Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hitam untuk berkabung. Hitam untuk kekejian. Hitam untuk kegelapan yang telah menimpa kita," ujar Kardinal Jaime Sin di hadapan jemaah gereja di dekat kawasan EDSA. Di luar gereja, rantai manusia merentang dari Tugu Ninoy Aquino di Ayala Avenue ke EDSA, yang berjarak sekitar 10 kilometer.
Saat malam menyelimuti langit Metro Manila, massa membengkak menjadi 50 ribu orang, meminta Presiden Estrada mundur. Dari gereja itu pula Sin pernah menyerukan imbauannya sehingga ratusan ribu orang tumpah ke jalan menghadapi tank militer loyalis Marcos pada 1986. "Pergilah ke EDSA. Bertahanlah di EDSA. Tetap waspada dan berdoa," ujar Sin. Bak sabda raja, sejarah terulang. Imbauan Sin itu telah mendorong tubuh biarawati, pastor, dan massa merapat serata tanah di kawasan EDSA seperti 15 tahun lalu. Sehari sebelum Presiden Estrada terpaksa menyingkir dari Malacanang, Sin muncul bersama Cory Aquino, Gloria Macapagal-Arroyo, dan Fidel Ramos di tengah massa di EDSA. Hasilnya, militer melepaskan dukungannya terhadap Estrada dan pintu Malacanang pun terbuka bagi Arroyo.
Kardinal Sin kembali menunjukkan karismanya. Marcos sudah merasakan tulahnya pada 1986. Bahkan, Fidel Ramos, yang bergandengan dengan Sin pada people's power I, tak tahan menghadapi tentangan duet Sin dan Cory terhadap ambisi Ramos menduduki kursi presiden untuk kedua kalinya pada 1998. Ambisi Ramos menabrak konstitusi dengan mengubah undang-undang agar presiden boleh terpilih lagi digagalkan oleh duo Kardinal Sin-Cory Aquino.
Adalah Kardinal Sin beserta rombongan mantan presiden Cory Aquino yang bersikeras meminta Presiden Estrada mundur, pada 11 Oktober tahun silam, dua hari setelah Gubernur Luis Singson menuduh Erap melahap upeti dari bandar "jueteng" dan pajak tembakau. Kelak, sikap Sin diikuti gelombang demonstrasi anti-Estrada.
Sin beserta "pasangan" duetnya, Cory Aquino, adalah simbol "penjaga moralitas politik". Selain dalam militer, Sin sangat berperan dalam perubahan politik di Filipina sehingga muncul kesan bahwa Gereja Katolik Filipina ikut berpolitik. Suatu hal yang lazimnya ditentang Vatikan secara resmi, meski sejarah telah memperlihatkan bahwa Gereja Katolik sering tak mudah melepaskan diri dari perubahan politik. Tapi, setelah semuanya berhasil, Sin kembali dengan kegiatan rutin gereja, sehingga dia sulit menyisakan waktu untuk memenuhi permintaan wawancara langsung dengan Gita W. Laksmini dari TEMPO di Manila. Untung saja Sin bersedia menjawab wawancara tertulis, yang ditutup dengan doanya untuk kedamaian dan kemajuan Indonesia. Inilah petikannya.
Bagaimana Anda melihat sosok Presiden Arroyo? Saya tidak ingat saat pertama kali bertemu (dengan Arroyo), tapi saya mengenal keluarganya sejak itu. Dia sangat menyadari bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang diinginkan rakyat. Dia mengetahui, reformasi yang sungguh-sungguh dan konkret (khususnya dalam ekonomi) dibutuhkan. Saya tidak ingin membebaninya dengan harapan yang terlalu banyak. Saya bersama sebagian besar rakyat hanya ingin dia menetapkan arah yang benar untuk negeri ini. Itu sudah cukup. Rakyat Filipina membutuhkan kesungguhan dan transparansi. Ini juga harapan rakyat terhadap pemerintahan yang baru. Saya percaya dia dapat memimpin negeri ini lebih baik. Saya percaya dia mampu menghindari kesalahan masa lalu. Bagaimana penilaian Anda terhadap pemerintahan Estrada? Jelas tidak adil menyatakan bahwa pemerintahan lama (Estrada) tidak membawa kebaikan untuk rakyat. Mungkin ya, tapi masih jauh di bawah harapan rakyat. Ini betul-betul disayangkan. (Mantan) Presiden Estrada memiliki karisma yang tak dimiliki oleh pemimpin lain sebelumnya. Dia dapat menggunakan kelebihannya untuk melakukan reformasi. Tapi, seba-liknya, dia menggunakannya untuk keuntungan pribadi. Dan lebih celaka lagi, rakyat miskin, yang begitu mengidolakannya, tidak sadar bahwa mereka ditindas dan dikorbankan oleh sistem yang sangat bersifat patronase. Sebetulnya bagaimana peran gereja bagi rakyat Filipina? Masyarakat Filipina terdiri dari sektor dan institusi yang berbeda. Sayangnya, beberapa institusi gagal memenuhi harapan rakyat. Beberapa sektor mengkhianati kepercayaan publik. Lainnya hanya mengejar kepentingan pribadi. Berdasarkan sejarah dan pengalaman, hanya Gereja Katolik-lah yang dipercaya dan teguh menuntun rakyat. Saya tak ragu mengatakan bahwa gereja di Filipina kembali menjadi benteng terakhir pembelaan terhadap rakyat. EDSA 1 dan 2 membuktikan hal ini. Sepanjang kehadiran gereja, tak ada institusi yang dapat merintangi kebaikan bersama. Tampaknya peran gereja sangat besar dalam proses perubahan politik di Filipina. Komentar Anda? Gereja secara sederhana mengisi peranan dan misinya dalam institusi masyarakat. Adapun jika muncul kebutuhan bagi gereja untuk memimpin aksi karena sebab khusus, terutama ketika yang lain gagal, gereja harus melakukannya. Apa yang telah terjadi di Filipina kan tidak hanya masalah politik, tapi juga masalah moral, antara benar dan salah, baik dan jahat. Gereja tidak dapat bersikap acuh tak acuh dan netral. Ketentuan moralitas yang harus diambil gereja adalah bersikap dan menunjukkan kepada rakyat posisi yang tepat. Transisi dan revolusi terjadi tanpa pengorbanan nyawa manusia dan harta benda. Bagi sebagian orang, kekerasan tidak dapat dihindarkan dan penyelesaian secara damai sepertinya mustahil. Tapi, tidak bagi kami orang Filipina. Kedamaian adalah anugerah kami dan pusaka bagi dunia. Keterlibatan gereja dalam beberapa kali krisis politik kan sama saja Jadi, gereja bermain dalam politik. Benarkah? Saya selalu mengatakan kepada rakyat bahwa setelah melakukan bagian kita, kita harus membiarkan Tuhan menyelesaikan sisanya. Bukan saya yang memutuskan siapa yang akan memimpin di masa depan. Itu tugas Tuhan. Saya tidak menginginkan kekuasaan politik atau kejayaan sebagaimana kritik orang luar. Gereja tidak bermimpi menggantikan pemerintah.
Bagaimana Anda melihat sosok Presiden Arroyo? Saya tidak ingat saat pertama kali bertemu (dengan Arroyo), tapi saya mengenal keluarganya sejak itu. Dia sangat menyadari bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang diinginkan rakyat. Dia mengetahui, reformasi yang sungguh-sungguh dan konkret (khususnya dalam ekonomi) dibutuhkan. Saya tidak ingin membebaninya dengan harapan yang terlalu banyak. Saya bersama sebagian besar rakyat hanya ingin dia menetapkan arah yang benar untuk negeri ini. Itu sudah cukup. Rakyat Filipina membutuhkan kesungguhan dan transparansi. Ini juga harapan rakyat terhadap pemerintahan yang baru. Saya percaya dia dapat memimpin negeri ini lebih baik. Saya percaya dia mampu menghindari kesalahan masa lalu. Bagaimana penilaian Anda terhadap pemerintahan Estrada? Jelas tidak adil menyatakan bahwa pemerintahan lama (Estrada) tidak membawa kebaikan untuk rakyat. Mungkin ya, tapi masih jauh di bawah harapan rakyat. Ini betul-betul disayangkan. (Mantan) Presiden Estrada memiliki karisma yang tak dimiliki oleh pemimpin lain sebelumnya. Dia dapat menggunakan kelebihannya untuk melakukan reformasi. Tapi, seba-liknya, dia menggunakannya untuk keuntungan pribadi. Dan lebih celaka lagi, rakyat miskin, yang begitu mengidolakannya, tidak sadar bahwa mereka ditindas dan dikorbankan oleh sistem yang sangat bersifat patronase. Sebetulnya bagaimana peran gereja bagi rakyat Filipina? Masyarakat Filipina terdiri dari sektor dan institusi yang berbeda. Sayangnya, beberapa institusi gagal memenuhi harapan rakyat. Beberapa sektor mengkhianati kepercayaan publik. Lainnya hanya mengejar kepentingan pribadi. Berdasarkan sejarah dan pengalaman, hanya Gereja Katolik-lah yang dipercaya dan teguh menuntun rakyat. Saya tak ragu mengatakan bahwa gereja di Filipina kembali menjadi benteng terakhir pembelaan terhadap rakyat. EDSA 1 dan 2 membuktikan hal ini. Sepanjang kehadiran gereja, tak ada institusi yang dapat merintangi kebaikan bersama. Tampaknya peran gereja sangat besar dalam proses perubahan politik di Filipina. Komentar Anda? Gereja secara sederhana mengisi peranan dan misinya dalam institusi masyarakat. Adapun jika muncul kebutuhan bagi gereja untuk memimpin aksi karena sebab khusus, terutama ketika yang lain gagal, gereja harus melakukannya. Apa yang telah terjadi di Filipina kan tidak hanya masalah politik, tapi juga masalah moral, antara benar dan salah, baik dan jahat. Gereja tidak dapat bersikap acuh tak acuh dan netral. Ketentuan moralitas yang harus diambil gereja adalah bersikap dan menunjukkan kepada rakyat posisi yang tepat. Transisi dan revolusi terjadi tanpa pengorbanan nyawa manusia dan harta benda. Bagi sebagian orang, kekerasan tidak dapat dihindarkan dan penyelesaian secara damai sepertinya mustahil. Tapi, tidak bagi kami orang Filipina. Kedamaian adalah anugerah kami dan pusaka bagi dunia. Keterlibatan gereja dalam beberapa kali krisis politik kan sama saja Jadi, gereja bermain dalam politik. Benarkah? Saya selalu mengatakan kepada rakyat bahwa setelah melakukan bagian kita, kita harus membiarkan Tuhan menyelesaikan sisanya. Bukan saya yang memutuskan siapa yang akan memimpin di masa depan. Itu tugas Tuhan. Saya tidak menginginkan kekuasaan politik atau kejayaan sebagaimana kritik orang luar. Gereja tidak bermimpi menggantikan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo