Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Siapa Kardinal Ignatius Suharyo yang Jadi Calon Paus Asal Indonesia?

Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo adalah kardinal ketiga dalam sejarah Gereja Indonesia.

8 Mei 2025 | 11.32 WIB

Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo (kiri) memberi keterangan pers di Gereja Katedral Jakarta setelah meninggalnya Paus Fransiskus pada Senin, 21 April 2025. Tempo/Sultan Abdurrahman
Perbesar
Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo (kiri) memberi keterangan pers di Gereja Katedral Jakarta setelah meninggalnya Paus Fransiskus pada Senin, 21 April 2025. Tempo/Sultan Abdurrahman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan Paus baru setelah wafatnya Paus Fransiskus telah dimulai pada Selasa, 7 Mei 2025. Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo menjadi satu-satunya orang Indonesia yang mengikuti konklaf di Kapel Sistina, Vatikan, tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sejak wafatnya Paus Fransiskus pada 21 April lalu, Dewan Kardinal telah mempersiapkan konklaf untuk mencari Paus baru. Tercatat, dalam laman resmi Vatikan, ada sekitar 135 kardinal dari seluruh dunia yang memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih menjadi pemimpin Takhta Suci Vatikan. Salah satunya Kardinal Suharyo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemungutan suara akan dilakukan secara tertutup di Kapel Sistina. Memilih kepala gereja Katolik berikutnya adalah peristiwa penting, karena lembaga ini mewakili sekitar 1,4 miliar umat Katolik yang telah dibaptis di seluruh dunia. Konklaf terakhir dilakukan pada 2013.

Profil Kardinal Ignatius Suharyo

Dilansir dari situs resmi Vatikan, Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo adalah kardinal ketiga dalam sejarah Gereja Indonesia. Ia lahir pada 9 Juli 1950 di Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Ia anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Satu saudara laki-lakinya adalah seorang biarawa, dan dua saudara perempuannya adalah biarawati.

Pada usia 11 tahun, Suharyo masuk seminari menengah Mertoyu dan dan memperoleh diploma pada 1968. Ia kemudian pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studinya dalam bidang filsafat dan teologi, yang ia selesaikan di Roma di Universitas Kepausan Urban. Di sana ia memperoleh gelar lisensiat dan doktor masing-masing pada 1979 dan 1981.

Setelah menyelesaikan siklus studi, Suharyo kembali ke seminari tinggi Yogyakarta dengan peran sebagai formator. Ia kemudian ditahbiskan menjadi imam oleh Kardinal Darmojuwono pada Januari 1976. Di sana ia memberikan pelayanan hingga 1997 sembari mengemban sejumlah jabatan di bidang pendidikan filsafat. Termasuk jadi guru besar dan dekan fakultas teologi di universitas Jesuit Sanata Dharma.

Suharyo kemudian diangkat sebagai Uskup Agung Semarang oleh Yohanes Paulus II pada 21 April 1997, dan menerima pentahbisan uskup dari Kardinal Julius Darmaatmadja pada 22 Agustus 1997. Ia memilih motto serviens domino cum omni humilitate yang berarti melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati. Slogan ini diambilnya dari Kisah Para Rasul (20: 19).

Selama tiga tahun, hingga 2000, ia memimpin Komisi Dialog Antaragama dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), yang mana ia menjadi sekretaris jenderal dari 2000 hingga 2006. Pada 2006, ia juga diangkat menjadi Wakil Presiden Konferensi Waligereja Indonesia hingga 2012. Setelahnya, dari 2012, ia jadi Presiden Konferensi Waligereja Indonesia hingga 2022.

Pada 25 Juli 2009, ia diangkat sebagai koajutor Uskup Agung Jakarta Kardinal Darmaatmadja. Setahun kemudian ia mewarisi kedudukan Uskup Agung Jakarta tersebut melalui suksesi pada 28 Juni 2010. Artinya, Suharyo telah menjadi Uskup Agung Jakarta nyaris 15 tahun. Sejak 2012, Suharyo juga menjabat sebagai presiden Konferensi Episkopal, yang diperbarui untuk tiga periode, yang terakhir pada 2021.

Pada September 2019, Tahta Suci Vatikan mengumumkan 13 Kardinal baru pada 1 September 2019. Salah satunya adalah Suharyo. Pengangkatan ini menjadikannya kardinal ketiga asal Indonesia. Sebelumnya, ada mendiang Uskup Agung Semarang Justinus Darmojuwono yang dilantik menjadi kardinal pada 1967 dan Uskup Agung Jakarta periode 1996-2010, Darmaatmadja, yang menjadi kardinal pada 1994.

Namun kabar gembira itu sebetulnya mendebarkan hati Suharyo. Saat menerima kabar penunjukan dirinya menjadi kardinal pada awal September 2019 itu, pria yang saat itu berusia 69 tahun ini mengaku terkejut dan tidak siap. Kedudukan itu, kata dia, bukan main-main. Apalagi terkait tanggung jawab moral yang harus dipikul. “Ini kedudukan yang tidak main-main,” kata Suharyo saat ditemui Tempo di kediamannya di kompleks Gereja Katedral, Jakarta Pusat, pada 2019. “Saya memikirkan tanggung jawab moralnya.”

Gara-gara memikirkan hal itulah tekanan darah imam kelahiran Sedayu, Bantul, Yogyakarta, ini melonjak hingga angka 170. Tapi Suharyo tak dapat menolak penunjukan yang merupakan hak prerogatif Sri Paus itu. Berbeda dengan jabatan uskup yang ada masa pensiunnya, jabatan kardinal melekat seumur hidup.

Kardinal juga tak memiliki “wilayah kekuasaan” layaknya seorang pastor paroki atau uskup. Setelah resmi memakai jubah merah (pakaian kardinal), Suharyo bertugas menjadi asisten dan penasihat dekat Paus. Toh, meski begitu, Ignatius menegaskan, ia tetap akan menjalankan tugasnya sebagai uskup di Jakarta, Ordinaris Militer, dan Ketua Konferensi Waligereja Indonesia. “Ke Vatikan kalau diminta saja, tidak sering-sering.”

Kini Suharyo berpeluang jadi Paus, pemimpin tertinggi Tahta Suci Vatikan. Namun Suharyo mengaku tidak berambisi untuk menjadi Paus. Dia mengatakan, menjadi Paus bukanlah peningkatan jenjang karier. Menurut Suharyo, orang yang bercita-cita menjadi Paus justru bukan pribadi yang bijak.

Dia bercerita, ada satu pepatah yang terkenal di kalangan kardinal perihal luaran konklaf. “Kalau masuk sebagai calon Paus, keluar nanti sebagai kardinal. Maksudnya, dipilih menjadi Paus itu bukan ambisi,” katanya ditemui di Gereja Katedral Jakarta pada Kamis, 24 April 2025. “Kalau orang bercita-cita menjadi Paus, maaf ya, itu bodoh,” ucapnya.

Dia mengatakan pemilihan Paus berbeda dengan pemilihan kepala negara pada umumnya. Menurut dia, keterpilihan seseorang menjadi Paus bukan karena memperoleh suara terbanyak dari para kardinal. Suharyo mencontohkan saat Paus Fransiskus terpilih pada 2013. Dia mengatakan, nama Jorge Mario Bergoglio saat itu tidak masuk sebagai calon terkuat, tetapi dapat terpilih. “Menurut kepercayaan Gereja Katolik, ini adalah bimbingan roh Kudus,” ujarnya.

Novali Panji Nugroho, Ida Rosdalina, Dian Rahma Fika, dan Stefanus Teguh Edi Pramono berkontribusi pada penulisan artikel ini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus