Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sunyi. Israel tak memperlihatkan dirinya sebagai negeri yang tengah menghadapi pemilu. Meski media internasional penuh ingar-bingar isu pemilu Israel, negeri itu tampak lesu darah. Puluhan ribu lembar pamflet masih menumpuk di kantor cabang partai peserta pemilu; tak ada acara gelar massa yang heboh, yang menjadi ciri khas berlangsungnya pemilu. Bahkan, saking sepinya, seorang menteri yang seharusnya berkampanye di Karmiel harus menelan malu karena begitu sedikitnya massa yang mendatangi dan mau mendengarkan jualannya tentang Ehud Barak. Panitia lokal, yang menjanjikan bisa mendatangkan 200 orang, ternyata hanya mampu mendatangkan tiga orang.
Begitu banyak warga Israel di luar negeri yang menyatakan tidak akan pulang ke Israel untuk memilih. "Menurut saya, pemilu bukanlah cara untuk menyelesaikan masalah dalam negeri," ujar Ella Teneboim, seorang warga Israel yang bertempat tinggal di Singapura. Adapun Gil Sadeh, 29 tahun, mahasiswa Israel yang menempuh pendidikan di School of Oriental and African Studies di London, juga memastikan tidak pulang kampung. Dia akan pulang sebulan kemudian untuk liburan. "Harga tiket pesawat cukup mahal untuk pulang dan hanya memilih," ujarnya kepada TEMPO melalui sambungan internasional. Dia mengacu, pemilu bisa berlangsung setahun lagi atau lebih.
Sunyi senyapnya pemilu Israel kali ini bukannya tidak beralasan. Selain dianggap tidak begitu penting, ada alasan lain yang jauh lebih mengerikan. Hubungan Israel dan Palestina mengalami penurunan yang tajam dalam proses perundingan damainya. Selain itu, kondisi keamanan yang terus merosot membuat prihatin masyarakat kedua belah pihak. Bahkan, pekan lalu, ada tiga orang Palestina dan dua orang Israel yang tewas dalam aksi kekerasan.
Lebih buruk lagi, Ariel Sharon, pemimpin Partai Likud yang kontroversial itu, tampaknya akan menang. Masa depan untuk hidup yang damai tampaknya semakin jauh. Menurut hasil jajak pendapat oleh Smith Institute, Ariel Sharon mengantongi 50 persen suara, sementara Ehud Barak hanya beroleh 30 persen suara.
Menurut Gil Sadeh, hal ini disebabkan rakyat Israel marah kepada Barak. Sebelumnya mereka mendukung Barak karena dia menjanjikan terciptanya perdamaian. Namun, faktanya, yang terjadi adalah eskalasi kekerasan yang menewaskan sekitar 380 orang, yang kebanyakan terdiri dari orang Palestina. Bagi warga Israel, ancaman terhadap keamanan mereka juga menurun. Sharon yang keras terhadap Palestina menjadi pilihan. "Padahal, menurut saya, logikanya tidak begitu," ujar Sadeh. Menurut dia, jika Sharon terpilih, kekerasan justru akan terus meningkat, karena Sharon cenderung memilih jalan keras.
Namun, tampaknya Gil Sadeh tidak mewakili suara mayoritas di Israel. "Sebenarnya saya sudah menyetujui orang Palestina harus mendapatkan hak-hak mereka," ujar Nadav Amitai dari Metulla, dekat perbatasan dengan Lebanon. Dengan demikian, jika memang Sharon terpilih, suasana Timur Tengah semakin panas. Apalagi partai Arab Israel berseru untuk tidak memilih dalam pemilu ini.
"Sikap Sharon yang tidak pernah lunak terhadap bangsa Palestina tentu akan berdampak negatif terhadap usaha perdamaian," kata Prof. Dr. Mursyi Athoullah, ahli Timur Tengah yang tinggal di Mesir. Dia juga menyitir pernyataan Menteri Luar Negeri Israel, Shlomo Ben-Ami. Menurut Ben-Ami, jika Sharon terpilih, Israel akan menjadi Yugoslavia di bawah Milosevic.
Siapa sebenarnya Sharon, 72 tahun, yang begitu kontroversial ini? Pengalaman militer pertama Sharon saat dia ikut perang bawah tanah kelompok Haganah, kelompok Zionis terbesar yang ikut berperang untuk menguasai Palestina pada 1948. Pada tahun 1950-an, dia menjadi mayor dan membentuk kelompok elite "antiteroris". Mereka beroperasi tanpa seragam, yang lazim menyebar teror dan intimidasi di kamp-kamp dan perkampungan pengungsi.
Adalah Sharon yang menjadi otak serangan ke Yordania pada 1953. Pasukannya menyembelih 69 warga sipil di perkampungan Qibia. Sejarah paling hitam dalam hidup Sharon adalah kejahatannya dalam pembantaian warga sipil di Sabra dan Shatila, di Lebanon, pada 1982. Pada 5 Juni 1982, puluhan ribu tentara Israel tumpah-ruah ke Lebanon. Serangan dari darat, udara, dan laut terus dilancarkan oleh pasukan Israel. Kamp-kamp pengungsi Palestina di Tyre dan Sidon luluh-lantak. Serangan tersebut menyebabkan sekitar setengah juta orang menjadi gelandangan. Dan, seminggu kemudian, pasukan Israel menyerbu Beirut, yang dianggap menjadi tempat persembunyian warga Palestina dan perlawanan Lebanon. Pada akhir Juni, tercatat 14 ribu penduduk tewas, 90 persennya adalah warga sipil. Tiga bulan kemudian, pasukan Israel menyerbu Shatila dan dilanjutkan Beirut, yang diperkirakan menjadi lokasi 2.000 pasukan Palestina. Dan pembantaian terhadap warga sipil pun dimulai.
Tak mengherankan, nama Sharon identik dengan Milosevic. Apalagi seperti diberitakan harian El-Hayat di Mesir, para pemimpin kubu Islam militan berencana mengirim laskar jihad ke Palestina jika kekerasan meningkat. Menurut salah satu pemimpin kelompok Islam militan di Mesir, Muhammad Ahmad, salah satu agenda yang mereka bicarakan dalam diskusi-diskusi adalah masalah Palestina. Ketika ditanya apakah mereka akan mengirim laskar jihad, Muhammad hanya menjawab, "Membantu saudara yang dilanda musibah adalah wajib."
Purwani Diyah Prabandari (Jakarta) dan Zuhaid el-Qudsy (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo