Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank Indonesia tampak kurang optimistis menghadapi perekonomian nasional. Setelah sebelumnya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2015 sebesar 5,4-5,8 persen, otoritas moneter itu lantas merevisinya menjadi 5,1 persen. (Tempo.co, 28 Mei 2015)
Bank Indonesia mempertimbangkan pertumbuhan negara-negara lain yang juga sedang melambat akibat tertekannya harga komoditas, pelemahan nilai rupiah, serta rendahnya harga minyak mentah dunia. Namun, yang perlu jadi catatan adalah rendahnya realisasi konsumsi dan belanja modal pemerintah.
Pada triwulan pertama tahun ini, bank sentral mencatat pertumbuhan sebesar 4,7 persen. Meski demikian, BI yakin angka ini bakal meningkat di kuartal kedua lantaran kinerja ekspor yang mulai tumbuh positif dan proyek-proyek infrastruktur pemerintah yang mulai berjalan. Selain itu, bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri dipastikan akan mendongkrak geliat ekonomi.
Di lain pihak, masyarakat ternyata kurang bergairah merespons ekonomi bangsa. Berdasarkan survei yang dilakukan PT Mars Indonesia pada akhir Mei 2015 untuk mendapatkan persepsi masyarakat terhadap kondisi ekonomi nasional, sebagian besar responden menganggap bahwa perekonomian nasional masih perlu perbaikan signifikan.
Sebanyak 50 persen responden menyatakan bahwa perekonomian Indonesia tahun ini lebih buruk ketimbang tahun lalu. Hanya 14,3 persen yang menganggap tahun ini lebih baik ketimbang tahun sebelumnya. Sisanya, yakni 35,7 persen, melihat ekonomi sekarang tak ada perubahan sama sekali.
Hasil survei tersebut didasarkan atas apa yang mereka alami tahun ini. Mereka merasakan pendapatan mereka tahun ini stagnan alias tidak berubah. Di lain pihak, harga-harga kebutuhan pokok, seperti sembako, bahan bakar minyak, gas, dan tarif dasar listrik membumbung tinggi.
Dari hasil survei, setidaknya ada tiga keluhan utama yang dirasakan responden, yakni kenaikan harga bahan pokok--seperti diungkapkan 91,1 persen responden, mahalnya biaya transportasi umum (63,3 persen), dan makin sulitnya melakukan usaha (27,67 persen).
Bagaimana masyarakat Indonesia menghadapi situasi demikian? Menurut survei Mars Indonesia, ada beberapa cara yang mereka lakukan untuk menyiasati keadaan, yakni membatasi pengeluaran untuk kebutuhan sekunder dan tersier, mengirit biaya transportasi, menunda perjalanan ke luar kota, mengurangi penggunaan listrik, membatasi menonton di bioskop, serta mengurangi frekuensi kunjungan ke pusat perbelanjaan atau mal.
Kala masyarakat ramai-ramai mengencangkan ikat pinggang, survei bertajuk “Consumer Confidence 2015” tersebut mengungkapkan bahwa sebagian besar responden cenderung enggan mengubah kebiasaan dalam berbelanja untuk kebutuhan hidup.
Kendati kegiatan berbelanja semakin menguras kantong, sebanyak 45,5 persen tidak mau mengganti merek ke produk yang lebih murah. Masyarakat juga tidak mengurangi pembelian bensin (68 persen), pembelian pulsa (52 persen), serta tidak membatasi penggunaan telepon seluler (50 persen).
Ketika ditanya prospek kondisi perekonomian nasional dalam enam bulan ke depan, ternyata masyarakat masih menyimpan harapan terhadap perekonomian bangsa. Hasil survei menunjukan bahwa sebagian besar, yakni 41,1 persen responden, optimistis perekonomian bakal membaik. Sisanya berpendapat tak akan ada perubahan (39,3 persen) atau malah memburuk (19,7 persen).
Masyarakat juga berharap pemerintah menurunkan harga kebutuhan bahan pokok (35,7 persen), menaikkan gaji dan meningkatkan peluang kerja (28,6 persen), menggratiskan biaya pendidikan dan kesehatan (5,4 persen), serta mengucurkan dana untuk usaha mikro (3,6 persen).
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa sebagian besar masyarakat menginginkan pemerintah melakukan intervensi agar beban yang semakin berat itu bisa mereka hadapi dengan lebih baik. Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, akan terjadi lonjakan tingkat konsumsi masyarakat dalam beberapa minggu ke depan, utamanya menjelang Hari Raya Idul Fitri. Bulan suci Ramadan rutin menjadi ajang panen bagi pelaku usaha karena masyarakat akan berbelanja lebih di luar kebiasaan.
Namun demikian, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, para pelaku retail tidak terlalu optimistis terhadap lonjakan konsumsi pada bulan puasa tahun ini, yang dalam kondisi normal dapat mencapai hingga 20 persen lebih tinggi. Yang lebih mereka khawatirkan adalah kebiasaan anjloknya penjualan pada minggu-minggu setelah Lebaran.
Nah, di sinilah diperlukan peran pemerintah. Belanja-belanja pemerintah, termasuk untuk keperluan pembangunan infrastruktur, harus dipastikan dapat digenjot agar dapat menutupi penurunan konsumsi masyarakat sampai akhir tahun 2015. Pemerintah juga harus menyiasati agar harga-harga komoditas utama dapat terjangkau dan stabil. Selain itu, perlu juga dipikirkan agar dunia usaha dapat mengatasi penurunan tingkat pendapatan usaha serta memberikan stimulus untuk kesinambungan hidup para pelaku ekonomi. Masyarakat dan pelaku usaha menunggu langkah-langkah konkret ini. Untuk selengkapnya klik di http://www.ipmi.ac.id/index/en. (*)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini