnya yakni melalui pendanaan,” kata Najib.

BRIN telah beberapa kali menggelar program dengan mengucurkan dana penelitian kepada dosen dan mahasiswa. Ada pula kesempatan untuk peneliti untuk bergabung dalam sejumlah program seperti Program Research Asistant, Program Visiting Researcher, dan Program Bantuan Talenta Riset dan Inovasi.

Pada program-program tersebut, biasanya para dosen diminta mengirimkan proposal penelitian serta syarat administratif lainnya. BRIN akan memilih proposal terbaik untuk mendapat pendanaan. Pola seperti ini dapat pula diterapkan dalam kerja sama antara BRIN dengan LRI. “Jadi, kita sebenarnya open, semua boleh berkompetisi untuk terlibat di dalamnya,” ucap Najib.

Sekretaris Lembaga, SMERU Research Institute, Heni Kurniasih, mengapresiasi tawaran BRIN untuk berkolaborasi. Selama ini, SMERU telah banyak memproduksi pengetahuan sekaligus mengadvokasi hasil riset tersebut kepada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Hasil riset yang dilakukan SMERU biasanya menjadi rekomendasi kebijakan. Pada proses advokasi, SMERU melakukannya melalui forum pembangunan daerah (formal) maupun pendekatan kepada aktor-aktor dalam produsen kebijakan (informal). Sementara pada lapisan masyarakat terdampak, SMERU akan melakukan pelatihan dan konsultasi, serta mempublikasikan hasil riset dalam bentuk jurnal, media sosial, dan webinar. “Kami biasanya melakukan audiensi dengan pembuat kebijakan,” ucap Heni.

Husni Mubarok, Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, siap menyambut bentuk kerja sama yang ditawarkan BRIN. “Teknis kolaborasi seperti apa nanti, kami masih wait and see, yang penting produk pengetahuan bisa maju sehingga bisa jadi pertimbangan di kementerian dan lembaga untuk memproduksi kebijakan yang inklusif,” katanya.

Selama ini PUSAD Paramadina berfokus pada perspektif kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI) di sektor kerukunan umat beragama di Indonesia. Kasus yang diteliti terkait pendirian rumah ibadah. Menurut Husni, kendati perundangan telah mengaturnya dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) 2006, namun implementasi di lapangan belum sesuai.

Karena itu, misi PUSAD Paramadina bukan sekadar memproduksi riset yang akan membantu terciptanya kebijakan inklusif, tetapi ikut mengawasi implementasi dari peraturan yang berlaku. “Penelitian untuk menuju terciptanaya kebijakan sebenarnya tidak bisa berhenti di siklus itu.Ada yang juga penting yakni implementasi setelah kebijakan. Kami akan tetap memantau bagaimana cara kerja sebuah imlementasi. Berharap pada kebijakan saja tidak cukup. Kebijakan yang bagus saja kadang-kadang terpagari oleh kondisi sosial di masyarakat,” kata Husni. (*)

Prodik Digital

Prodik Digital

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus