Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria renta itu terbaring lemah di bangsal ruang perawatan intensif rumah sakit Bastion Role 3, Kamp Leatherneck, Provinsi Helmand, Afganistan. Hingga Kamis siang pertengahan bulan lalu, masker oksigen masih menempel di hidung dan mulutnya. Jarum infus menancap di lengannya yang lunglai. Luka berdarah memenuhi sekujur tubuhnya. Sesekali ia merintih lirih.
Seorang pria yang menyembunyikan bom di dadanya meledakkan diri di jembatan yang sedang dibangun di Pasar Kajaki Sofla, Distrik Kajaki, sehari sebelumnya. Tiga polisi Afganistan dan sepuluh warga sipil tewas, sementara sepuluh lainnya—termasuk pria malang di ranjang rumah sakit itu—terluka dalam ledakan tersebut.
Sudah sepuluh tahun pasukan Amerika Serikat dan sekutunya bercokol di Afganistan, tapi negeri yang dikelilingi pegunungan Hindu Kush itu masih merupakan ladang pembantaian. Pekan lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan 3.021 orang tewas dalam perang di Afganistan sepanjang 2011.
Ini jumlah korban terbanyak dalam lima tahun terakhir, meningkat lebih dari delapan persen dari tahun sebelumnya (2.777 orang). Termasuk 410 orang sipil yang tewas di tangan pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan pasukan keamanan Afganistan. Laporan itu menyatakan dua pertiga korban tewas disebabkan oleh bom bunuh diri.
PBB mencatat ada pergeseran lokasi kekerasan di Afganistan. Pada 2010, kekerasan banyak terjadi di kubu Taliban di wilayah selatan, yakni Provinsi Helmand dan Kandahar. Namun, sejak tahun lalu, lokasi maraknya kekerasan bergeser ke arah tenggara (Provinsi Khost dan Paktika) dan timur (Kunar dan Nangarhar). Semua provinsi itu berada di wilayah yang berbatasan dengan Pakistan, yang selama ini diyaÂkini menjadi basis banyak pemimpin Taliban dan jaringan militan Pakistan, Haqqani, yang bersekutu dengan Al-Qaidah.
Dalam dokumen itu, PBB menyatakan 77 persen korban tewas oleh serangan Taliban dan kelompok pemberontak lain. Semua ini menggambarkan betapa kekuatan Taliban dan kelompok militan masih mencengkeram kuat negeri itu.
Amerika dan sekutunya juga kerepotan menghadapi panglima perang yang menguasai wilayah suku-suku. Sebelumnya, mereka adalah pejuang bebas selama pendudukan Uni Soviet dan menjadi sekutu Amerika untuk memerangi Taliban dan Al-Qaidah. Namun sekarang mereka menjalankan bisnis penyedia jasa pengamanan bagi Amerika dan sekutunya.
Ada lebih dari 200 panglima perang di Afganistan, yang masing-masing mengusung milisinya sendiri. Pada 2002, PBB menempatkan mereka di bawah pemerintahan Presiden Hamid Karzai. Pada 2005, lembaga di bawah Angkatan Darat Amerika, Institut Studi Strategis (SSI), melaporkan pada awal pemerintahannya Karzai memproklamasikan panglima perang dan milisinya sebagai ancaman terbesar bagi Afganistan, lebih besar daripada Taliban.
Laporan itu menyebutkan pemerintah gagal melucuti senjata mereka. Bahkan upaya melacak seberapa besar kekuatan milisi itu tak membuahkan hasil. "Upaya menihilkan panglima perang justru dapat memicu pemberontakan di seluruh Afganistan," demikian bunyi laporan itu.
Untuk menguasai mereka, Amerika mulai menyewa para panglima perang itu buat mengawal konvoi perbekalan. Menurut Pusat Informasi Operasi Stabilitas Kandahar, para panglima perang itu kini tak ubahnya perusahaan penyedia jasa pengamanan belaka. Menurut Komite Urusan Persenjataan Senat Amerika, perebutan kontrak di antara mereka kerap berakhir dengan kekerasan.
Menurut laporan itu, ada tingkatan panglima perang di Afganistan; yang paling tinggi adalah bekas komandan perang, kepala suku yang populer, dan penyedia jasa pengamanan. Mereka inilah yang memunculkan mafia yang korup. "Mayoritas uang yang seharusnya sampai ke tangan warga Afganistan jatuh ke tangan para panglima perang," kata saudara lelaki Presiden Karzai, Qayum Karzai.
Saat ini orang terkuat di wilayah selatan Afganistan yang kering bukanlah gubernur, kepala polisi, atau komandan tentara, melainkan Matiullah Khan. Dalam waktu kurang dari dua tahun, bekas komandan patroli jalan raya yang buta huruf ini tumbuh lebih kuat daripada Pemerintah Provinsi Oruzgan.
Matiullah mengklaim Oruzgan dulu merupakan tempat paling berbahaya dan kini menjadi tempat paling aman di Afganistan. "Apa yang harus kami lakukan? Para pejabat itu pengecut dan pencuri," katanya.
Tugas utama Matiullah adalah mengamankan jalan raya yang menghubungkan Kandahar dan Tirin Kot. Satu hari dalam sepekan ia membuka jalan raya sepanjang 160,9 kilometer itu dan menerjunkan serdadu untuk menjaga jalan tersebut. Ia memasang tarif US$ 1.200 atau sekitar Rp 10,7 juta untuk truk kargo dan US$ 800 atau Rp 7,1 juta untuk truk lebih kecil. Penghasilannya tak kurang dari US$ 2,5 juta atau setara dengan Rp 22,37 miliar sebulan.
"Melewati jalan ini tanpa orang-orang Matiullah sama dengan bunuh diri," ujar Mohammed, sopir truk yang mengangkut tumpukan karung berisi pasir dan perlengkapan penerangan ke pangkalan Belanda di Tirin Kot. Komandan NATO di Afganistan selatan, Mayor Jenderal Nick Carter, mengatakan institusi pemerintah tak mampu menjaga keamanan wilayahnya sehingga diambil alih panglima perang. "Situasi ini tak bisa terus bertahan dan perlu dipecahkan."
Sejumlah pemimpin suku mengatakan Amerika dan NATO sedang membuat liang kubur dengan menoleransi panglima perang seperti Matiullah. Mereka khawatir Amerika meninggalkan pemerintahan yang lemah dengan dukungan panglima perang yang kurang pendukung. "Suatu saat, kalau Amerika pergi, dia tidak akan bertahan," kata seorang kepala suku di Tirin Kot, ibu kota Provinsi Oruzgan, Mohammed Essa.
Panglima perang lain yang cukup disegani di Afganistan adalah bekas perdana menteri Gulbuddin Hekmatyar, 65 tahun. Ketua partai Hizb-i-Islami yang mendapat julukan "insinyur" itu adalah bekas komandan gerilyawan dalam perang melawan Uni Soviet. Amerika memberinya cap sebagai teroris karena berkaitan dengan Usamah bin Ladin.
Setelah menjadi sekutu Amerika dalam memerangi Soviet tiga dekade lalu, kini dia berbalik memerangi pasukan NATO yang dipimpin Amerika. Tak jelas berapa persen pendukung Hekmatyar yang masih bertahan setelah dia mengasingkan diri ke Iran pada 1996-2002, ketika Taliban berkuasa. Sebab, selama dia melarikan diri itu, banyak pengikutnya masuk ke pemerintahan Taliban. "Dibandingkan dengan Taliban, Hizb-i-Islami sangat lemah. Saya kira pasukannya tinggal 20 persen, sedangkan 80 persen lainnya Taliban," ujar pengamat politik di Kabul, Wahid Muzhda.
Sebagian wilayah utara dikuasai pensiunan jenderal Abdul Rashid Dostum. Meski dia sudah pensiun, pengaruhnya masih kuat. Ia mencalonkan diri dalam pemilihan presiden 2004, tapi kalah oleh Karzai. Ia meraih sepuluh persen suara, tapi popularitasnya naik.
Panglima perang lain yang memiliki pengaruh luas adalah Ismail Khan, 66 tahun. Bekas Komandan Mujahidin dan Gubernur Herat ini menguasai wilayah barat Afganistan.
Sedangkan di wilayah selatan ada figur kuat Gul Agha Sherzai, yang kini menjadi Gubernur Nangarhar. Sebelumnya, ia menjabat Gubernur Kandahar pada awal 1990-an dan 2001-2003.
Amerika dan sekutunya khawatir para panglima perang akan berebut kekuasaan dengan Taliban dan di antara mereka sendiri setelah Amerika dan NATO menarik diri pada tahun depan. Kekhawatiran itu didasari isi dokumen NATO yang bocor ke media Inggris beberapa waktu lalu. Dalam dokumen "Negara Taliban" ini disebutkan para pemimpin Taliban yakin bakal kembali memimpin negeri itu.
"Pasukan NATO sudah bukan masalah, kemenangan Taliban tak dapat dielakkan," demikian isi laporan itu seperti dikutip BBC. Dokumen itu disusun setelah dilakukan interogasi terhadap 4.000 tahanan Taliban dan Al-Qaidah serta warga sipil.
Sapto Yunus (Reuters, BBC, The New York Times, Al-Jazeera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo