Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga seorang pria Korea Selatan yang menjadi korban kerja paksa selama penjajahan Jepang pada 1910 – 1945 menerima kompensasi uang senilai puluhan juta won dari Hitachi Zosen, perusahaan tempat ia kerja.
Keluarga mendiang pria tersebut, yang meninggal pada 2019 dan hanya diidentifikasi dengan nama marga Lee, menarik uang kompensasi sebesar 60 juta won (Rp703 juta) dari Hitachi Zosen melalui Pengadilan Distrik Pusat Seoul pada Selasa, 20 Februari 2024.
Awalnya, perusahaan Hitachi Zosen menyetorkan uang tersebut ke pengadilan sebagai semacam jaminan, kata pengacara keluarga Lee yang bernama Lee Min.
Pembayaran tersebut dilakukan setelah Mahkamah Agung Korea Selatan memenangkan keluarga Lee dalam kasus melawan Hitachi Zosen, perusahaan besar yang bergerak di bidang mesin dan teknik berat, pada Desember 2023.
Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan banding yang memerintahkan Hitachi Zosen untuk membayar 50 juta won berserta bunga atas kerugian yang diderita korban kerja paksa yang bermarga Lee, akibat kerja paksa di galangan kapal selama pemerintahan kolonial Jepang pada 1910 – 1945.
Tepatnya, putusan MA Korea Selatan menguatkan putusan Pengadilan Distrik Pusat Seoul pada Januari 2019 yang memerintahkan Hitachi Zosen untuk membayar ganti rugi kepada mantan pekerja, putusan yang sama oleh pengadilan tersebut pada Juni 2019, dan putusan Pengadilan Tinggi Gwangju pada Desember 2018 yang memerintahkan Mitsubishi Heavy untuk membayar kompensasi kepada mantan pekerja.
Hitachi Zosen melakukan setoran tunai segera setelah Pengadilan Distrik Pusat Seoul mengeluarkan putusan pada Januari 2019. Juru bicara Hitachi Zosen mengatakan “sangat disesalkan” bahwa pengadilan melepaskan uang tersebut kepada keluarga Lee.
Ini merupakan kasus pertama dan satu-satunya di mana sebuah perusahaan Jepang yang terlibat dalam praktik kerja paksa di masa perang telah membayar sejumlah uang ke pengadilan Korea Selatan.
“Ini pertama kalinya uang yang dibayarkan secara sukarela oleh perusahaan Jepang dikirimkan kepada korban kerja paksa,” kata pengacara keluarga Lee. “Sangat berarti bahwa kompensasi de facto untuk beberapa korban telah disediakan oleh perusahaan Jepang.”
Sebelumnya, Jepang selalu memprotes putusan-putusan Mahkamah Agung Korea Selatan tentang hal ini. Jepang mengatakan putusan-putusan yang memerintahkan kompensasi dapat melanggar perjanjian-perjanjian diplomatik antara Tokyo dan Seoul yang bertujuan mengatasi isu masa penjajahan antara kedua negara.
Mahkamah Agung juga sebelumnya telah mengadili kasus-kasus kerja paksa zaman penjajahan lainnya, melibatkan perusahaan seperti Mitsubishi Heavy Industries dan Nippon Steel Corp. Mereka telah menolak putusan dan enggan untuk membayar kompensasi hingga sekarang.
Praktik kerja paksa saat penjajahan dan isu perempuan Korea dipaksa bekerja menjadi wanita penghibur atau jugun ianfu di rumah bordil militer Jepang telah lama memperburuk hubungan kedua negara, dan terus memperumit upaya untuk memperbaikinya.
Keluarga Lee meminta kompensasi dari Jepang meski Presiden Yoon Suk Yeol telah membangun yayasan yang didanai oleh perusahaan-perusahaan Korea Selatan untuk memberi kompensasi korban kerja paksa. Ini merupakan upaya darinya untuk memperbaiki hubungan dengan Tokyo.
Keputusan untuk mendirikan yayasan tersebut menimbulkan kecaman dari beberapa korban dan pengkritik yang menuduh pemerintahan Yoon menyerah kepada Jepang.
Sedangkan, Tokyo menyambut baik langkah tersebut, dengan mengatakan meskipun perusahaan-perusahaan Jepang tidak diharapkan untuk membayar dana tersebut, mereka dapat menyumbang jika berkenan.
Mahkamah Agung juga memutuskan bahwa hak pekerja atas reparasi tidak berakhir dengan adanya perjanjian 1965 yang membangun hubungan diplomatik antara Jepang dan Korea Selatan, yang menurut Tokyo menyelesaikan masalah kerja paksa dan pelecehan seksual pada masa perang.
REUTERS | KOREA TIMES
Pilihan editor: Ini Koleksi Mobil Mewah Milik Kim Jong Un, yang Terbaru dari Putin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini