Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahdan, Ali Alatas punya kisah. Mantan Menteri Luar Negeri yang masih gagah pada usianya yang ke-73 ini bercerita saat dia baru pulang dari Yordania dan Mesir, Senin malam, 16 Oktober lalu. Ali Alatas, yang kini melakukan tugas sebagai utusan khusus pemerintah untuk penyelesaian masalah Palestina-Israel, berbicara dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas di Amman. Alatas juga berusaha menemui Perdana Menteri Ismail Haniyah, tapi dia gagal melintasi perbatasan Mesir dengan Jalur Gaza, yang ditutup atas permintaan Israel, dengan alasan keamanan. ”Mereka takut ada penyelundupan senjata ke Gaza, sehingga utusan seperti saya pun tidak bisa melintasi perbatasan,” katanya kepada Tempo. ”Pihak Mesir dan Palestina pun tak berdaya,” kata Alatas di kantornya di Gedung Summit Mas I, Jalan Sudirman, Jakarta, 18 Oktober lalu.
Alatas memperoleh informasi dari tangan pertama dalam hal konflik Palestina-Israel, termasuk masalah Hamas-Fatah. Ia mengaku mendapat banyak masukan dari orang-orang yang dia temui. ”Saya belum bisa memberikan laporan lengkap kepada Presiden, karena belum berbicara langsung dengan pihak Hamas,” katanya. ”Keadaan di sana (Palestina) sulit, sangat sulit.”
Indonesia di bawah pemerintahan Yudhoyono memang ingin berperan lebih aktif dalam politik luar negeri, terutama untuk penyelesaian konflik di Timur Tengah, khususnya Palestina-Israel, serta penyelesaian masalah nuklir Korea Utara dan reformasi PBB. Hal inilah yang membuat Indonesia mencalonkan diri menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB 2007-2008. Dalam pemungutan suara Majelis Umum di New York, Senin 16 Oktober, Indonesia terpilih dan berhasil mengalahkan Nepal. Majelis menghadiahi 158 dari 162 suara. ”Ini bukti Indonesia mendapat dukungan besar sebagai pemelihara perdamaian dunia,” kata Presiden Yudhoyono, yang memutuskan mengirim pasukan perdamaian ke Libanon.
Sebelumnya, Indonesia sudah dua kali menjadi anggota tidak tetap, yaitu 1973-74 dan 1995-96. Dalam masa tugas dua tahun mendatang, Indonesia (yang menggantikan Jepang) akan bersama-sama negara lain—menjadi anggota tidak tetap. Selain itu masih ada lima anggota tidak tetap yang masa tugasnya selesai pada akhir 2007, yaitu Kongo, Ghana, Peru, Qatar, dan Slovakia. Dan tentu saja ada lima anggota tetap, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Cina, Inggris, dan Prancis. ”Berada dalam Dewan Keamanan merupakan kesempatan Indonesia turut serta mengambil keputusan yang mengikat negara-negara anggota PBB lainnya,” kata Duta Besar Indonesia untuk PBB di New York, Rezlan Ishar Jenie, kepada Tempo melalui telepon, Selasa malam 17 Oktober lalu.
Menurut Kesepakatan (Charter) PBB Pasal 7, ayat 6, keputusan Dewan memang memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh anggota Majelis. Namun, seberapa besar kemampuan Indonesia mengarahkan keputusan Dewan? Semua paham, ada lima anggota tetap dengan hak veto yang dapat membatalkan keputusan mayoritas anggota. ”Kita akan mengalami suatu periode yang penuh gejolak, penuh dengan kesulitan menghadapi penyelesaian masalah yang berseberangan dengan kepentingan AS untuk banyak hal,” kata Alatas, yang sering punya pengalaman ”pahit” di dalam Dewan ketika harus berseberangan dengan AS.
Ali Alatas benar. Bila Indonesia mulai bertugas sebagai anggota tidak tetap DK, awal 2007 nanti, apa yang dibela Indonesia akan berseberangan dengan kepentingan AS. Sikap Indonesia untuk masalah Timur Tengah yang berpihak pada Palestina, negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan negara Non-Blok misalnya, menentang kepentingan AS yang mendukung sepenuhnya Israel. Padahal, ”sumber utama” konflik di Timur Tengah adalah Israel. Palestina dijajah Israel. Suriah dan Libanon masih berkonflik dengan Israel. Iran yang saat ini menanti sanksi Dewan juga dianggap ancaman besar oleh Israel.
Sudah berkali-kali AS memveto keputusan Dewan menyangkut Israel. Seperti diketahui, kawasan Timur Tengah adalah region non-proliferasi. Tapi Israel memiliki senjata nuklir dan Dewan tak berhasil menerapkan sanksi apa pun berkat jasa AS. Sedangkan terhadap Iran, negara yang mengaku tidak mengembangkan nuklir untuk senjata dan menjadi anggota negara non-senjata nuklir (NPT), terus dicurigai dan ditekan AS. ”Pemerintah AS memang punya standar ganda,” kata Alatas.
Lalu apa yang bisa diperbuat Indonesia? ”Terus-menerus berpendapat, meskipun itu bertentangan dengan AS,” kata Alatas. Selain itu, menurut Jenie, ada beberapa negara dalam Kaukus Non-Blok seperti Afrika Selatan, Qatar, dan Ghana dalam anggota tidak tetap DK, yang diharapkan dapat berjuang bersama dan sehaluan. ”Biar kecil (hasil yang didapatkan) asal konkret,” demikian kata Alatas, yang bertekad mencari sumbangan konkret dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel.
Nasib Indonesia sebenarnya serupa dengan sembilan negara anggota tidak tetap lainnya. ”Mereka seperti ’turis’ atau penumpang jarak pendek dalam kereta jarak jauh,” demikian perumpamaan yang disampaikan Global Policy Forum. Senyampang masih ada kekuatan veto dari lima anggota tetap, selama itu pula keputusan yang dibuat DK tidak akan efektif.
Diskusi dan upaya untuk mereformasi DK PBB sebenarnya sudah berlangsung sejak Perang Dingin usai, akhir dasawarsa 1980-an. Anggapan umum menyatakan, struktur kekuatan dunia yang multipolar seperti dewasa ini tidak sesuai lagi dengan komposisi DK yang dibuat berdasarkan geopolitik pada 1946. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan juga sudah mengajukan beberapa proposal untuk mereformasi DK sebagai bagian dari reformasi PBB secara keseluruhan.
”Setiap negara bisa setuju dengan perubahan Dewan Keamanan, tapi selalu terjadi perbedaan dalam menentukan solusinya,” demikian ditulis dalam Global Policy Forum. AS, misalnya, mengusulkan Jepang sebagai penyumbang terbesar kedua untuk PBB, setelah AS, sebagai anggota tetap DK. Namun hal itu tidak disetujui Cina. Ada juga usul untuk memperpanjang masa kerja anggota tidak tetap menjadi empat dan delapan tahun. Pun ada proposal untuk menambah lima atau enam jumlah anggota tetap.
Selain itu, beberapa anggota pemegang hak veto telah lama merasa tidak nyaman terhadap besarnya kekuatan AS pasca-Perang Dingin. Prancis, Cina, dan Rusia adalah yang gigih memperjuangkan terbentuknya tatanan multipolar. ”Kita tidak dapat menerima dunia unipolar secara politik,” kata Mantan Menteri Luar Negeri Prancis, Hubert Vedrine, pada 1998. Sedangkan Rusia dan Cina menandatangani traktat tentang komitmen membentuk dunia multipolar pada 2001.
Namun pemerintah AS tidak merelakan dominasinya surut. Pada September 2002, Presiden George W. Bush merilis dokumen strategi keamanan nasional, yang antara lain menyebutkan: tidak ada kekuatan militer di dunia ini yang mampu menandingi AS. Bahkan AS menyatakan ”tidak akan membiarkan pihak musuh menyerang lebih dulu”, yang bertentangan dengan peraturan DK. AS menyerang Irak meskipun tanpa persetujuan DK—Resolusi 1441 hanya mengatur sanksi jika Irak tidak menyerahkan senjata pemusnah massal dan penyerangan militer tak termasuk dalam resolusi itu.
Pasca-Perang Dingin, apalagi setelah 11 September 2001, tatanan politik internasional banyak berubah. Para pemegang veto saja tak berdaya terhadap AS, apalagi Indonesia. Tapi, seperti kata Alatas, ”biar kecil asal konkret”, itulah yang bisa diperbuat Indonesia.
Bina Bektiati, Istiqomatul Hayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo