Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH malam di Kota Ahmedabad, Gujarat, India Barat, akhir Januari 2001. Sejumlah pemuda berkeliling di depan api unggun, berbincang satu sama lain untuk menjaga agar mata tak terlelap. Yang mereka lakukan adalah berjaga-jaga seandainya sekawanan pencoleng mencuri barang-barang milik para korban gempa.
Tetapi…. Gempa datang. Bumi bergoyang. Kini giliran para penduduk di kawasan barat India ditimpa penderitaan. Haji Osman Ismail adalah salah satu korban yang kehilangan seluruh anggota keluarga dan toko kerajinan tangannya. Osman pernah merasakan gempa yang lebih dahsyat di Assam, India bagian timur laut, lebih dari 50 tahun silam. Tak cuma harta hilang, anggota keluarga dan warga sekota pun turut hilang ditelan reruntuhan bangunan tinggi.
Bersaksilah bocah Mustafa, 12 tahun, dari keluarga Noorani, "Saya harus pergi ke sekolah untuk mengikuti upacara di sana, karena itu saya tetap hidup. Tetapi, nenek, ayah-ibu, dan kakak perempuanku terkubur di sana," katanya dengan mata berkaca-kaca, sambil menunjuk onggokan reruntuhan bekas gempa.
Osman Ismail atau Mustafa mungkin hanyalah dua orang yang agak beruntung dibandingkan dengan puluhan ribu orang lain yang sudah dinyatakan meninggal akibat gempa yang terjadi pada Jumat, 26 Januari lalu, dengan kekuatan 7,9 pada skala Richter.
Hingga kini, pemerintah India masih belum berani mengeluarkan angka resmi jumlah korban, mengingat proses pencarian korban masih dilakukan. Walau demikian, Menteri Pertahanan George Fernandes secara pribadi mengatakan, ia memperkirakan jumlah korban bisa mencapai 100 ribu orang.
Penyebutan angka tersebut dibantah oleh Pemerintah Daerah Gujarat, yang baru berani menyebut bahwa ada sekitar 7.000 mayat yang telah ditemukan dan dihitung, termasuk 5.727 orang yang meninggal, di Kota Bhuj dan Anjar, dua kota yang termasuk mengalami kerusakan paling parah. Menteri Dalam Negeri Gujarat, Haren Pandya, menyebut bahwa yang tewas mencapai 25 ribu, sementara sumber dari Palang Merah Internasional menyebutkan bahwa angka korban yang realistis berkisar pada jumlah 50 ribu jiwa.
Tapi baiklah, ini bukan soal jumlah mana yang paling realistis atau tidak. Namun, senyatanya ada tragedi kemanusiaan yang berulang di India, paling tidak sudah tiga kali terjadi dalam waktu 70 tahun terakhir. Pada 1935, India juga pernah diserbu gempa dengan kekuatan 7,5 dan memakan korban hingga 25 ribu jiwa. Sementara itu, pada 1950 gempa lain menghampiri India dengan kekuatan 8,6, dan 532 orang jadi korban.
Tragedi kemanusiaan ini pula yang kemudian langsung membuat berbagai kelompok di dunia turun tangan untuk mengulurkan bantuan ke India. Tiga hari setelah gempa pertama, Palang Merah Internasional dari markasnya di Jenewa langsung melakukan imbauan internasional untuk membantu penyelamatan korban gempa di India dan berharap terkumpulnya dana $15,45 juta untuk menolong para korban dari gempa yang mengerikan tersebut. Ada tiga pesawat kargo yang telah mendarat di Bhuj untuk mengangkut lebih dari 100 ton peralatan berupa rumah sakit mobile dan berbagai peralatan lain untuk membuat 130 ribu liter air minum bagi para korban. Lebih dari 30 dokter dari berbagai negara langsung terbang ke India Barat untuk membantu penanganan medis di lokasi gempa. Dan alasan kemanusiaan ini pula yang kemudian mendorong Pakistan, musuh bebuyutan India, untuk turut mengulurkan tangan membantu para korban gempa, yang kebetulan memang tak jauh dari Pakistan. Pakistan menyumbang penggunaan berbagai alat berat dalam usaha pencarian korban dan telah menerbangkan tiga pesawat terbang ke India, minggu lalu. "Saya datang dengan misi kemanusiaan, karena ada banyak orang sedang menderita saat ini," kata Ilyas Khan, Direktur Kelembagaan Bantuan Darurat Pakistan, mengomentari uluran tangan Pakistan tersebut.
Akibat gempa, kerusakan ringan juga terjadi pada salah satu bangunan bersejarah di India, yaitu bekas kediaman Mahatma Gandhi di Kota Ahmedabad, yang kini dijadikan Asrama Sabarmati. Asrama ini didirikan pada 1915, ketika Mahatma pulang dari perjalanan ke Afrika Selatan di tahun 1930.
Kota Anjar sekarang berubah menjadi pekuburan massal. Setiap keluarga di kota tersebut pasti memiliki anggota keluarga yang hilang. Martin Kelsey, Direktur Program Lembaga Save the Children di India, mengemukakan bahwa bencana alam ini termasuk salah satu yang paling buruk dalam sejarah dunia. "Betul-betul menakutkan, seolah-olah permukiman penduduk tersebut dihancurkan oleh ledakan bom atom." Ia membandingkan dengan pengalaman ketika ia bertugas di Kolombia dan menyaksikan korban bencana alam pada tahun 1999, yang menelan lebih dari 1.000 orang: "Gempa di India bisa jadi 50 kali lebih parah daripada di Kolombia."
Ign. Haryanto (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo