Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Gelandangan di Taiwan Naik, Ini Sebabnya

Jumlah gelandangan dan kesenjangan sosial di Taiwan naik karena banyak pabrik yang memindahkan operasionalnya ke Cina dan Asia Tenggara.

24 September 2018 | 08.02 WIB

Ilustrasi Gelandangan. Wikimedia/Alex Proimos
Perbesar
Ilustrasi Gelandangan. Wikimedia/Alex Proimos

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Yan Chun-Fang, 61 tahun, warga negara Taiwan, tak pernah menyangka akan menjadi seorang gelandangan. Sebelumnya dia bisa menghasilkan US$ 2 ribu atau sekitar Rp 29 juta per bulan dari pekerjaan sebagai tukang cat rumah dan gedung perkantoran. Namun pada 2017, dia di PHK karena sakit. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Tanpa tabungan, bantuan keluarga dan teman, Yan tak bisa membayar biaya sewa kontrakan sehingga terpaksa kehilangan tempat tinggal. Beruntung, dia berhasil menemukan sebuah tempat penampungan tak jauh dari bekas kediamannya dulu di New Taipe City, Taiwan. Di sana, dia terkadang menjadi relawan untuk membantu pekerjaan mencat.   

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ketakutan saya adalah saya tidak bisa bekerja. Sebab ketika Anda tidak bisa bekerja, Anda tidak punya uang untuk menjalani hidup. Jadi saya harus bekerja atau bagaimana pun saya harus mendapatkan uang,” kata Yan, seperti dikutip dari channelnewsasia.com pada Minggu, 23 September 2018. 

Yan cukup beruntung. Sebab temannya, Su Ying-Chih, sempat menghabiskan waktu tiga bulan hidup menggelandang ketika dia kehilangan pekerjaan di sebuah pabrik. Su mengatakan tak mau lagi menjalani hidup sebagai tuna wisma dengan terkatung-katung di pinggir jalan.   

“Saya tidur beralas tanah di sebuah taman dan saya tidak bisa tidur disana sebelum jam 9 malam. Pukul 5 pagi, saya sudah dibangunkan dan diminta untuk pergi,” Su, 58 tahun.

Yu dan Su sekarang menjadi penghuni sebuah tempat penampungan yang bukan hanya memberikan akomodasi, tetapi juga makanan dan bantuan perawatan kesehatan. Petugas di tempat penampungan juga membantu para penghuninya mendapatkan pekerjaan paruh waktu, seperti menjadi satpam atau petugas kebersihan sehingga mereka mendapatkan penghasilan, bahkan harapan akan tempat tinggal baru.  

Menurut Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Taiwan, sebagian besar mereka yang menjadi gelandangan adalah kelompok pekerja kerah biru atau buruh. Mereka kehilangan pekerjaan ketika pabrik-pabrik memindahkan operasional mereka ke Cina dan negara-negara di Asia Tenggara.              

Masalah tuna wisma ini telah meluas menyusul semakin lebarnya jurang kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin di Taiwan. Pada 2018, tingkat kesenjangan sosial mencapai rekor tertinggi. 

Data Kementerian Keuangan Taiwan memperlihatkan ada 5 persen masyarakat Taiwan yang mendapat penghasilan rata-rata US$ 150 ribu atau Rp 2,2 miliar per tahun. Angka ini 100 kali lipat lebih tinggi dibanding 2016 atau angka kesenjangan pendapatan yang hampir dua kali lipat dalam satu dekade terakhir.   

Naiknya harga properti dan gaji yang tidak naik di Taiwan, telah membuat kelompok masyarakat bergaji rendah terseok-seok dalam bertahan hidup. Para peneliti mengatakan pabrik-pabrik yang memindahkan operasionalnya ke Cina dan Asia Tenggara telah membuat kelompok buruh kehilangan pekerjaan dan ini adalah alasan utama naiknya kelompok masyarakat pemasukan rendah di Taiwan.

  

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus